John Locke (1632-1704 M)
John Locke yakni tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam filsafat. Yakni, sebuah aliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan gagasan insan berasal dari sesuatu yang didapat dari indra atau pengamatan. Locke lahir di Inggris pada 29 Agustus 1632 dan meninggal pada 28 Oktober 1704 M. Karenanya ia disebut filsuf Inggris dengan aliran empirisme. Locke sering disebut sebagai tokoh yang memperlihatkan titik terang dalam perkembangan psikologi. Teori yang sangat penting darinya yakni wacana tanda-tanda kejiwaan yakni bahwa jiwa itu pada dikala mula-mula seseorang dilahirkan masih higienis bagaikan “tabula rasa”.
Fokus filsafat Locke yakni antitesis pemikiran Descartes*. Baginya, pemikiran Descartes* mengenai penalaran kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai penalaran dan spekulasi abstrak, kita harus menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui pancaindra. Ia hadir secara aposteriori. Pengenalan insan terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya menyerupai mencium, merasa, mengecap, dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.
Tapi pikiran, kata Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang tiba dari luar. Beberapa acara berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang tiba dari indra tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, memercayai dan meragukannya dan inilah karenanya disebut bab dari acara merenung atau perenungan.
Melalui Locke, tradisi empirisme di Inggris dimulai dan berkembang ke penjuru dunia yang sejak masa Plato* tradisi ini dibuang di negeri Barat. Filsafat Locke ini belakangan juga dibawa Voltaire ke Prancis. Filsafat Locke selalu menyarankan bahwa semua pengetahuan berasal dari Indra. Ia juga segera diikuti oleh uskup Irlandia George Berkeley dan filsuf Skotlandia David Hume*.
Selain dikenal sebagai filsuf empiris, Locke juga dikenal sebagai fisikawan. Ia tak suka hal-hal yang berbelit-belit laiknya filsuf Platonian. Sejarah hidupnya pernah dibuang di Belanda akhir keterlibatan ia dalam politik mudah di Inggris dan karenanya ia menjumpai kolega barunya berjulukan William dan Mary dari Orange pada tahun 1683. Pengalamannya itu menciptakan ia menciptakan karya tulis mengenai pemerintahan menyerupai Republik-nya Plato*. Berbeda dengan karyanya Plato*, ia lebih merinci dilema hak-hak asasi insan terutama hak atas kepemilikan pribadi.
Adapun yang membedakan Locke dengan lainnya yakni abjad pemikirannya yang empiris dibangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua pengalaman (pengetahuan), kata Locke, berawal dari pengalaman. Pengalaman memberi kita sensasi-sensasi. Dari sensasi ini kita memperoleh aneka macam macam ilham gres yang lebih kompleks. Dan pikiran kita terpengaruh oleh perasaan dan refleksi. Kendati Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain, namun Locke juga mendapatkan metafora sentral Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh. Terbukti, ia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan dengan investigasi pikiran.
Selian dari itu, Locke membedakan antara apa yang dinamakannya “kualitas primer” dan “kualitas sekunder”. Yang dimaksud dengan kualitas primer yakni luas, berat, gerakan, jumlah dan sebagainya. Jika hingga pada perkara kualitas menyerupai ini, kita sanggup merasa yakin bahwa indra-indra menirunya secara objektif. Tapi kita juga akan mencicipi kualitas-kualitas lain dalam benda-benda. Kita akan menyampaikan bahwa sesuatu itu cantik atau pahit, hijau atau merah. Locke menyebut ini sebagai kualitas sekunder. Pengindraan semacam ini tidak memalsukan kualitas-kualitas sejati yang menempel pada benda-benda itu sendiri.
Di samping anutan wacana filsafat pengetahuan, anutan Locke wacana budbahasa juga menarik untuk disimak. Terutama berkaitan dengan teori-teori umumnya wacana bagaimana insan berperilaku dan bagaimana seharusnya insan berperilaku. Di mata locke, insan selalu digerakkan semata-mata oleh harapan untuk memperoleh kesenangan atau kebahagiaan. Dalam anutan budbahasa ini, Locke amat menekankan agar kehidupan insan dibimbing oleh kepentingan jangka panjang. Maksudnya jangka panjang di sini yakni kebijaksanaan.
Proyek epistemologi Locke mencapai puncaknya dalam positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama yakni prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Seperti sudah dijelaskan di atas, empirisme mempunyai keyakinan bahwa semesta yakni sesuatu yang hadir melalui data indrawi. Karenanya, pengetahuan harus bersumber pengalaman dan pengamatan empirik. Dari tesis ini, positivisme lantas menyebarkan klaimnya bahwa puncak pengetahuan insan yakni ilmu-ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta yang terukur dan pasti.
Download di Sini
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Fokus filsafat Locke yakni antitesis pemikiran Descartes*. Baginya, pemikiran Descartes* mengenai penalaran kurang sempurna. Ia menyarankan, sebagai penalaran dan spekulasi abstrak, kita harus menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman dalam menangkap fenomena alam melalui pancaindra. Ia hadir secara aposteriori. Pengenalan insan terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya menyerupai mencium, merasa, mengecap, dan mendengar menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.
Melalui Locke, tradisi empirisme di Inggris dimulai dan berkembang ke penjuru dunia yang sejak masa Plato* tradisi ini dibuang di negeri Barat. Filsafat Locke ini belakangan juga dibawa Voltaire ke Prancis. Filsafat Locke selalu menyarankan bahwa semua pengetahuan berasal dari Indra. Ia juga segera diikuti oleh uskup Irlandia George Berkeley dan filsuf Skotlandia David Hume*.
Selain dikenal sebagai filsuf empiris, Locke juga dikenal sebagai fisikawan. Ia tak suka hal-hal yang berbelit-belit laiknya filsuf Platonian. Sejarah hidupnya pernah dibuang di Belanda akhir keterlibatan ia dalam politik mudah di Inggris dan karenanya ia menjumpai kolega barunya berjulukan William dan Mary dari Orange pada tahun 1683. Pengalamannya itu menciptakan ia menciptakan karya tulis mengenai pemerintahan menyerupai Republik-nya Plato*. Berbeda dengan karyanya Plato*, ia lebih merinci dilema hak-hak asasi insan terutama hak atas kepemilikan pribadi.
Adapun yang membedakan Locke dengan lainnya yakni abjad pemikirannya yang empiris dibangun atas dasar tunggal dan serbaguna. Semua pengalaman (pengetahuan), kata Locke, berawal dari pengalaman. Pengalaman memberi kita sensasi-sensasi. Dari sensasi ini kita memperoleh aneka macam macam ilham gres yang lebih kompleks. Dan pikiran kita terpengaruh oleh perasaan dan refleksi. Kendati Locke berbeda pandangan dengan filsuf lain, namun Locke juga mendapatkan metafora sentral Cartesian, pembedaan antara pikiran dan tubuh. Terbukti, ia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan dengan investigasi pikiran.
Selian dari itu, Locke membedakan antara apa yang dinamakannya “kualitas primer” dan “kualitas sekunder”. Yang dimaksud dengan kualitas primer yakni luas, berat, gerakan, jumlah dan sebagainya. Jika hingga pada perkara kualitas menyerupai ini, kita sanggup merasa yakin bahwa indra-indra menirunya secara objektif. Tapi kita juga akan mencicipi kualitas-kualitas lain dalam benda-benda. Kita akan menyampaikan bahwa sesuatu itu cantik atau pahit, hijau atau merah. Locke menyebut ini sebagai kualitas sekunder. Pengindraan semacam ini tidak memalsukan kualitas-kualitas sejati yang menempel pada benda-benda itu sendiri.
Di samping anutan wacana filsafat pengetahuan, anutan Locke wacana budbahasa juga menarik untuk disimak. Terutama berkaitan dengan teori-teori umumnya wacana bagaimana insan berperilaku dan bagaimana seharusnya insan berperilaku. Di mata locke, insan selalu digerakkan semata-mata oleh harapan untuk memperoleh kesenangan atau kebahagiaan. Dalam anutan budbahasa ini, Locke amat menekankan agar kehidupan insan dibimbing oleh kepentingan jangka panjang. Maksudnya jangka panjang di sini yakni kebijaksanaan.
Proyek epistemologi Locke mencapai puncaknya dalam positivisme. Inspirasi filosofis empirisme terhadap positivisme terutama yakni prinsip objektivitas ilmu pengetahuan. Seperti sudah dijelaskan di atas, empirisme mempunyai keyakinan bahwa semesta yakni sesuatu yang hadir melalui data indrawi. Karenanya, pengetahuan harus bersumber pengalaman dan pengamatan empirik. Dari tesis ini, positivisme lantas menyebarkan klaimnya bahwa puncak pengetahuan insan yakni ilmu-ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta yang terukur dan pasti.
Download di Sini
Sumber.
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodern”. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.