Henri Bergson. Budpekerti Dan Agama
Pandangan Bergson perihal moral dan agama diuraikannya dalam Kedua Sumber dari Moral dan Agama, karya yang terbit saat pengarangnya sudah berumur 73 tahun. Pikiran pokok dalam buku ini ialah perbedaan antara moral tertutup dan moral terbuka, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, agama statis dan agama dinamis. Salah satu cara terbaik untuk memperkenalkan isi buku tersebut ialah menjelaskan maksud Bergson dengan perbedaan-perbedaan tersebut.
Moral tertutup menandai masyarakat tertutup. Suatu masyarakat dikatakan tertutup tidak terutama lantaran keterbatasannya berdasarkan ruang, tidak pula lantaran masyarakat tersebut mencakup sebagian saja dari umat manusia, melainkan lantaran dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakat tersebut saja, dan tidak terhadap mereka di luar masyarakat tersebut, dengan kata lain suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan keluar kelompok.
Bergson tidak baiklah dengan mereka yang melihat suatu kesinambungan antara keluarga, negara, dan umat manusia. Kesinambungan antara keluarga dan negara memang ada, katanya, tetapi tidak ada kesinambungan antara negara dan umat manusia. Kerukunan dalam keluarga sanggup membina seseorang menjadi warga negara yang baik, tetapi tidak benar bahwa statusnya sebagai warga negara akan mempersiapkan beliau menjadi anggota yang baik dari umat manusia.
Keluarga dan negara bekerjasama bersahabat satu sama lain, lantaran keduanya mempunyai moral tertutup. Dalam negara (juga dalam negara yang permukaannya amat luas) setiap warga negara memihak kepada sesama warga negara dan melawan musuh, bahkan dalam keadaan damai. Menurut Bergson, kedamaian selama ini tidak lain daripada persiapan untuk berperang, sekurang-kurangnya dalam arti pertahanan tetapi sanggup juga dalam arti agresi. Dari alasannya ialah itu peralihan dari negara ke umat insan sama besar dengan peralihan dari yang berhingga ke yang tak berhingga. Sumber moral tertutup dengan segala aturan serta kewajibannya ialah desakan sosial (la pression sociale) atau desakan kerukunan, yang harus dimengerti sejalan dengan insting yang berperan pada taraf "masyarakat binatang", menyerupai tampak paling terperinci pada serangga menyerupai semut dan lebah. Karena itu, moral ini mempunyai asal mula infra-rasional. Bagi Bergson, kehidupan etis tidak berasal dari rasio (melawan Kant*). Menurut Kant kewajiban etis ditentukan oleh rasio. Sedangkan berdasarkan Bergson, kewajiban etis berasal dari desakan sosial yang bertujuan untuk tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan masyarakat.
Di samping moral tertutup terdapat moral terbuka, yang menandai masyarakat terbuka. Moral ini disebut terbuka, lantaran berdasarkan kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, alasannya ialah tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak bermaksud mempertahankan masyarakat menyerupai apa adanya. Para Nabi Perjanjian Lama telah membawa suatu moral terbuka, lantaran mereka tidak mengecualikan kaum miskin dan golongan budak, sekalipun mereka mengemukakan aturan-aturan etis yang dimaksudkan untuk masyarakat Israel saja. Sebaliknya, para filsuf mazhab Stoa sebetulnya tidak membawa suatu moral terbuka, alasannya ialah mereka menganggap golongan budak tidak mempunyai hak, sekalipun mereka menekankan bahwa insan ialah warga dunia dan bukan warga salah satu Negara saja. Menurut Bergson, terutama agama Nasrani telah mengajukan moral terbuka dan masyarakat terbuka. Ia menunjuk kepada “Khotbah di bukit”, kontradiksi antara “apa yang dikatakan kepada nenek moyang” dan apa yang dikatakan Yesus, digunakannya untuk melukiskan kedua jenis moral.
Moral terbuka tidak berdasarkan kewajiban, melainkan appel, imbauan, aspirasi. Dan itulah sumber moral kedua ini. Dalam sejarah kita mengenal contohnya tokoh-tokoh besar (orang-orang suci dan pahlawan-pahlawan) yang bukan saja mencanangkan cinta universal sebagai impian tetapi juga mewujudkannya dalam kepribadian dan kehidupan mereka. Cara hidup mereka menggugah hati orang lain, bukan lantaran desakan sosial, bukan lantaran alasan-alasan rasional yang sanggup diterangkan dan dimengerti melainkan lantaran suri contoh dan appel. Karena itu Bergson menyampaikan bahwa moral terbuka mempunyai asal-usul supra-rasional. Moral ini berasal dari suatu emotion creatrice, suatu emosi kreatif yang mendorong tokoh-tokoh besar.
Bergson cukup realistis sejauh ia menekankan bahwa kedua moral tadi memang harus dibedakan tetapi dalam kenyataan sering kali tidak terdapat dalam keadaan murni. Suatu masyarakat primitif barangkali sanggup dianggap seluruhnya dikuasai oleh moral tertutup, tetapi dalam masyarakat yang lebih kompleks (termasuk masyarakat di mana kita sendiri hidup) moral terbuka biasanya tercampur dengan moral tertutup, menyerupai juga dalam persepsi nyata di mana persepsi dan ingatan campur baur. Rasio insan bias berperan sebagai penengah antara dua moral tersebut. Rasio sanggup mengemukakan unsur universalitas dalam suasana moral tertutup dan unsur kewajiban dalam suasana dan moral terbuka. Dengan demikian impian dari moral terbuka bias menjadi lebih efektif lantaran ditafsirkan oleh rasio dan dikaitkan dengan kewajiban, sedangkan moral tertutup menerima gairah kehidupan dari moral terbuka.
Sejajar dengan pembedaan antara moral tertutup dan moral terbuka Bergson membedakan juga agama statis dan agama dinamis. Agama statis menunjang kesatuan sosial. Manusia tidak lagi mempunyai insting menyerupai binatang. Ia mempunyai inteligensi (akal budi), tetapi lantaran itu ia cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Akal budi bersifat kritis dan dengan demikian memajukan perilaku individual dan membahayakan kebersamaan dalam masyarakat. Untuk mengimbangi efek logika budi ini insan mempunyai apa yang disebut Bergson la function fabulatrice, fungsi atau daya yang menghasilkan mitos-mitos dan boleh dianggap sebagian dari fantasi. Dalam hal ini Bergson menekankan bahwa fungsi fabulatif tersebut merupakan buah hasil agama dan tidak sebaliknya agama buah hasil fantasi, sebagaimana tidak jarang sanggup didengar. Dalam masyarakat primitif di mana fungsi fabulatif memegang peranan kuat, agama mempertahankan susunan sosial. Menurut apa yang diceritakan dalam mitos-mitos, larangan dan budbahasa kebiasaan berasal dari dewa-dewa. Dengan menjamin berlakunya budbahasa kebiasaan dan menghukum setiap pelanggaran, para tuhan melindungi susunan masyarakat.
Lagi pula, lantaran logika budinya, insan insaf bahwa ajal tidak sanggup dihindarkan. Keinsafan ini bias menjadikan kecemasan dan fatalism. Karena itu, agama menyediakan citra mengenai kehidupan setelah kematian. Selain membebaskan insan dari fatalism, kepercayaan akan kehidupan setelah mati ini melindungi juga stabilitas masyarakat, lantaran setiap masyarakat primitif membutuhkan leluhur-leluhur dengan kewibawaan yang berlangsung terus.
Akhirnya, lantaran logika budi senantiasa mengalami kebimbangan bila melihat perbedaan antara maksud dan hasil jerih payahnya, agama juga berfungsi membesarkan hati. Jika insan percaya pada kuasa-kuasa yang memihak padanya, ia sanggup minta proteksi dan mereka akan membantu dia.
Dengan demikian Bergson melihat agama statis sebagai reaksi terhadap efek negatif dari logika budi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Agama statis ini terutama menandai masyarakat primitif, tetapi tidak terbatas di situ. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitif hidup terus dalam kebudayaan kita. Kalau dalam perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah memihak pada mereka, berdasarkan Bergson, di sini masih tampak suasana agama statis. Alasannya, alasannya ialah mereka memperlakukan Allah sebagai tuhan nasional, biarpun keduanya barangkali mengaku dirinya takwa pada Allah yang Esa.
Mistik ialah agama dinamis. Para mistisi bersatu dengan perjuangan kreatif yang “berasal dari Allah dan barangkali malah sanggup disamakan dengan Allah”. Bregson mempelajari gaib dalam agama Yunani, gaib Timur dan gaib Kristen. Ia beropini bahwa dalam agama Nasrani gaib mencapai bentuk yang paling lengkap, lantaran di situ gaib disertai kegiatan dan kreativitas. Mistik yang berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan suatu sentra ilahi, berdasarkan Bergson, dihentikan disebut gaib yang lengkap.
Filsafat sanggup berguru apa dari mistik? Menurut Bergson, kalau refleksi filosofis bias hingga pada adanya suatu energi kreatif yang bekerja dalam dunia, refleksi lebih lanjut atas gaib sanggup menyajikan klarifikasi perihal kodrat prinsip kehidupan ini, yaitu cinta. Melalui gaib kita sanggup berguru bahwa energi kreatif tersebut ialah cinta.
Seperti halnya dengan kedua jenis moral, perihal agama statis dan dinamis pun Bergson menyampaikan bahwa agama-agama nyata merupakan semacam adonan dari kedua jenis agama tersebut. Dalam agama Nasrani yang historis, umpamanya, kita sanggup melihat tanda-tanda agama dinamis di samping suasana agama statis. Yang paling idealis ialah bahwa agama statis semakin dimurnikan menjadi agama dinamis, tetapi dalam praktek kedua bentuk agama tercampur secara tak terpisahkan.
Download di Sini
Sumber:
Bertens, K. "Filsafat Barat Kontemporer, Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta
Baca Juga
1. Henri Bergson. Biografi dan Karya
2. Henri Bergson. Materi dan Ingatan
3. Henri Bergson. Evolusi Kreatif
4. Henri Bergson. Duree dan Kebebasan
Moral tertutup menandai masyarakat tertutup. Suatu masyarakat dikatakan tertutup tidak terutama lantaran keterbatasannya berdasarkan ruang, tidak pula lantaran masyarakat tersebut mencakup sebagian saja dari umat manusia, melainkan lantaran dikuasai oleh suatu moral yang hanya berlaku terhadap para warga masyarakat tersebut saja, dan tidak terhadap mereka di luar masyarakat tersebut, dengan kata lain suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup ialah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan keluar kelompok.
Bergson tidak baiklah dengan mereka yang melihat suatu kesinambungan antara keluarga, negara, dan umat manusia. Kesinambungan antara keluarga dan negara memang ada, katanya, tetapi tidak ada kesinambungan antara negara dan umat manusia. Kerukunan dalam keluarga sanggup membina seseorang menjadi warga negara yang baik, tetapi tidak benar bahwa statusnya sebagai warga negara akan mempersiapkan beliau menjadi anggota yang baik dari umat manusia.
Keluarga dan negara bekerjasama bersahabat satu sama lain, lantaran keduanya mempunyai moral tertutup. Dalam negara (juga dalam negara yang permukaannya amat luas) setiap warga negara memihak kepada sesama warga negara dan melawan musuh, bahkan dalam keadaan damai. Menurut Bergson, kedamaian selama ini tidak lain daripada persiapan untuk berperang, sekurang-kurangnya dalam arti pertahanan tetapi sanggup juga dalam arti agresi. Dari alasannya ialah itu peralihan dari negara ke umat insan sama besar dengan peralihan dari yang berhingga ke yang tak berhingga. Sumber moral tertutup dengan segala aturan serta kewajibannya ialah desakan sosial (la pression sociale) atau desakan kerukunan, yang harus dimengerti sejalan dengan insting yang berperan pada taraf "masyarakat binatang", menyerupai tampak paling terperinci pada serangga menyerupai semut dan lebah. Karena itu, moral ini mempunyai asal mula infra-rasional. Bagi Bergson, kehidupan etis tidak berasal dari rasio (melawan Kant*). Menurut Kant kewajiban etis ditentukan oleh rasio. Sedangkan berdasarkan Bergson, kewajiban etis berasal dari desakan sosial yang bertujuan untuk tetap mempertahankan kehidupan dan kerukunan masyarakat.
Di samping moral tertutup terdapat moral terbuka, yang menandai masyarakat terbuka. Moral ini disebut terbuka, lantaran berdasarkan kodratnya bersifat universal dan mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini bersifat dinamis, alasannya ialah tertuju pada perubahan masyarakat dan tidak bermaksud mempertahankan masyarakat menyerupai apa adanya. Para Nabi Perjanjian Lama telah membawa suatu moral terbuka, lantaran mereka tidak mengecualikan kaum miskin dan golongan budak, sekalipun mereka mengemukakan aturan-aturan etis yang dimaksudkan untuk masyarakat Israel saja. Sebaliknya, para filsuf mazhab Stoa sebetulnya tidak membawa suatu moral terbuka, alasannya ialah mereka menganggap golongan budak tidak mempunyai hak, sekalipun mereka menekankan bahwa insan ialah warga dunia dan bukan warga salah satu Negara saja. Menurut Bergson, terutama agama Nasrani telah mengajukan moral terbuka dan masyarakat terbuka. Ia menunjuk kepada “Khotbah di bukit”, kontradiksi antara “apa yang dikatakan kepada nenek moyang” dan apa yang dikatakan Yesus, digunakannya untuk melukiskan kedua jenis moral.
Moral terbuka tidak berdasarkan kewajiban, melainkan appel, imbauan, aspirasi. Dan itulah sumber moral kedua ini. Dalam sejarah kita mengenal contohnya tokoh-tokoh besar (orang-orang suci dan pahlawan-pahlawan) yang bukan saja mencanangkan cinta universal sebagai impian tetapi juga mewujudkannya dalam kepribadian dan kehidupan mereka. Cara hidup mereka menggugah hati orang lain, bukan lantaran desakan sosial, bukan lantaran alasan-alasan rasional yang sanggup diterangkan dan dimengerti melainkan lantaran suri contoh dan appel. Karena itu Bergson menyampaikan bahwa moral terbuka mempunyai asal-usul supra-rasional. Moral ini berasal dari suatu emotion creatrice, suatu emosi kreatif yang mendorong tokoh-tokoh besar.
Bergson cukup realistis sejauh ia menekankan bahwa kedua moral tadi memang harus dibedakan tetapi dalam kenyataan sering kali tidak terdapat dalam keadaan murni. Suatu masyarakat primitif barangkali sanggup dianggap seluruhnya dikuasai oleh moral tertutup, tetapi dalam masyarakat yang lebih kompleks (termasuk masyarakat di mana kita sendiri hidup) moral terbuka biasanya tercampur dengan moral tertutup, menyerupai juga dalam persepsi nyata di mana persepsi dan ingatan campur baur. Rasio insan bias berperan sebagai penengah antara dua moral tersebut. Rasio sanggup mengemukakan unsur universalitas dalam suasana moral tertutup dan unsur kewajiban dalam suasana dan moral terbuka. Dengan demikian impian dari moral terbuka bias menjadi lebih efektif lantaran ditafsirkan oleh rasio dan dikaitkan dengan kewajiban, sedangkan moral tertutup menerima gairah kehidupan dari moral terbuka.
Sejajar dengan pembedaan antara moral tertutup dan moral terbuka Bergson membedakan juga agama statis dan agama dinamis. Agama statis menunjang kesatuan sosial. Manusia tidak lagi mempunyai insting menyerupai binatang. Ia mempunyai inteligensi (akal budi), tetapi lantaran itu ia cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Akal budi bersifat kritis dan dengan demikian memajukan perilaku individual dan membahayakan kebersamaan dalam masyarakat. Untuk mengimbangi efek logika budi ini insan mempunyai apa yang disebut Bergson la function fabulatrice, fungsi atau daya yang menghasilkan mitos-mitos dan boleh dianggap sebagian dari fantasi. Dalam hal ini Bergson menekankan bahwa fungsi fabulatif tersebut merupakan buah hasil agama dan tidak sebaliknya agama buah hasil fantasi, sebagaimana tidak jarang sanggup didengar. Dalam masyarakat primitif di mana fungsi fabulatif memegang peranan kuat, agama mempertahankan susunan sosial. Menurut apa yang diceritakan dalam mitos-mitos, larangan dan budbahasa kebiasaan berasal dari dewa-dewa. Dengan menjamin berlakunya budbahasa kebiasaan dan menghukum setiap pelanggaran, para tuhan melindungi susunan masyarakat.
Lagi pula, lantaran logika budinya, insan insaf bahwa ajal tidak sanggup dihindarkan. Keinsafan ini bias menjadikan kecemasan dan fatalism. Karena itu, agama menyediakan citra mengenai kehidupan setelah kematian. Selain membebaskan insan dari fatalism, kepercayaan akan kehidupan setelah mati ini melindungi juga stabilitas masyarakat, lantaran setiap masyarakat primitif membutuhkan leluhur-leluhur dengan kewibawaan yang berlangsung terus.
Akhirnya, lantaran logika budi senantiasa mengalami kebimbangan bila melihat perbedaan antara maksud dan hasil jerih payahnya, agama juga berfungsi membesarkan hati. Jika insan percaya pada kuasa-kuasa yang memihak padanya, ia sanggup minta proteksi dan mereka akan membantu dia.
Dengan demikian Bergson melihat agama statis sebagai reaksi terhadap efek negatif dari logika budi, baik bagi individu maupun bagi masyarakat. Agama statis ini terutama menandai masyarakat primitif, tetapi tidak terbatas di situ. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitif hidup terus dalam kebudayaan kita. Kalau dalam perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah memihak pada mereka, berdasarkan Bergson, di sini masih tampak suasana agama statis. Alasannya, alasannya ialah mereka memperlakukan Allah sebagai tuhan nasional, biarpun keduanya barangkali mengaku dirinya takwa pada Allah yang Esa.
Mistik ialah agama dinamis. Para mistisi bersatu dengan perjuangan kreatif yang “berasal dari Allah dan barangkali malah sanggup disamakan dengan Allah”. Bregson mempelajari gaib dalam agama Yunani, gaib Timur dan gaib Kristen. Ia beropini bahwa dalam agama Nasrani gaib mencapai bentuk yang paling lengkap, lantaran di situ gaib disertai kegiatan dan kreativitas. Mistik yang berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan suatu sentra ilahi, berdasarkan Bergson, dihentikan disebut gaib yang lengkap.
Filsafat sanggup berguru apa dari mistik? Menurut Bergson, kalau refleksi filosofis bias hingga pada adanya suatu energi kreatif yang bekerja dalam dunia, refleksi lebih lanjut atas gaib sanggup menyajikan klarifikasi perihal kodrat prinsip kehidupan ini, yaitu cinta. Melalui gaib kita sanggup berguru bahwa energi kreatif tersebut ialah cinta.
Seperti halnya dengan kedua jenis moral, perihal agama statis dan dinamis pun Bergson menyampaikan bahwa agama-agama nyata merupakan semacam adonan dari kedua jenis agama tersebut. Dalam agama Nasrani yang historis, umpamanya, kita sanggup melihat tanda-tanda agama dinamis di samping suasana agama statis. Yang paling idealis ialah bahwa agama statis semakin dimurnikan menjadi agama dinamis, tetapi dalam praktek kedua bentuk agama tercampur secara tak terpisahkan.
Download di Sini
Sumber:
Bertens, K. "Filsafat Barat Kontemporer, Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta
Baca Juga
1. Henri Bergson. Biografi dan Karya
2. Henri Bergson. Materi dan Ingatan
3. Henri Bergson. Evolusi Kreatif
4. Henri Bergson. Duree dan Kebebasan