Merleau-Ponty. Persepsi Dan Tubuh

Masalah-masalah yang menyangkut penglihatan menarik perhatian Merleau-Ponty sepanjang hidupnya. Sesudah ia meninggal dengan mendadak, di kamar kerjanya ditemukan buku Descartes* Dioptrique dalam keadaan terbuka; buku di mana Descartes* membahas penglihatan dari sudut filsafat rasionalistisnya. Filsafat Merleau-Ponty senantiasa bergumul dengan rasionalisme Descartes* pada umumnya, dan juga dengan buku wacana problem-problem penglihatan ini pada khususnya. Minat yang besar bagi seni lukis harus ditempatkan dalam konteks yang sama. Judul karyanya yang utama, Fenomenologi Persepsi, sudah cukup terang menyampaikan pokok penelitiannya di situ. Dan buku yang sedang dikerjakan dikala ia meninggal oleh Merleau-Ponty sendiri sudah diberi judul Yang Kelihatan dan yang Tak Kelihatan.

Perlu diperhatikan bahwa bagi Merleau-Ponty istilah “persepsi” memiliki arti lebih luas daripada sekedar dengan mata mengamati suatu objek. Sebetulnya istilah itu mencakup seluruh korelasi kita dengan dunia, khususnya pada taraf inderawi. Dengan demikian tema ini secara pribadi berkaitan dengan tema-tema lain yang sangat penting dalam filsafat modern, ibarat dunia, makna, tubuh, dan intersubjektivitas.

Bagi Merleau-Ponty persepsi yaitu saluran ke kebenaran. Karena itu persepsi memiliki prioritas terhadap rasio. Dengan pemikiran kritis kita memang sanggup mengatasi dunia dan memasuki suatu taraf yang abstrak, tetapi jangan lah dilupakan bahwa hal itu hanya mungkin lantaran terlebih dahulu dengan segenap eksistensi kita berpijak pada dunia.

Berpersepsi atau mengamati sama dengan percaya pada dunia, kata Merleau-Ponty. Dengan adanya persepsi sudah terang bahwa kita berakar dalam dunia. Manusia sanggup dilukiskan sebagai berada-dalam-dunia (entre-au-monde) dan persepsi yaitu kekerabatan orisinil kita dengan dunia. Memang benar, persepsi bisa keliru. Saya sangka, saya melihat watu di kejauhan di situ, padahal yang ada tidak lain daripada bayangan yang dipantulkan matahari. Tetapi persepsi yang pertama yang keliru tidak dikoreksi oleh suatu instansi  yang lain (pemikiran misalnya), melainkan oleh persepsi itu sendiri. Saya ini terbuka bagi dunia; itulah yang mendasari persepsi. Tetapi hal itu menjadikan juga bahwa persepsi saya tidak pernah rampung dan definitif, alasannya yaitu korelasi saya dengan dunia ditandai oleh perspektif-perspektif yang berganti-ganti. Suatu perspektif berdasarkan kodratnya tidak pernah absolut. Bila saya melihat sebuah rumah, umpamanya, saya melihat belahan depan atau belakang, sebelah kiri atau sebelah kanan, belahan luar atau belahan dalam. Saya melihat semua perspektif itu, tetapi hanya satu demi satu. Tidak pernah mungkin suatu perspektif absolut, di mana semua perspektif tadi berkumpul bersama-sama. Persepsi secara radikal berbeda dengan pengetahuan absolut, yang memegang peranan begitu besar dalam idealism. Dengan kata lain, persepsi mengambil belahan dalam ambiguitas eksistensi manusia. Dalam persepsi, terang tercampur dengan kegelapan, indera tidak dipisahkan dari rasionalitas dan subjektivitas anonym mendahului subjektivitas yang bening bagi dirinya sendiri (cogito dalam arti Descartes*).

Bahwa Merleau-Ponty merumuskan pemikirannya dengan menolak realism maupun idealism sebagai dua pendirian ekstrim, secara khusus menjadi terang dalam pandangannya wacana persepsi. Bagi realism persepsi merupakan suatu kejadian objektif saja (rangsangan dari luar menjadikan suatu pencerapan atau sensation dalam diri kita). Realism memutuskan pertalian dekat antara subjek-yang-berpersepsi dengan dunia. Oleh idealism dunia diasalkan kepada subjek. Persepsi dianggap sebagai suatu bentuk pemikiran yang kabur, pemikiran yang kurang sempurna. Dengan demikian kedua-duanya jatuh dalam kekhilafan dasar yang sama, yaitu tidak mengakui subjektivitas sebagai berada-dalam-dunia.

Tema persepsi ini bekerjasama dekat dengan suatu tema lain yang sangat penting bagi Merleau-Ponty, yaitu tubuh. Kaitannya gampang dimengerti, alasannya yaitu persepsi selalu melibatkan tubuh; persepsi berlangsung dalam dan melalui tubuh. Dalam konteks pembahasan persepsi, pernah ia berbicara wacana “tubuh yang mengetahui lebih banyak wacana dunia daripada kita sendiri”. Dalam persepsi, artinya dalam korelasi subjek dengan dunia, tubuh ternyata memainkan peranan sebagai subjek. Tubuh yaitu subjek persepsi. Inilah pandangan Merleau-Ponty yang populer wacana “tubuh-subjek”. Tubuh tidak merupakan semacam alat yang digunakan oleh subjek. Seorang yang bakir main piano tidak “menggunakan” tangannya; seorang pemain sepak bola tidak “menggunakan” kakinya. Tubuh mereka “tahu”—tetapi bukan dengan pengetahuan teoretis saja—bagaimana harus bergerak dalam dunia. Tubuh dan subjek merupakan dua hal, tetapi tubuh sendiri yaitu subjek. Tubuh melibatkan kita dalam dunia dan merupakan perspektif kita dalam dunia. Dengan pendiriannya wacana tubuh-subjek ini Merleau-Ponty yakin sanggup mengatasi dualism Descartes*. Seperti diketahui, bagi Descartes* tubuh dan jiwa merupakan dua faktor tersendiri. “Aku” yang bekerjsama yaitu jiwa dan tubuh intinya tidak lain daripada objek—“mesin”, kata Descartes*—yang digunakan oleh jiwa. Dualism Cartesian ini telah menghipnotis secara mendalam seluruh filsafat dan psikologi modern. Dalam rangka dualism contohnya dipisahkan antara kemarahan (yang dianggap suatu keadaan batin) dan tanda-tanda badani ibarat pengepalan tinju, wajah merah dan seterusnya. Tetapi kemarahan yaitu suatu cara bertingkah laris di mana mustahil untuk memisahkan antara segi batin dan segi badani. Kemarahan sebagai emosi tidak pernah terlepas dari kemarahan sebagai ekspresi badani.

Bahwa tubuh yaitu tubuh-subjek, sanggup diungkapkan secara lain dengan menyampaikan bahwa tubuh memberi makna. Makna juga merupakan suatu tema yang sangat penting dalam filsafat Merleau-Ponty. Yang khas bagi insan yaitu bahwa ia sanggup menampilkan makna. Bertingkah laris sebagai insan berarti menampilkan makna dan persepsi yaitu taraf paling fundamental di mana hal itu tampak. Maka dari itu Merleau-Ponty mengkritik ajaran behaviorisme (J. Watson) dalam psikologi, yang menyamakan tingkah laris dengan reaksi atas rangsangan. Bagi behaviorisme tingkah laris tidak lain daripada penyesuaian pada suatu stimulus. Tetapi anggapan serupa itu justru mengingkari yang khas bagi tingkah laris manusia. Tubuh insan selalu mengatasi status benda; dalam arti itu tubuh yaitu transenden. Sedangkan ajaran psikologi yang sangat menarik bagi Merleau-Ponty yaitu “Psikologi Gestalt”, lantaran “Gestalt” mengandaikan adanya korelasi dialektis antara subjek dan dunia. Tetapi dalam konteks ini secara konsekuen ia menolak kecendrungan sementara psikolog untuk memperlakukan “Gestalt” sebagai suatu benda.

Kalau tubuh diakui sebagai subjek, paham “subjektivitas” menerima arti yang jauh lebih luas daripada dalam filsafat Descartes* umpamanya. Bagi Descartes*, subjektivitas sama dengan kesadaran; dan pada Sartre pun bekerjsama kita masih menemui pendapat yang sama. Tetapi berdasarkan Merleau-Ponty, justru lantaran adanya tubuh-subjek, subjektivitas ternyata juga mencakup suatu dimensi tak sadar atau—lebih baik lagi—suatu dimensi prarefleksif. Subjektivitas seperti memiliki suatu lapisan fundamental yang bersifat anonym. Perbuatan-perbuatan sadar kita bertumpu pada tubuh-subjek yang memberi makna kepada taraf yang mendahului kesadaran. Dari segi ini sanggup dimengerti minat khusus Merleau-Ponty (bertentangan dengan Sartre) untuk ketidaksadaran dalam psikoanalisa Sigmund Freud*.

Dalam analisanya wacana tubuh Merleau-Ponty menilik dan mengkritik juga pandangan wacana tubuh yang secara implisit memilih uraian-uraian dalam fisiologi mekanistis dan psikologi klasik. Ia sangat menghargai penelitian-penelitian Kurt Goldstein dan Adheimar Gelb, khususnya wacana masalah Schneider. Schneider yaitu seorang pasien yang menderita rupa-rupa gangguan jawaban cedera otak dalam Perang Dunia I.

Schneider tidak bisa melaksanakan gerakan-gerakan yang boleh disebut abstrak. Kalau orang meminta kepadanya semoga ia menyampaikan hidungnya umpamanya, ia tidak bisa. Tetapi kalau perlu membersihkan hidungnya, dengan impulsif ia mengangkat sapu tangannya ke daerah hidungnya. Atau jikalau anggota tubuhnya disengat serangga, dengan segera ia menggaruk belahan tubuh yang gatal itu, dengan mata tertutup sekalipun. Tetapi jikalau dokter minta semoga ia meletakkan tangannya di atas anggota tubuh yang gres saja dijamah dokter, ia tidak bisa. Pendeknya ia tidak bisa melaksanakan gerakan-gerakan abstrak, artinya gerakan-gerakan yang tidak tercantum dalam situasi motoris yang konkret. Bagaimana kita sanggup mengerti kelakuan pasien yang absurd ini? Tidak memadai setiap keterangan biologis-fisiologis yang menyampaikan bahwa kelakuan pasien ini sanggup dimengerti lantaran rusaknya beberapa belahan dalam otak. Alasannya yaitu lantaran dengan keterangan fisiologis belaka mustahil menjadi terang apa sebabnya gerakan yang sama dalam satu situasi sanggup dilakukan dan dalam situasi lain tidak. Dan tentu saja tidak pada tempatnya juga bila kita mencari alasannya yaitu dibidang intelektual. Schneider memiliki intelegensi cukup tinggi dan ia mengerti baik sekali apa yang diminta kepadanya oleh dokter. Kasus ibarat pasien Schneider ini gres mulai dimengerti sedikit bila kita memahami tingkah laris insan sebagai keterarahan kepada dunia atau—dengan istilah fenomenologis—bila kita memahami tingkah laris insan sebagai intensionalitas. Intensionalitas atau berada dalam-dunia ini sanggup berlangsung pada banyak sekali taraf. Gangguan-gangguan dalam tingkah laris Shneider terjadi lantaran keterarahan pada dunia terganggu. Ia tidak sanggup menghayati korelasi dengan dunia melalui banyak sekali cara. Ia terikat pada yang nyata saja dan tidak sanggup mengatasi situasi nyata ke situasi abstrak.

Download di Sini


Sumber:

Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Baca Juga
1. Maurice Merleau-Ponty. Biografi dan Karya
2. Merleau-Ponty dan Fenomenologi 
3. Merleau-Ponty. Bahasa

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel