Neofungsionalisme

Di bawah kritik yang bertubi-tubi, signifikansi fungsionalisme struktural mengalami kemunduran mulai dari pertengahan 1960-an hingga sekarang. Akan tetapi, pada pertengahan 1980-an, dilakukan perjuangan utama untuk menghidupkan kembali teori itu dengan nama “neofungsionalisme”. Istilah neofungsionalisme dipakai untuk memperlihatkan kesinambungan dengan fungsionalisme struktural, tetapi juga untuk memperlihatkan adanya perjuangan untuk memperluas fungsionalisme struktural dan mengatasi kesulitan-kesulitan utamanya. Jeffrey Alexander* dan Paul Colomy mendefinisikan neofungsionalisme sebagai “untaian teori fungsional yang melaksanakan kritik-diri yang berusaha memperluas lingkup intelektual fungsionalisme sembari mempertahankan inti teoretisnya” (1985:11). Dengan begitu, terperinci bahwa Alexander dan Colomy melihat fungsionalisme struktural terlalu sempit dan tujuan mereka ialah membuat teori yang lebih sintetik, yang mereka sebut “neofungsionalisme”.

Alexander (1985a:10) telah menyebut satu demi satu masalah-masalah yang menyangkut fungsionalis struktural yang perlu diatasi neofungsionalisme, antara lain “anti individualisme”, “permusuhan terhadap perubahan”, “konservatisme”, “idealisme”, “bias antiempiris”. (Dilakukan usaha-usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut secara programatis (Alexander, 1985b) dan pada level-level teoretis yang lebih spesifik, contohnya, perjuangan Colomy (1986; Alexander dan Colomy, 1990b; Colomy dan Roades, 1994) untuk memperbaiki teori diferensiasi. Meskipun ia bersemangat untuk neofungsionalisme, pada pertengahan 1980-an Alexander terpaksa menyimpulkan bahwa “neofungsionalisme lebih merupakan suatu tendensi ketimbang suatu teori yang sudah maju” (1985b:16).

Meskipun neofungsionalisme mungkin bukan suatu teori yang sudah maju, Alexander (1985a; lihat juga Colomy, 1990b) telah menggarisbawahi beberapa orientasi dasarnya.

Pertama, neofungsionalisme bekerja dengan suatu model masyarakat yang deskriptif yang melihat masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang saling berinteraksi satu sama lain, dan dalam berinteraksi itu mereka membentuk suatu pola. Pola itu mengizinkan sistem diferensiasi dari lingkungannya. Bagian-bagian dari sistem itu “berhubungan secara simbiotik”, dan interaksi mereka tidak ditentukan oleh suatu kekuatan yang mencakup segalanya. Dengan demikian, neofungsionalisme menolak setiap determinisme penyebab tunggal (monocausal) dan bersifat tidak terbatas dan pluralistik.

Kedua, Alexander berargumen bahwa neofungsionalisme mencurahkan perhatian yang kira-kira sama terhadap tindakan dan ketertiban. Oleh sebab itu neofungsionalisme menghindari tendensi fungsionalisme struktural yang nyaris secara ekslusif berfokus pada sumber-sumber ketertiban level makro di dalam struktur-struktur sosial dan kebudayaan dan tidak hanya memerhatikan pola-pola tindakan yang lebih berlevel mikro (Schwinn, 1998). Neofungsionalisme juga bermaksud memiliki pengertian yang luas atas tindakan, yang tidak hanya mencakup tindakan rasional tetapi juga tindakan ekspresif.

Ketiga, neofungsionalisme mempertahankan perhatian fungsional-struktural pada integrasi, bukan sebagai fakta yang sudah selesai, tetapi lebih tepatnya sebagai suatu kemungkinan sosial. Ia mengakui bahwa penyimpangan dan kendali sosial yaitu realitas yang ada di dalam sistem-sistem sosial. Ada perhatian terhadap keseimbangan di dalam neofungsionalisme, tetapi lebih luas dibandingkan perhatian fungsional-struktural, yang mencakup keseimbangan yang sedang bergerak maupun yang parsial. Ada keengganan melihat sistem-sistem sosial dicirikan oleh keseimbangan statis. Didefinisikan secara luas, keseimbangan dilihat sebagai titik teladan untuk analisis fungsional, tetapi tidak menggambarkan kehidupan individu di dalam sistem sosial aktual.

Keempat, neofungsionalisme mendapatkan pengutamaan Parsonian tradisional pada kepribadian, kebudayaan, dan sistem sosial. Selain vital bagi struktur sosial, interpenetrasi sistem-sistem tersebut juga menghasilkan ketegangan-ketegangan yang senantiasa merupakan sumber perubahan dan pengendalian.

Kelima, neofungsionalisme berfokus pada perubahan sosial di dalam proses diferensiasi di dalam sistem-sistem sosial, budaya, dan kepribadian. Oleh sebab itu, perubahan bukan hasil keselarasan dan harmoni tetapi lebih tepatnya “ketegangan individuasi dan kelembagaan” (Alexander, 1985b:10).

Akhirnya, Alexander berargumen bahwa neofungsionalisme “menyiratkan kesepakatan kepada independensi konseptualisasi dan penteorian dari level-level analisis sosiologis yang lain” (1985b:10).

Alexander dan Colomy (1990a) mengawasi klaim yang sangat ambisius untuk neofungsionalisme. Mereka tidak melihat neofungsionalisme sebagai, dalam peristilahan mereka, sekadar “elaborasi” sederhana, atau “revisi”, fungsionalisme struktural melainkan lebih tepatnya sebagai “rekonstruksi”nya yang lebih dramatis. Di dalam rekonstruksi itu, perbedaan-perbedaan dengan pendiri fungsionalisme struktural (Parsons*) diakui dengan jelas, dan dibukanya pintu kepada teoretisi dan teori-teori yang lain. Dilakukan usaha-usaha untuk menggabungkan ke dalam neofungsionalisme wawasan yang diperoleh dari para empu, ibarat karya Marx* mengenai struktur-struktur material dan karya Durkheim mengenai simbolisme. Dalam upaya untuk mengatasi bias idealis fungsionalisme struktural Parsonsian, khususnya pada pengutamaan fenomena subjektif-mikro ibarat kebudayaan, didorong pendekatan-pendekatan yang lebih materialis. Tendensi fungsional-struktural untuk menekankan ketertiban dilawan dengan seruan untuk melaksanakan pemulihan kekerabatan baik dengan teori-teori perubahan-perubahan sosial. Yang paling penting, untuk mengatasi bias-bias level makro fungsionalisme struktural, dilakukan usaha-usaha untuk memadukan ide-ide dari teori teori pertukaran, interaksionisme simbolik, pragmatisme, fenomenologi, dan seterusnya. Dengan kata lain, Alexander dan Colomy berusaha menyintesiskan fungsionalisme struktural dengan sejumlah tradisi teoretis lainnya. Rekonstruksi demikian dianjurkan untuk menghidupkan kembali fungsionalisme struktural dan juga untuk memperlihatkan landasan bagi suatu tradisi teoretis baru.


Download di Sini


Baca Juga
Jeffrey C. Alexander. Biografi dan Karya

Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel