Globalisasi, Partikularisasi, Dan Pengalaman Kolonialisme

Kata kunci untuk merangkum perubahan-perubahan di dunia sampaumur ini ialah “globalisasi”. Proses ini tidak hanya beroperasi dalam bidang ekonomis, melainkan ialah sebuah fenomen perubahan ruang dan waktu lewat perkembangan yang makin cepat dari komunikasi global dan lalu-lintas massal. Anthony Giddens* dengan sempurna menyebut proses itu “efek jarak jauh”. Sistem-sistem kontak internasional yang komperehensif terbentuk, dan jejaring komunikasi global ini juga memberi efek yang sangat berpengaruh atas konteks-konteks kehidupan lokal dan personal. Apa yang berlangsung di luar negeri sanggup dengan cepat mewarnai pengalaman sehari-hari kita dan bahkan juga mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Informasi seketika wacana krisis keuangan di USA di tahun lalu, wacana konflik di semenanjung Korea simpulan tahun 2010 kemudian atau wacana Revolusi Nil baru-baru ini, misalnya, segera berdampak pada fluktuasi harga saham di Jakarta. Proses global menyerupai itu sangat kompleks dan multidimensional. Hal itu menjadi terang terutama bila kita mencermati apa yang diglobalisasi oleh komunikasi modern dan kemudian lintas massal. Jadi, yang diglobalisasi simpel ialah segala hal yang relevan bagi kontak-kontak kultural: Sistem-sistem ekonomi, teknik, bahasa, pemikiran-pemikiran politis, nilai-nilai, gaya-gaya hidup dst. Hal itu kiranya akan menjadikan kesan seperti lewat globalisasi akan terbentuk sebuah sistem dunia yang berlaku secara universal. Akan tetapi hal itu justru tidak terjadi.

Untuk itu ada tiga alasan pokok, mengapa gagasan mengenai sebuah sistem dunia terletak sangat jauh dari kenyataan, dan mengapa terjadinya sebuah sistem universal menyerupai itu kiranya tidak sanggup diidentikkan dengan globalisasi. Pertama, situasi di dalam setiap negara di dunia berkaitan dengan kompleksitas internalnya menyerupai kelompok-kelompok etnis dan religius, banyak sekali macam minoritas dan orientasi-orientasi politis sudah begitu rumit, begitu berwarna-warni, begitu tumpang tindih dan begitu fragmentaris sehingga pencarian akan sebuah totalitas bukanlah benang merah yang sanggup mengemban amanah lagi. “Sebuah dunia yang tunggal”, demikian tulis Cliffort Geertz*, “terletak begitu jauh bagaikan masyarakat tanpa kelas”.

Kedua, globalisasi meliputi proses-proses yang sangat rumit yang tidak mengarah pada saling pengertian di antara bangsa-bangsa, negara-negara dan kebudayaan-kebudayaan, melainkan bahkan sering menggiring ke arah konflik-konflik di antara mereka. Proses globalisasi itu sama sekali bukan sebuah penerimaan pasif atas unsur-unsur kebudayaan ajaib atau sebuah sintesis antara unsur-unsur kebudayaan sendiri dan unsur-unsur kebudayaan asing. Sebagai unsur kontak-kontak kebudayaan globalisasi dimuati dengan ambivalensi: Proses itu membuka kemungkinan perjumpaan kebudayaan sekaligus benturan kebudayaan-kebudayaan.

Orang sudah mempelajari ambivalensi itu di dalam kontak kebudayaan yang memulai hubungan antara kebudayaan Barat modern dan kebudayaan-kebudayaan lain, yaitu melalui hubungan-hubungan kebudayaan yang eurosentris, melalui penjajahan atas bangsa-bangsa lain, melalui kolonialisme.

Ketiga, kenyataan historis tersebut, pengalaman negatif selama kolonialisme itu tidak sanggup dilupakan begitu saja dan masih saja bercokol di dalam memori kolektif kebudayaan-kebudayaan yang dulu dijajah oleh Barat. Kolonialisme secara brutal merusak tradisi-tradisi pribumi dan pranata-pranata sosial yang ada, dan efek-efeknya hingga kini terbukti dalam “ketertinggalan-ketertinggalan struktural jangka panjang”. Warisan kolonialisme terjangkar berpengaruh di dalam mentalitas bangsa-bangsa yang dulu dijajah. Kolonialisme adalah, menyerupai dikatakan oleh Franz Nuscheler dengan mengacu pada Franz Fanon, “kolonisasi otak”. Karena itu memori kolektif akan pengalaman negatif ini memotivasi perlawanan-perlawanan terhadap Barat. Terutama bila menyangkut globalisasi nilai-nilai dan norma-norma, orang akan mempersoalkan apakah hubungan antara Barat dan kebudayaan-kebudayaan lainnya, entah sadar atau tidak, terstruktur oleh kriteria eurosentris dan apakah globalisasi juga berarti europaisasi.

Karena itu selain wacana globalisasi orang juga berbicara wacana “partikularisasi”, “regionalisasi”, atau dalam konteks Asia “asiatisasi”. Propagasi mengenai nilai-nilai Asia sanggup dilihat dalam konteks partikularisasi ini. Bila globalisasi terstruktur terutama oleh sistem-sistem nilai yang lahir di Barat, partikularisasi sanggup dilihat sebagai perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Nilai-nilai Barat yang mengklaim diri sebagai universal sanggup diasalkan kepada tuntutan dasar Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis yang sanggup kita rangkum dalam konsep “hak-hak asasi manusia”. Nilai-nilai ini disahkan oleh banyak negara sebagai hak-hak dasar (Grundrechte). Tindakan-tindakan pembebasan dari tuan-tuan penjajah persis mengacu pada nilai-nilai tersebut. Lalu dapatkah nilai-nilai tersebut eksklusif diterapkan ke seluruh dunia?

Keadaan Realpolitik tidak sebegitu mudah. Hak-hak asasi insan yang pelaksanaannya ditentukan oleh negara-negara Barat kepada negara-negara lain dirasakan sebagai nilai-nilai yang “asing” dan merangsang reaksi-reaksi yang sengit dari pihak pemerintah-pemerintah di Asia Timur. Perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan Barat yang dilakukan dalam busana nilai-nilai Asia ini barangkali tidak bersumber dari perbedaan-perbedaan kultural, melainkan dari pengalaman akan kolonialisme yang dialami oleh bangsa-bangsa di Asia. Nuscheler dengan sempurna menyebut perlawanan itu “konflik dekolonialisasi yang terlambat”. Pertarungan melawan Barat dilanjutkan dengan sarana-sarana baru, yakni dengan nilai-nilai kultural. Para penyokong nilai-nilai Asia mencoba melindungi diri mereka dari intervensi ajaib terhadap urusan internal mereka, dengan cara menawarkan keberlainan kebudayaan mereka sendiri. 


Download


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel