Martin Heidegger (1889-1976). Kurun Pertama
Dalam pemikiran Heidegger terdapat dua periode. Oleh karenanya beberapa komentator (antara lain Richardson) membedakan Heidegger I dan Heidegger II. Periode pertama mencakup Ada dan Waktu. Buku ini tidak pernah diselesaikan Heidegger. Dan keadaan terbengkalai ini justru disebabkan lantaran terjadinya perkembangan dalam pemikiran Heidegger. Setelah terbit, Ada dan Waktu segera disambut sebagai suatu karya filosofis yang bermutu. Tetapi ini tidak berarti bahwa maksudnya dimengerti juga. Dengan memakai nama samaran, Heidegger sendiri menulis sebuah resensi mengenai bukunya guna menyingkirkan banyak salah paham tentangnya, tetapi resensi ini tidak hingga dipublikasikan.
Antara lain pemikiran Heidegger dalam Ada dan Waktu sering salah ditafsirkan sebagai eksistensialisme. Kalau begitu, filsafatnya dimengerti sebagai suatu pedoman perihal insan dan dalam hal ini insan dipandang sebagai “eksistensi” berdasarkan arti istilah ini digunakan semenjak Kierkegaard*. Perlu diakui, dalam Ada dan Waktu terdapat cukup banyak unsur yang mendukung interpretasi demikian. Ia memang memakai istilah “eksistensi” dan dengan panjang lebar ia membahas insan sebagai eksistensi. Tidak sanggup disangkal bahwa imbas Kierkegaard* (“bapak eksistensialisme”) kentara sekali.
Ia juga membicarakan tema-tema khas eksistensialistis ibarat kecemasan (Angst) dan kematian. Namun demikian, filsafatnya tidak sanggup digolongkan dalam eksistensialisme. Terutama Jean-Paul Sartre* menginterpretasikan Ada dan Waktu dengan cara itu. Dalam sepucuk surat kepada sahabatnya di Paris, Profesor Jean Beaufret, ditulis di isu terkini rontok 1946, dengan tegas sekali Heidegger menolak interpretasi eksistensialis ini dan menunjukan pemikirannya dalam Ada dan Waktu. Surat ini diterbitkan dalam judul Ueber den Humanismus (Perihal humanisme) (1947). Sejak dikala itu interpretasi eksistensialistis itu bergotong-royong tidak memiliki dasar lagi.
Dalam perkembangan pemikiran Heidegger setelah Ada dan waktu terang sekalilah bahwa perjuangan filosofisnya tidak sanggup disamakan dengan eksistensialisme. Tetapi juga dalam Ada dan waktu sendiri sudah sanggup dipastikan bahwa maksudnya tidak demikian. Dalam pendahuluan pada halaman pertama sudah diterangkan bahwa tujuannya ialah “dengan cara gres mengajukan pertanyaan akan makna Ada” (die Frage nach dem Sinn von Sinn erneut zu stellen). Yang gres ialah caranya, alasannya ialah pertanyaan itu sendiri tidak merupakan pertanyaan baru. Malah sanggup dikatakan, pertanyaan ini suatu pertanyaan kuno, lantaran telah diajukan semenjak permulaan filsafat di Yunani. Tetapi berdasarkan Heidegger pertanyaan tersebut kini ini sudah dilupakan. Dengan proteksi fenomenologi ia berusaha menghidupkan kembali pertanyaan ini. Dalam pendahuluan yang sama ia menunjukan lebih lanjut: “Secara nyata menggarap pertanyaan akan makna “Ada” merupakan tujuan ulasan kami ini. Ulasan waktu sebagai horison yang memungkinkan tiap-tiap pengertian-akan-Ada (comprehension of Being) ialah tujuan sementara”. Dengan demikian sudah sanggup diduga sedikit apakah maksud Heidegger dengan judul bukunya.
Dalam tulisan-tulisannya setelah Perang Dunia II beberapa kali Heidegger bercerita bagaimana waktu isu terkini panas pada tahun 1907 Dr. Konrad Grober (pada waktu itu Pastor gereja Trinitas di Konstanz, kemudian Uskup Agung Freiburg) menghadiahkan kepadanya disertasi Franz Brentano Von der mannigfachen Bedeutung des Seienden nach Aristoteles (1862) (Tentang banyak makna kata Ada berdasarkan Aristoteles*). Pada dikala itu Heidegger ialah murid kelas tertinggi di Gymnasium (sekolah menengah), berumur 18 tahun. Bagi orang muda ini bencana tersebut berarti perkenalan pertama dengan filsafat. Suatu bencana mahapenting, alasannya ialah pertanyaan akan “Ada” akan menandai seluruh kariernya sebagai filsuf, baik dalam periode pertama maupun dalam periode kedua. Ada dan waktu merupakan langkah pertama dalam usahanya menjawab pertanyaan itu.
Menurut Heidegger, untuk membeberkan pertanyaan akan Ada, lebih dahulu kita harus bertanya akan Ada-nya makhluk satu-satunya yang mengajukan pertanyaan itu, yaitu manusia. Manusia sanggup mengajukan pertanyaan itu lantaran ia memiliki pengertian-akan-Ada. Dalam pada itu kata “manusia” jarang sekali digunakan Heidegger dalam Ada dan waktu dan ia sama sekali tidak memakai istilah-istilah ibarat “subjek”, “aku”, “persona”, “kesadaran”, yang sering digunakan dalam tradisi filosofis untuk mengacu ke manusia. Manusia ditunjuk Heidegger dengan nama Dasein. Istilah ini tidak sanggup diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Dalam istilah ini selalu turut dimaksudkan bahwa insan ialah “Ada” (Sein) yang berada “di situ” (da). Manusia tidak ada begitu saja, tetapi secara akrab berpautan dengan Ada-nya sendiri. Berbeda dengan benda-benda dan binatang-binatang, insan terlibat dalam Ada-nya. Yang diusahakan Heidegger ialah suatu analisis terhadap Dasein, artinya mengatakan struktur-struktur dasariah Dasein. Dasein disifatkannya sebagai “eksistensi” dan “berada-dalam-dunia”. Struktur-struktur dasariah atau ciri-ciri hakiki Dasein disebutnya “exsistentialia”. Analisis struktur-struktur dasariah Dasein yang belit-belit itu mustahil disingkatkan di sini. Hanya boleh disebut hasil terakhir analisis ini, di mana struktur menyeluruh Dasein ditafsirkan sebagai Sorge (keprihatinan; Inggris: concern). Dengan itu dimaksudkan suatu pergaulan mudah (bukan teoretis) dengan benda-benda, disertai dengan suatu perilaku tertentu terhadap dirinya sendiri dan sesama manusia.
Analisis terhadap Dasein yang dibicarakan tadi terdapat dalam seksi pertama dari cuilan pertama. Dalam seksi kedua diterangkan bahwa makna ontologis (Seinssinn) Dasein terletak dalam temporalitasnya (Zeitlickeit) dan bahwa sorge sebagai struktur menyeluruh Dasein harus dimengerti dalam rangka temporalitas. Dengan demikian ia kembali lagi pada analisis dari seksi pertama dengan maksud menunjukan dalam kesatuan yang dimungkinkan oleh temporalitas. Karenanya seluruh analisis Dasein menerima suatu makna lebih mendalam. Dalam konteks ini Heidegger menyajikan analisis panjang perihal maut serta Dasein sebagai ada-menuju-kematian (Sein zum Tode) dan perihal hati nurani. Yang menarik ialah bahwa dari tiga bentuk waktu (waktu sekarang, waktu lampau, waktu mendatang) diberi prioritas kepada waktu mendatang. Temporalitas Dasein ialah terutama orientasi pada waktu mendatang, dan waktu lampau serta waktu kini harus dimengerti atas dasar waktu mendatang.
Bagian kedua Ada dan waktu tidak pernah terbit. Dalam cuilan kedua ini direncanakan Heidegger suatu “penghancuran” tradisi ontologi dengan memakai problematik temporalitas sebagai pegangan. Berturut-turut akan dibahas filsafat Kant*, Descartes*, dan Aristoteles* dari sudut pendapat mereka perihal waktu. Tetapi juga seksi ketiga cuilan pertama tidak diselesaikan Heidegger. Menurut planning seksi ketiga ini akan berjudul “Waktu dan Ada”. Jadi, di sini perspektifnya terbalik. Setelah temporalitas ditentukan sebagai makna Ada-nya Dasein, kini ia hendak mencari makna Ada dengan bertitik tolak dari temporalitas. Dalam Ada dan waktu seringkali Heidegger menunjuk kepada seksi ketiga ini dan tidak jarang pembaca menerima kesan bahwa banyak uraian dalam seksi pertama dan kedua akan hingga pada pengertian lebih mendalam justru dalam seksi ketiga ini. Di kemudian hari Heidegger menunjukan bahwa seksi terakhir ini tidak diterbitkan alasannya ialah pemikiran mengalami kemacetan akhir bahasa metafisika tidak memadai.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Martin Heidegger. Biografi dan Karya
2. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
3. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
4. Memahami Keber-Ada-an yang Me-Waktu
Antara lain pemikiran Heidegger dalam Ada dan Waktu sering salah ditafsirkan sebagai eksistensialisme. Kalau begitu, filsafatnya dimengerti sebagai suatu pedoman perihal insan dan dalam hal ini insan dipandang sebagai “eksistensi” berdasarkan arti istilah ini digunakan semenjak Kierkegaard*. Perlu diakui, dalam Ada dan Waktu terdapat cukup banyak unsur yang mendukung interpretasi demikian. Ia memang memakai istilah “eksistensi” dan dengan panjang lebar ia membahas insan sebagai eksistensi. Tidak sanggup disangkal bahwa imbas Kierkegaard* (“bapak eksistensialisme”) kentara sekali.
Dalam perkembangan pemikiran Heidegger setelah Ada dan waktu terang sekalilah bahwa perjuangan filosofisnya tidak sanggup disamakan dengan eksistensialisme. Tetapi juga dalam Ada dan waktu sendiri sudah sanggup dipastikan bahwa maksudnya tidak demikian. Dalam pendahuluan pada halaman pertama sudah diterangkan bahwa tujuannya ialah “dengan cara gres mengajukan pertanyaan akan makna Ada” (die Frage nach dem Sinn von Sinn erneut zu stellen). Yang gres ialah caranya, alasannya ialah pertanyaan itu sendiri tidak merupakan pertanyaan baru. Malah sanggup dikatakan, pertanyaan ini suatu pertanyaan kuno, lantaran telah diajukan semenjak permulaan filsafat di Yunani. Tetapi berdasarkan Heidegger pertanyaan tersebut kini ini sudah dilupakan. Dengan proteksi fenomenologi ia berusaha menghidupkan kembali pertanyaan ini. Dalam pendahuluan yang sama ia menunjukan lebih lanjut: “Secara nyata menggarap pertanyaan akan makna “Ada” merupakan tujuan ulasan kami ini. Ulasan waktu sebagai horison yang memungkinkan tiap-tiap pengertian-akan-Ada (comprehension of Being) ialah tujuan sementara”. Dengan demikian sudah sanggup diduga sedikit apakah maksud Heidegger dengan judul bukunya.
Dalam tulisan-tulisannya setelah Perang Dunia II beberapa kali Heidegger bercerita bagaimana waktu isu terkini panas pada tahun 1907 Dr. Konrad Grober (pada waktu itu Pastor gereja Trinitas di Konstanz, kemudian Uskup Agung Freiburg) menghadiahkan kepadanya disertasi Franz Brentano Von der mannigfachen Bedeutung des Seienden nach Aristoteles (1862) (Tentang banyak makna kata Ada berdasarkan Aristoteles*). Pada dikala itu Heidegger ialah murid kelas tertinggi di Gymnasium (sekolah menengah), berumur 18 tahun. Bagi orang muda ini bencana tersebut berarti perkenalan pertama dengan filsafat. Suatu bencana mahapenting, alasannya ialah pertanyaan akan “Ada” akan menandai seluruh kariernya sebagai filsuf, baik dalam periode pertama maupun dalam periode kedua. Ada dan waktu merupakan langkah pertama dalam usahanya menjawab pertanyaan itu.
Menurut Heidegger, untuk membeberkan pertanyaan akan Ada, lebih dahulu kita harus bertanya akan Ada-nya makhluk satu-satunya yang mengajukan pertanyaan itu, yaitu manusia. Manusia sanggup mengajukan pertanyaan itu lantaran ia memiliki pengertian-akan-Ada. Dalam pada itu kata “manusia” jarang sekali digunakan Heidegger dalam Ada dan waktu dan ia sama sekali tidak memakai istilah-istilah ibarat “subjek”, “aku”, “persona”, “kesadaran”, yang sering digunakan dalam tradisi filosofis untuk mengacu ke manusia. Manusia ditunjuk Heidegger dengan nama Dasein. Istilah ini tidak sanggup diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Dalam istilah ini selalu turut dimaksudkan bahwa insan ialah “Ada” (Sein) yang berada “di situ” (da). Manusia tidak ada begitu saja, tetapi secara akrab berpautan dengan Ada-nya sendiri. Berbeda dengan benda-benda dan binatang-binatang, insan terlibat dalam Ada-nya. Yang diusahakan Heidegger ialah suatu analisis terhadap Dasein, artinya mengatakan struktur-struktur dasariah Dasein. Dasein disifatkannya sebagai “eksistensi” dan “berada-dalam-dunia”. Struktur-struktur dasariah atau ciri-ciri hakiki Dasein disebutnya “exsistentialia”. Analisis struktur-struktur dasariah Dasein yang belit-belit itu mustahil disingkatkan di sini. Hanya boleh disebut hasil terakhir analisis ini, di mana struktur menyeluruh Dasein ditafsirkan sebagai Sorge (keprihatinan; Inggris: concern). Dengan itu dimaksudkan suatu pergaulan mudah (bukan teoretis) dengan benda-benda, disertai dengan suatu perilaku tertentu terhadap dirinya sendiri dan sesama manusia.
Analisis terhadap Dasein yang dibicarakan tadi terdapat dalam seksi pertama dari cuilan pertama. Dalam seksi kedua diterangkan bahwa makna ontologis (Seinssinn) Dasein terletak dalam temporalitasnya (Zeitlickeit) dan bahwa sorge sebagai struktur menyeluruh Dasein harus dimengerti dalam rangka temporalitas. Dengan demikian ia kembali lagi pada analisis dari seksi pertama dengan maksud menunjukan dalam kesatuan yang dimungkinkan oleh temporalitas. Karenanya seluruh analisis Dasein menerima suatu makna lebih mendalam. Dalam konteks ini Heidegger menyajikan analisis panjang perihal maut serta Dasein sebagai ada-menuju-kematian (Sein zum Tode) dan perihal hati nurani. Yang menarik ialah bahwa dari tiga bentuk waktu (waktu sekarang, waktu lampau, waktu mendatang) diberi prioritas kepada waktu mendatang. Temporalitas Dasein ialah terutama orientasi pada waktu mendatang, dan waktu lampau serta waktu kini harus dimengerti atas dasar waktu mendatang.
Bagian kedua Ada dan waktu tidak pernah terbit. Dalam cuilan kedua ini direncanakan Heidegger suatu “penghancuran” tradisi ontologi dengan memakai problematik temporalitas sebagai pegangan. Berturut-turut akan dibahas filsafat Kant*, Descartes*, dan Aristoteles* dari sudut pendapat mereka perihal waktu. Tetapi juga seksi ketiga cuilan pertama tidak diselesaikan Heidegger. Menurut planning seksi ketiga ini akan berjudul “Waktu dan Ada”. Jadi, di sini perspektifnya terbalik. Setelah temporalitas ditentukan sebagai makna Ada-nya Dasein, kini ia hendak mencari makna Ada dengan bertitik tolak dari temporalitas. Dalam Ada dan waktu seringkali Heidegger menunjuk kepada seksi ketiga ini dan tidak jarang pembaca menerima kesan bahwa banyak uraian dalam seksi pertama dan kedua akan hingga pada pengertian lebih mendalam justru dalam seksi ketiga ini. Di kemudian hari Heidegger menunjukan bahwa seksi terakhir ini tidak diterbitkan alasannya ialah pemikiran mengalami kemacetan akhir bahasa metafisika tidak memadai.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Martin Heidegger. Biografi dan Karya
2. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
3. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
4. Memahami Keber-Ada-an yang Me-Waktu