Teori-Teori Sosiologi Sehabis Comte; Mazhab Hukum
Di dalam sorotannya terhadap masyarakat, Durkheim* menaruh perhatian yang besar terhadap aturan yang dihubungkannya dengan jenis-jenis solidaritas yang terdapat di dalam masyarakat. Hukum berdasarkan Durkheim* yakni kaidah-kaidah yang bersanksi yang berat ringannya tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan, serta keyakinan masyarakat perihal baik buruknya suatu tindakan. Di dalam masyarakat sanggup ditemukan dua macam hukuman kaidah-kaidah hukum, yaitu hukuman yang represif dan hukuman yang restitutif. Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis* terdapat kaidah-kaidah aturan dengan hukuman yang represif, sedangkan sanksi-sanksi restitutif terdapat pada masyarakat atas dasar solidaritas organis*.
Kaidah aturan dengan hukuman represif biasanya mendatangkan penderitaan bagi pelanggar-pelanggarnya. Sanksi tersebut menyangkut hari depan dan kehormatan seorang warga masyarakat, atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya. Kaidah-kaidah aturan dengan hukuman demikian yakni aturan pidana.
Selain kaidah-kaidah dengan sanksi-sanksi negatif yang mendatangkan penderitaan, akan sanggup dijumpai pula kaidah-kaidah aturan yang sifat sanksi-sanksinya berbeda dengan kaidah-kaidah aturan yang represif. Tujuan utama hukuman tersebut tidaklah perlu semata-mata untuk mendatangkan penderitaan. Tujuan utama kaidah-kaidah aturan ini yakni untuk mengembalikan keadaan pada situasi semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akhir dilanggarnya suatu kaidah hukum. Kaidah-kaidah tersebut antara lain meliputi aturan perdata, aturan dagang, aturan acara, aturan administrasi, dan aturan tata negara sesudah dikurangi dengan unsur-unsur pidananya.
Selanjutnya Durkheim* beropini bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang berpengaruh terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan alasannya yakni aturan yang bersifat represif memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi aturan yang restitutif. Artinya, yang terpokok yakni untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semula, yang merupakan hal yang penting di dalam menuntaskan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
Max Weber* yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang aturan dapatlah dimasukkan pula ke dalam mazhab ini. Dia telah mempelajari dampak faktor-faktor politik, agama, dan ekonomi terhadap perkembangan hukum. Di samping itu, beliau juga menyoroti dampak para cendekiawan hukum, dan para honoratioren terhadap perkembangan hukum. Menurut Weber*, ada empat tipe ideal hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum irasional dan materiil, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah pun.
2. Hukum irasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar kebijaksanaan alasannya yakni didasarkan pada wahyu atau ramalan.
3. Hukum rasional dan materiil, di mana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa, atau ideologi.
4. Hukum rasional dan formal, yaitu di mana aturan dibuat semata-mata atas dasar konsep-konsep abnormal dari ilmu hukum.
Dengan demikian, aturan formal berkecenderungan untuk menyusun sistematika kaidah-kaidah hukum, sedangkan aturan materiil lebih bersifat empiris. Namun demikian, kedua macam aturan tersebut sanggup dirasionalisasi yaitu pada aturan formal didasarkan pada kebijaksanaan murni, sedangkan aturan materiil pada kegunaannya.
Bagi Weber aturan yang rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern. Kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut yakni sistem kapitalisme dan profesi hukum. Sebaliknya, introduksi unsur-unsur yang rasional dalam aturan juga membantu sistem kapitalisme. Proses tersebut tidak akan mungkin terjadi dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemimpinan yang kharismatis atau atas ikatan darah alasannya yakni proses mengambil keputusan pada masyarakat-masyarakat tadi gampang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang irasional tadi.
Di dalam tradisi perkembangan sosiologi aturan di Amerika Serikat, konsepsi budaya aturan (legal culture) mulai diperkenalkan pada tahun 60-an oleh Lawrence M. Friedmann lewat goresan pena yang berjudul “Legal Culture and Social Development” di dalam Law and Society Review, nomor ¼ (1969) halaman 29 hingga dengan halaman 44. Selanjutnya konsepsi tersebut dipakai (antara lain) oleh Daniel S. Lev sebagai sarana analisis, terutama dalam artikel yang berjudul “Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia” (tahun 1972).
Menurut Lev, konsepsi budaya aturan menunjuk pada nilai-nilai yang berkaitan dengan aturan (substantif) dan proses aturan (hukum ajektif). Budaya aturan pada hakikatnya meliputi dua komponen pokok yang saling berkaitan, yakni nilai-nilai aturan substantif dan nilai-nilai aturan ajektif (yakni yang bersifat prosedural). Nilai-nilai aturan substantif berisikan asumsi-asumsi mendasar mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, hal-hal yang secara sosial dianggap benar dan salah, dan seterusnya. Nilai-nilai aturan ajektif meliputi sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam perkembangan selanjutnya, Friedmann memperkenalkan konsepsi sistem aturan yang meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur aturan merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk sistem hukum, yakni susunan daripada unsur-unsur sistem aturan yang bersangkutan. Substansi aturan meliputi norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan sikap yang pantas dan prosesnya. Budaya aturan meliputi segala macam gagasan, sikap, kepercayaan, keinginan maupun pendapat-pendapat (pandangan-pandangan) mengenai hukum.
Download di Sini
Baca Juga Biografi, Kaya dan Pemikiran
1. Emile Durkheim
2. Max Weber
Sumber:
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Kaidah aturan dengan hukuman represif biasanya mendatangkan penderitaan bagi pelanggar-pelanggarnya. Sanksi tersebut menyangkut hari depan dan kehormatan seorang warga masyarakat, atau bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya. Kaidah-kaidah aturan dengan hukuman demikian yakni aturan pidana.
Selain kaidah-kaidah dengan sanksi-sanksi negatif yang mendatangkan penderitaan, akan sanggup dijumpai pula kaidah-kaidah aturan yang sifat sanksi-sanksinya berbeda dengan kaidah-kaidah aturan yang represif. Tujuan utama hukuman tersebut tidaklah perlu semata-mata untuk mendatangkan penderitaan. Tujuan utama kaidah-kaidah aturan ini yakni untuk mengembalikan keadaan pada situasi semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akhir dilanggarnya suatu kaidah hukum. Kaidah-kaidah tersebut antara lain meliputi aturan perdata, aturan dagang, aturan acara, aturan administrasi, dan aturan tata negara sesudah dikurangi dengan unsur-unsur pidananya.
Selanjutnya Durkheim* beropini bahwa dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi kolektif yang berpengaruh terhadap penyimpangan-penyimpangan menjadi berkurang di dalam sistem yang bersangkutan alasannya yakni aturan yang bersifat represif memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi aturan yang restitutif. Artinya, yang terpokok yakni untuk mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan ke keadaan semula, yang merupakan hal yang penting di dalam menuntaskan perselisihan-perselisihan atau sengketa-sengketa.
Max Weber* yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang aturan dapatlah dimasukkan pula ke dalam mazhab ini. Dia telah mempelajari dampak faktor-faktor politik, agama, dan ekonomi terhadap perkembangan hukum. Di samping itu, beliau juga menyoroti dampak para cendekiawan hukum, dan para honoratioren terhadap perkembangan hukum. Menurut Weber*, ada empat tipe ideal hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum irasional dan materiil, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu kaidah pun.
2. Hukum irasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-kaidah di luar kebijaksanaan alasannya yakni didasarkan pada wahyu atau ramalan.
3. Hukum rasional dan materiil, di mana keputusan-keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa, atau ideologi.
4. Hukum rasional dan formal, yaitu di mana aturan dibuat semata-mata atas dasar konsep-konsep abnormal dari ilmu hukum.
Dengan demikian, aturan formal berkecenderungan untuk menyusun sistematika kaidah-kaidah hukum, sedangkan aturan materiil lebih bersifat empiris. Namun demikian, kedua macam aturan tersebut sanggup dirasionalisasi yaitu pada aturan formal didasarkan pada kebijaksanaan murni, sedangkan aturan materiil pada kegunaannya.
Bagi Weber aturan yang rasional dan formal merupakan dasar bagi suatu negara modern. Kondisi-kondisi sosial yang memungkinkan tercapainya taraf tersebut yakni sistem kapitalisme dan profesi hukum. Sebaliknya, introduksi unsur-unsur yang rasional dalam aturan juga membantu sistem kapitalisme. Proses tersebut tidak akan mungkin terjadi dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemimpinan yang kharismatis atau atas ikatan darah alasannya yakni proses mengambil keputusan pada masyarakat-masyarakat tadi gampang dipengaruhi oleh unsur-unsur yang irasional tadi.
Di dalam tradisi perkembangan sosiologi aturan di Amerika Serikat, konsepsi budaya aturan (legal culture) mulai diperkenalkan pada tahun 60-an oleh Lawrence M. Friedmann lewat goresan pena yang berjudul “Legal Culture and Social Development” di dalam Law and Society Review, nomor ¼ (1969) halaman 29 hingga dengan halaman 44. Selanjutnya konsepsi tersebut dipakai (antara lain) oleh Daniel S. Lev sebagai sarana analisis, terutama dalam artikel yang berjudul “Judicial Institutions and Legal Culture in Indonesia” (tahun 1972).
Menurut Lev, konsepsi budaya aturan menunjuk pada nilai-nilai yang berkaitan dengan aturan (substantif) dan proses aturan (hukum ajektif). Budaya aturan pada hakikatnya meliputi dua komponen pokok yang saling berkaitan, yakni nilai-nilai aturan substantif dan nilai-nilai aturan ajektif (yakni yang bersifat prosedural). Nilai-nilai aturan substantif berisikan asumsi-asumsi mendasar mengenai distribusi dan penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat, hal-hal yang secara sosial dianggap benar dan salah, dan seterusnya. Nilai-nilai aturan ajektif meliputi sarana pengaturan sosial maupun pengelolaan konflik yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Di dalam perkembangan selanjutnya, Friedmann memperkenalkan konsepsi sistem aturan yang meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur aturan merupakan suatu wadah, kerangka maupun bentuk sistem hukum, yakni susunan daripada unsur-unsur sistem aturan yang bersangkutan. Substansi aturan meliputi norma-norma atau kaidah-kaidah mengenai patokan sikap yang pantas dan prosesnya. Budaya aturan meliputi segala macam gagasan, sikap, kepercayaan, keinginan maupun pendapat-pendapat (pandangan-pandangan) mengenai hukum.
Download di Sini
Baca Juga Biografi, Kaya dan Pemikiran
1. Emile Durkheim
2. Max Weber
Sumber:
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta