Husserl, Schutz, Dan Fenomenologi

Fenomenologi menolak objektivisme saintis, yang kali ini tampil dalam gres “psikologisme”, “sosiologisme”, dan “logisme”. Penolakannya berbunyi “anti perilaku natural”. Husserl*, pendiri pendekatan ini, beropini bahwa perilaku natural yaitu suatu perilaku pra-reflektif (naif) yang percaya begitu saja bahwa dunia faktual itu ada an sich, ditemukan “di luar sana”, dan sanggup dilibati semua orang.
Orang yang berada dalam perilaku natural secara naif menghayati kesehariannya, dan meski mungkin memikirkannya, toh mengandaikan begitu saja faktualitasnya. Alfred Schutz* menyebut perilaku ini sebagai ciri eksistensi sosial kita atau apa yang disebutnya “Wir-Charakter” (Ciri Kekitaan). Kita menunggu bis di halte, naik, dan tak merasa abnormal dengan kondektur yang memungut ongkos dan situasi penumpang lain yang berdiri. Kita sedang berangkat ke kantor, dan termasuk ke dalam pengalaman weness (ke-kita-an) dengan para penumpang lain. Itu tak perlu dipikirkan, alasannya esok akan terjadi lagi dan lagi. “Perjalanan bis ke kantor” yaitu faktualitas yang bisa dilibati semua orang (man kann immer wieder) dan berulang secara rutin (und so weiter). Oleh Schutz*, pengalaman ini disebut “tipifikasi” yang menduduki status a priori dalam pengalaman sosial kita.

Anti perilaku natural di sini berarti bahwa peneliti mengadakan suatu self-questioning terhadap dunia kesehariannya yang faktual itu untuk menemukan awal mula pembentukan dunia objektif itu dalam kesadaran subjek sosial. Dalam arti ini, Maurice Natanson menyebut fenomenologi sebagai the science of beginnings, alasannya meneliti dasar-dasar primordial dari pembentukan pengalaman mengenai dunia objektif, ibarat institusi sosial, status sosial, tugas sosial, dan kelas sosial. Sukses fenomenologi dalam mendekati kenyataan sosial yaitu kemampuannya melalui metode reduksi fenomenologis tersebut untuk mengembalikan objektivitas pada dunia penghayatan pribadi para pelaku sosial, yang semenjak Husserl* disebut Lebenswelt (dunia-kehidupan) dan yang oleh Schutz* disebut social-world (dunia-sosial) sebagai perjuangan untuk mempertahankan Logos dalam modernitas, fenomenologi berhasil menawarkan sisi-sisi pra-reflektif kehidupan sehari-hari yang membentuk pengalaman mengenai modernitas ini sebagai a shared public world. Tugas fenomenologi yaitu “deskripsi” atas sejarah Lebenswelt tersebut untuk menemukan “endapan makna” yang merekonstruksi kenyataan sosial sehari-hari.

Di sini objektivisme dilampaui, namun fenomenologi, khususnya Husserl* tidak beranjak dari saintisme, lantaran ingin menjadi rigorous science ihwal “fenomena apa adanya” dari sudut pandang suatu subjek intensional (kesadaran). Bahkan, fenomenologi sosial Schutz*, ibarat ditunjukkan Susan Hekman, meskipun sudah menampilkan aspek intersubjektif, masih memahami “makna” dari sudut intensional (kesadaran) individual. Di sini, bersama Teori Tindakan, fenomenologi masih terperangkap dalam konsep pengetahuan ala Pencerahan, yaitu paradigma individualistis, dan dikotomi subjek-objek. 

Download

Baca Juga


Sumber
Hardiman, Budi. F. 2002. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Kanisius. Yogyakarta.


Baca Juga
1. Edmund Husserl. Biografi, Pemikiran, dan Karya
2. Edmund Husserl dan Fenomenologi
3. Alfred Schutz. Biografi
4. A Mirror On The Wall: Gambaran Realitas yang Terdistorsi

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel