Jean Paul Sartre. Korelasi Antar Manusia

Bagian filsafat Sartre yang menimbulkan paling banyak komentar dan kritik yaitu pandangannya wacana relasi-relasi antarmanusia. Dalam konteks ini beberapa ucapan Sartre yang banyak dikutip yaitu contohnya "Neraka yaitu orang lain" (dari drama Pintu Tertutup) dan "Dosa asal saya yaitu adanya orang lain" (dari buku Ada dan Ketiadaan).
Bagi Sartre, setiap kekerabatan antarmanusia intinya sanggup diasalkan dari konflik. Konflik yaitu inti setiap kekerabatan intersubjektif. Pendapat ini berkaitan erat dengan anggapannya wacana kesadaran. Aktivitas kesadaran yang khas yaitu "menidak". Hal tersebut berlangsung juga dalam setiap perjumpaan antar kesadaran-kesadaran. Setiap kesadaran mau mempertahankan subjektivitasnya sendiri, mau menjadi sentra suatu "dunia". Kesadaran lain harus dimasukkan dalam "dunia" itu, atau dengan kata lain harus dijadikan objek bagi saya, supaya saya tetap merupakan sentra "duniaku". Tetapi orang lain akan mengusahakan hal yang sama dengan saya, ia pun akan berusaha memasukkan saya ke dalam dunianya.
Dengan demikian setiap perjumpaan antara kesadaran-kesadaran tidak lain daripada suatu dialektika subjek-subjek di mana yang satu berusaha mengalahkan yang menjadi objek baginya.

Sarana yang penting dalam konflik ini yaitu sorot mata (le regard). Sorot mata di sini harus dimengerti dengan cara luas yang juga mencakup bunyi langkah-langkah yang mendekat kemudian berhenti, bunyi yang didengar dari semak belukar, gorden yang terbuka sedikit dan seterusnya. Pendek kata, sorot mata ialah Orang Lain (Autrui) yang menonton saya, mengobservasi saya dan dengan demikian mengobjektivasi saya. Sebuah pola yang diberikan Sartre untuk menjelaskan maksudnya sudah menjadi masyhur dan sanggup dianggap sebagai salah satu deskripsi fenomenologis yang paling bagus. Analisanya yang dengan panjang lebar dibeberkan dalam Ada dan Ketiadaan kiranya sanggup disingkat sebagai berikut. Andaikan saja situasi berikut ini, saya sedang mengintip pada lubang kunci. Dengan demikian saya yaitu subjek. Saya yaitu penonton yang seluruhnya terarah pada tontonan di balik pintu itu. Itulah "duniaku" dan saya yaitu pusatnya. Tiba-tiba saya mendengar langkah-langkah di gang. Tak urung saya dipergoki. Saya merasa sorot mata di punggungku, ada orang yang melihat saya. Sorot mata yang membekukan. Saya telah menjadi objek. Bagi orang itu saya merupakan oknum yang sedang membungkuk di depan pintu. Saya termasuk "dunia orang itu" sebagai objek dengan sifat-sifat tertentu (ingin tahu, kurang sopan, dan seterusnya).

Pengalaman yang bahwasanya wacana orang lain ialah bahwa saya yaitu objek-bagi-dia-sebagai-subjek atau bahwa orang lain menjadi objek-bagi-saya-sebagai-subjek. Menurut Sartre dibidang relasi-relasi intersubjektif tidak ada kemungkinan lain. Semua kekerabatan antarmanusiawi beralaskan suatu konflik, atau dengan terus terang atau dalam bentuk kompromi. Contoh wacana kemungkinan yang kedua ini ialah kebersamaan dalam suatu kelompok (nous-objet). Dalam kekerabatan ini saya bersekutu dengan orang lain melawan orang yang ketiga atau kita gotong royong menciptakan ia menjadi objek. Kita yaitu solider. Orang yang ketiga yaitu musuh bersama yang memaksa kita untuk melupakan saling persaingan kita dan gotong royong mengobjektivasi orang itu. Jadi, kekerabatan "kita" tidak merupakan suatu yang lain daripada pengalaman bahwa ada orang lain yang bersama dengan saya dan menyerupai saya mengalami kehadiran orang ketiga yang mengobjektivasi. Dengan cara tersebut timbul kelas-kelas dalam arti Marxisme, kaum buruh terhadap majikan, proletar terhadap kapitalis.

Dalam korelasi faktual dengan orang lain saya sanggup melaksanakan dua hal. Saya sanggup tunduk kepada orang lain dengan menjadikan saya objek bagi ia sebagai subjek. Hal ini terjadi dalam cinta dan masokisme. Tetapi saya juga sanggup mencoba menciptakan ia menjadi objek bagi saya sebagai subjek. Inilah yang diusahakan dalam benci, perilaku tak acuh, sadisme dan harapan seksual (le desir). Jadi, untuk semua kekerabatan ini dasarnya yaitu konflik. Dalam suatu analisa panjang dan berbelit-belit wacana cinta, Sartre berkesimpulan bahwa cinta itu mau tidak mau berakhir dengan kegagalan, malah merupakan suatu penipuan (saya akal-akalan menjadi objek bagi ia sebagai subjektivitas murni, padahal ia juga menjadi objek bagi saya sebagai subjek)

Pandangan wacana orang lain tersebut mempengaruhi juga pandangan Sartre wacana Allah. Salah satu kritik Sartre terhadap konsep "Allah" ialah bahwa konsep tersebut sama dengan Orang Lain yang dimutlakan. Kita sudah lihat bahwa orang lain berusaha menjadikan saya objek bagi dia, namun saya sanggup melepaskan diri dari cengkeramannya dengan menjadikan ia objek bagi saya. Akan tetapi Allah yaitu subjek yang absolut, yang tidak pernah mungkin dijadikan objek. Menerima Allah berarti mengakui bahwa saya dan semua orang lain merupakan objek bagi Dia. Sorot mata Allah yang tembus hingga di hati sanubari, akan membekukan saya menjadi suatu kodrat dan dengan demikian menghancurkan kebebasan saya. Kalau berhadapan dengan Allah, bagi insan hanya ada dua kemungkinan, tunduk kepada-Nya dengan menjadi objek belaka, atau memberontak. Rupanya kemungkinan-kemungkinan ini diilustrasikan oleh drama lalat-lalat, versi Sartre dari bencana Elektra, karangan Sophokles. Orestes dan Elektra, abang beradik, telah membunuh Klytamnestra, ibu mereka, dan Aigisthos yang telah berzina dengan dia. Di hadapan Yupiter, raja para tuhan dan manusia, Elektra menaklukkan diri, "Aku akan menuruti hukummu, menjadi hamba dan milikmu...Aku menyesal, Yupiter, saya sungguh-sungguh menyesal". Reaksi Orestes sama sekali lain. Ia tidak melepaskan tanggung jawab atas perbuatannya. "Nasibku ialah tidak mempunyai aturan lain daripada hukumku sendiri. Aku tidak kembali ke kodratmu. Ada seribu satu jalan yang menuju kepadamu, tetapi saya ini seorang manusia, Yupiter, dan setiap insan harus mencari jalannya sendiri".


Beberapa komentator menanyakan sejauh manakah pandangan wacana Allah ini dipengaruhi oleh masa anak Sartre dan pendidikannya. Kita menerima kesan bahwa memang ada efek serupa itu, bila kita mendengar dongeng berikut ini wacana pengalamannya sebagai anak. "Once only I had the feeling that He existed. I had been playing with matches and had burnt a mat, I was busy covering up my crime when suddenly God saw me. I felt His gaze inside my head and on my hands, I turned round and round in the bathroom, horribly visible, a living target, I was saved by indignation, I grew angry at such a crude lack of tact, and blasphemed, muttering like my grandfather, 'sacre nom de Dieu de nom de Dieu'. He never looked at me again" (Hanya sekali saya punya perasaan bahwa Dia ada. Aku telah bermain dengan korek api dan aben sebuah keset, saya sibuk menghilangkan bekas-bekas kejahatanku, saat tiba-tiba Allah melihat aku. Aku mencicipi sorot mata-Nya di dalam kepalaku dan pada tanganku, saya berputar-putar dikamar mandi, kelihatan secara mengerikan, bagaikan bulan-bulanan yang hidup. Aku diselamatkan alasannya yaitu kegusaran. Aku naik darah alasannya yaitu tingkah laris yang begitu kurang asuh dan menyeranah-Nya, sambil bergumam menyerupai kakekku, 'sacre nom de Dieu de nom de Dieu'. Tidak pernah Ia menatapku lagi). Tentu saja orang beragama akan bertanya-tanya bagaimana citra kekanak-kanakan wacana Allah tersebut sanggup dibiarkan hidup terus pada orang dewasa. Bukankah di bidang citra wacana Allah pun harus kita bedakan antara otentik dan tidak otentik? Apakah orang menyerupai Sartre di sini tidak condong ke semacam perilaku malafide?


Download di Sini


Sumber:

Bertens, K. "Filsafat Barat Kontemporer, Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta

Baca Juga
1. Jean Paul Sartre. Biografi dan Karya
2. Jean-Paul Sartre. Kebebasan
3. Eksistensialisme Jean-Paul Sartre  
4. Aliran Filsafat. Eksistensialisme

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel