Selo Soemardjan
Bapak Sosiologi Indonesia
Seorang lagi putra bangsa terbaik telah tiada. Ia 'Bapak Sosiologi Indonesia' Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, alasannya komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini ialah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan hingga final hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet alasannya banyaknya kendaraan yang diparkir.
Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, mayat diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB.
Salah seorang anaknya menyampaikan hari Senin pukul 05.00, dia mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita alasannya gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi pertolongan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi alasannya jantungnya terus melemah, perjuangan tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton program televisi yang memutar film Seniman Benyamin. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas.
Almarhum meninggalkan pola yang baik, teladan, bukan hanya bagi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, alasannya masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya kesepakatan sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang menciptakan mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X supaya selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut problem sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kongkalikong dan nepotisme (KKN). Pantas alasannya ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang higienis yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat alasannya etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Tidak heran jikalau banyak kalangan yang melayat ke rumah murung memberikan belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary, tokoh pers Jacob Oetama, Sosiolog Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan, sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog Prof Dr Ichromi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah spesial Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wapres Republik Indonesia, Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf jago Presiden HM Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi Indonesia sehabis tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia mendapatkan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus mendapatkan gelar ilmuwan utama Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983).
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan hingga final hayatnya justru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, ialah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh sehabis menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai wilayahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya ialah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu dikala sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat menciptakan Selo menjadi peneliti yang bisa menyodorkan alternatif pemecahan banyak sekali problem sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Jaksa Agung Ke-18 (6 Jun -3 Juli 2001) Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu eksklusif dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia memberikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang bisa mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang bergotong-royong inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi gampang dimengerti alasannya selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Jaksa Agung Ke-18 (6 Jun -3 Juli 2001) Baharuddin Lopa.
Dalam goresan pena Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi gampang dimengerti alasannya menggunakan bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, alasannya disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan ialah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia mendapatkan Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Download di Sini
Seorang lagi putra bangsa terbaik telah tiada. Ia 'Bapak Sosiologi Indonesia' Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, alasannya komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini ialah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan hingga final hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet alasannya banyaknya kendaraan yang diparkir.
Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, mayat diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB.
Salah seorang anaknya menyampaikan hari Senin pukul 05.00, dia mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita alasannya gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi pertolongan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi alasannya jantungnya terus melemah, perjuangan tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton program televisi yang memutar film Seniman Benyamin. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas.
Almarhum meninggalkan pola yang baik, teladan, bukan hanya bagi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, alasannya masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya kesepakatan sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang menciptakan mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X supaya selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut problem sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kongkalikong dan nepotisme (KKN). Pantas alasannya ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang higienis yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat alasannya etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Tidak heran jikalau banyak kalangan yang melayat ke rumah murung memberikan belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary, tokoh pers Jacob Oetama, Sosiolog Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan, sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog Prof Dr Ichromi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah spesial Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wapres Republik Indonesia, Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf jago Presiden HM Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi Indonesia sehabis tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia mendapatkan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus mendapatkan gelar ilmuwan utama Asisten Wapres Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983).
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan hingga final hayatnya justru mengajar di Fakultas Hukum UI. Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, ialah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh sehabis menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai wilayahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya ialah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu dikala sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat menciptakan Selo menjadi peneliti yang bisa menyodorkan alternatif pemecahan banyak sekali problem sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Jaksa Agung Ke-18 (6 Jun -3 Juli 2001) Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu eksklusif dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia memberikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang bisa mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang bergotong-royong inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi gampang dimengerti alasannya selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Jaksa Agung Ke-18 (6 Jun -3 Juli 2001) Baharuddin Lopa.
Dalam goresan pena Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi gampang dimengerti alasannya menggunakan bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, alasannya disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan ialah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia mendapatkan Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
Download di Sini