Henri Bergson. Evolusi Kreatif

Kebetulan sempurna pada tahun Bergson lahir (1859) terbit buku yang begitu memilih bagi teori evolusi, yaitu The Origin of Species Charles Darwin*. Seolah-olah ada firasat evolusi selalu merupakan tema penting bagi ajaran Bergson. Tetapi dalam hal ini ia menolak setiap interpretasi mekanistis dan ia beropini bahwa Darwin sendiri terlalu erat dengan interpretasi semacam itu. Misalnya pandangan Darwin perihal natural selection, dimana variasi-variasi yang cocok supaya organisme sanggup hidup terus, “dipilih” dan diwariskan kepada generasi berikutnya, sedangkan variasi-variasi lain ditinggalkan, bagi Bergson tidak memuaskan. Dengan cara demikian berdasarkan Bergson tidak pernah mungkin mengerti terbentuknya suatu organ yang begitu kompleks menyerupai mata, misalnya.
Tetapi kalau ia menolak mekanisme, hal tersebut tidak berarti bahwa ia mendapatkan finalisme. Dengan finalisme dimaksudkan di sini ialah pandangan bahwa seluruh proses evolusi tidak lain daripada terwujudnya suatu tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Baik prosedur maupun finalisme, yang dalam kerangka teori evolusi sanggup dianggap sebagai dua ekstrim yang berlawanan, tidak sanggup menunjukan bahwa dalam proses evolusi terjadi sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Atau dengan kata lain, aspek kreatif dalam evolusi di sini kurang tampak.

Untuk mengerti evolusi berdasarkan Bergson, data biologi harus dilengkapi dengan hasil ajaran metafisis. Dalam hal ini kuncinya ialah apa yang kita alami dalam diri kita sendiri sebagai makhluk hidup. Kita sendiri merupakan pola istimewa di antara makhluk hidup dan daya-daya yang bekerja dalam diri kita bekerja juga dalam alam semesta. Apabila kita memperhatikan apa yang oleh intuisi disingkapkan kepada kita, kita menemukan bukan saja adanya duree dan perkembangan terus-menerus, melainkan juga suatu elan vital, yaitu suatu energi hidup atau daya pendorong hidup. Kita berhak mengandaikan bahwa elan vital ini meresapi seluruh proses evolusi dan memilih semua cirinya yang penting. Dengan demikian kita sanggup mengerti perkembangan kehidupan secara kreatif dan tidak lagi mekanistis. Bergson menganggap elan vital ini sebagai penyebab yang melalui majemuk variasi alhasil menghasilkan jenis-jenis baru. Dalam pekerjaannya elan vital menjumpai perlawanan dari bahan mati dan bergotong-royong justru usaha elan vital untuk mengatasi perlawanan bahan mati tersebut menghasilkan garis-garis dan tahap-tahap gres dalam perkembangan evolusi. Tetapi energi kreatif dari elan vital tidak berhenti di situ dan akan berusaha terus menuju perkembangan gres lagi.

Arah evolusi telah mengambil tiga jurusan, kehidupan tumbuhan, kehidupan instingtif, dan kehidupan inteligen. Masing-masing diwujudkan pada taraf tumbuh-tumbuhan, serangga dan vetebrata. Taraf tumbuh-tumbuhan ditandai oleh immobilitas dan insensibilitas (mereka tidak sanggup bergerak dan tidak merasa), taraf serangga (seperti semut dan lebah) oleh instingtif dan taraf vetebrata (yang terakhir dan tertinggi ialah manusia) oleh inteligensi. Insting dan inteligensi dilukiskan oleh Bergson dalam kekerabatan dengan alat-alat. Insting digambarkannya sebagai kemungkinan untuk mengadakan dan memakai alat-alat yang terorganisir, artinya alat-alat yang merupakan sebagian dari organisme (dengan kata lain organ-organ). Inteligensi ialah kemungkinan untuk mengadakan dan memakai alat-alat yang tidak terorganisir, artinya alat-alat buatan yang tidak termasuk organisme itu sendiri. Dengan demikian setiap acara psikis, dalam bentuk insting maupun inteligensi, merupakan suatu usaha untuk menjalankan imbas atas dunia materil.

Jika kita memandang insan berdasarkan asal-usulnya, beliau ialah homo faber (manusia yang bersikap praktis) lebih daripada homo sapiens (manusia yang bersikap teoritis). Pada insan inteligensi mencapai taraf tertinggi, ia sanggup mengadakan alat yang sanggup menghasilkan alat lain. Namun, betapa besar pun prestasi inteligensi manusia, teristimewa dibidang ilmu pengetahuan, orientasi utamanya selalu saja praktis.

Inteligensi atau nalar akal insan terarah pada benda-benda fisis. Objek nalar akal ialah apa yang tidak kontinu, apa yang stabil dan tidak bergerak.

Dengan melaksanakan analisanya nalar akal memotong-motong suatu objek ke dalam unsur-unsurnya, dengan membentuk konsep-konsep ia membekukan realitas menjadi suatu keseluruhan yang statis. Akal akal tentu sanggup menyidik makhluk-makhluk hidup, akan tetapi selalu saja memperlakukannya sama menyerupai objek-objek inorganik. Para ilmuwan contohnya akan berusaha untuk mereduksi makhluk hidup kepada unsur-unsur fisis dan kimiawi. Dengan kata lain, nalar akal tidak sanggup menangkap kehidupan itu sendiri dan tidak sanggup memikirkan lamanya (duree) selain dengan menjadikannya waktu objek-fisis. Jika nalar akal memandang gerak, ia seakan mengambil sejumlah fhoto dan dengan itu menghilangkan gerak yang sebenarnya. Jadi, biarpun sangat cocok untuk berpraksis dan menguasai dunia (termasuk insan sendiri sejauh ia menjadi objek ilmu pengetahuan), nalar akal tidak sanggup menangkap evolusi, kehidupan, duree dan kreativitas yang menandai elan vital.

Tetapi selain dari nalar budi, insan mempunyai juga intuisi. Bergson melukiskan intuisi sebagai insting yang menjadi sadar, yang mencapai taraf refleksi. Jika nalar akal berkiblat pada bahan mati, instuisi ini secara istimewa terarah pada kehidupan. Jika nalar akal merupakan sumber ilmu pengetahuan alam, intuisi menyediakan dasar bagi filsafat. Tetapi dalam praktek ada kekerabatan timbal-balik antara nalar akal dan intuisi, alasannya ialah mereka membutuhkan satu sama lain. Intuisi mustahil berada tanpa nalar budi, menyerupai roh mustahil berada tanpa materi.


Download di Sini


Sumber:

Bertens, K. “Filsafat Barat Kontemporer, Prancis”. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Henri Bergson. Biografi dan karya
2. Henri Bergson. Moral dan Agama
3. Henri Bergson. Materi dan Ingatan
4. Henri Bergson. Duree dan Kebebasan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel