Teori Permainan: Batasan Dan Ilustrasi
Teori permainan merupakan arena antar-disiplin dengan gaya bahasa matematis yang kian menarik perhatian beberapa sosiolog. Model-model teoritisnya tidak bersinggungan dengan deskripsi realitas yang sederhana atau ramalan peristiwa-peristiwa mendatang. Tekanannya ialah bagaimana orang harus berperilaku bila bertindak rasional dan sesuai dengan taktik permainan. Dengan kata lain, permainan ini sangat erat kaitannya dengan model “bagaimana—jika”, memakai dalil-dalil logika dan matematika, yang menyatakan bahwa; lantaran X dan rasionalitas laki dan perempuan, maka Y akan lahir.
Pada dasarnya permainan sanggup dibagi dalam dua kategori pokok: Zero-sum games dan Non-sum game. Zero-sum game ditandai oleh prinsip “pemenang memperoleh semua”. Sebagian besar permainan “parlor” merupakan zero-zume game, termasuk juga permainan kartu, dan sebagainya. Kedua pemain mengetahui aturan permainan, masing-masing bebas menentukan sesuai dengan pelaturan, dan mengambil pilihan tanpa mengetahui pilihan lawannya. Secara matematis banyak yang sanggup diketahui dari kedua pemain tersebut (zero-sum game) dan pengetahuan ini membentuk dasar-dasar seluruh teori permainan. Zero-sum model menurut kemungkinan antagonisme dan konflik.
Kedua pemain berusaha memenangkan suatu status—dan hanya ada satu pemenang. Kemudian dalam model ini gosip mengenai apa yang sedang dilakukan oleh lawan main sangat terbatas. Informasi yang ada hanyalah aturan permainan. Dalam kenyataan orang biasanya tidak terlibat dalam situasi di mana “pemenang memperoleh semua”, dalam kehidupan kasatmata mereka tidak pula dihentikan mengkomunikasikan tindakan atau berunding dengan pemain lain.
Hal ini membawa kita pada kategori kedua dari permainan dua orang itu, yaitu Non-zero-sum game. Karena teori non-zero-sum game yang terpadu tidak ada (seperti yang terdapat dalam zero-sum game), permainan yang demikian sering dijuluki sebagai “Battle of sex” atau “prisioner’s dilemma” (Bartos, 1976:233). Secara singkat kita akan membahas problem tahanan ini, suatu ilustrasi yang paling sering dikutip, sebagai pola dari permainan non-zero-sum.
Anggaplah dua orang yang sama-sama dituduh terlibat kejahatan dan ditahan dalam sel yang terpisah. Masing-masing tersangka punya pilihan bertindak: mengakui atau tutup mulut. Karena berada dalam sel yang terpisah terperinci mereka tidak sanggup berunding, tetapi keduanya mengetahui kemungkinan konsekuensi dari keputusan masing-masing. Anggaplah konsekuensi tersebut sebagai berikut:
1. Seorang tersangka mengaku sedang temannya tidak. Ini berarti bahwa orang yang mengaku itu bebas lantaran ia telah bekerja sama dengan aturan dalam pembuktian yang berbalik menguntungkan negara (turning state’s evidence), tetapi rekannya masuk dua puluh tahun penjara
2. Keduanya mengaku dan sama-sama menerima lima tahun penjara.
3. Kedua tersangka tetap menyangkal, dan keduanya ditahan setahun dengan tuduhan membawa senjata gelap.
Ahli teori permainan akan melihat problem ini dan bertanya, apa yang harus dilakukan seorang tahanan bilamana beliau bertindak logis demi keselamatan diri sendiri? Berbeda dengan kasus pada zero-sum game, dilema-tahanan mengetengahkan kemungkinan bekerja sama (berdasar kepercayaan) atau bertindak demi kepentingan sendiri. Bilamana kedua tahanan itu bersikap jujur pada teori permainan, keduanya akan tetap tutup verbal dan menerima setahun penjara. Di antara banyak sekali kemungkinan, eksekusi setahun penjara inilah yang terbaik untuk keduanya, tetapi bukan taktik permainan yang terbaik. Partner A sanggup dimaafkan lantaran mengaku, sementara partner B tetap tidak mengaku juga. Dalam kasus ini partner A akan bebas dan partner B menerima 20 tahun penjara. Bagi A ini merupakan taktik yang terbaik—jika B tetap tidak mengaku juga. (bila A dan B mengaku keduanya akan masuk penjara 5 tahun). Jelas terdapat unsur risiko yang terkandung dalam tindakan mengaku atau tidak.
Berdasar pola ini terlihat bahwa kedua pemain punya pilihan bertindak, yaitu bekerja sama atau tidak. Bilamana A dan B bekerja sama (untuk tidak mengaku) kesannya ialah gabungan yang terbaik bagi A dan B (masing-masing lima tahun penjara). Tetapi dalam bekerja sama, A harus bergantung pada itikad baik B. Di sini beliau sanggup tidak rasional, lantaran itu sanggup menentukan untuk tidak bekerja sama.
Model dasar dari situasi problem tahanan ini sanggup diperluas dan ditetapkan dalam studi masyarakat. Davis (1970:95-96) mengutip lima pola kemungkinan situasi dilema—tahanan dalam masyarakat kontemporer:
1. Dua buah perusahaan yang berbeda menjual produk yang sama pada pasar tertentu. Dari tahun ke tahun, harga penjualan produk maupun jumlah penjualan total dari kedua perusahaan tidak berubah. Yang berubah ialah porsi pasar yang sanggup dijalankan masing-masing perusahaan, dan ini tergantung pada ukuran masing-masing anggaran promosi mereka. Sebagai penyederhanaan anggaplah kedua perusahaan itu hanya mempunyai dua pilihan: masing-masing menghabiskan 6 juta dan 10 juta dolar.
2. Terjadi kekurangan air dan masyarakat didesak untuk memperkecil pemakaiannya. Bila setiap warga menanggapi usul itu dengan memperhatikan kepentingannya sendiri, maka tak seorang pun akan menghemat air. Jelas bahwa setiap penghematan oleh satu individu saja hanya mempunyai imbas yang kecil terhadap persediaan air penduduk, tetapi akhir buruknya sudah jelas. Di pihak lain kalau setiap orang bertindak demi untuk kepentingan pribadinya, maka kesannya ialah malapetaka bagi setiap orang.
3. Mesin pemerintahan akan ambruk bila tak seorang pun yang mau membayar pajak. Setiap orang tentu saja bersedia asal masing-masing membayar pajak, termasuk dirinya. Pendeknya tak seorang pun yang tidak membayar. Tetapi yang lebih baik lagi ialah setiap orang membayar, kecuali dirinya.
4. Setelah beberapa tahun kelebihan produksi, para petani setuju untuk membatasi keluaran mereka secara sukarela supaya harga tetap tinggi. Tetapi tak seorang pun punya hasil pertanian yang benar-benar cukup untuk mempengaruhi harga. Kaprikornus masing-masing mulai menghasilkan apa yang sanggup diproduksi dan menjualnya dengan harga berapa saja, yang lalu kelebihan produksi kembali terjadi.
5. Dua negara yang bermusuhan sedang mempersiapkan anggaran militer mereka. Masing-masing negara satu sama lain ingin memperoleh suatu kekuatan militer dengan cara membangun tentara yang lebih kuat, lantaran itu masing-masing membelanjakan budgednya. Karena mempunyai kekuatan yang relatif sama mereka mengakhiri acara itu dan sejumlah besar rakyat sudah terlanjur miskin.
Sebagaimana terlihat dari pola di atas, acara insan dalam suatu masyarakat, di mana terdapat adonan kolaborasi dan persaingan, lebih ibarat dengan problem tahanan ketimbang dengan permainan “parlor”. Dunia kita bukan hanya dunia persaingan, di mana hanya satu orang yang menang atau kalah. Semua mungkin saja kalah—atau merupakan pemenang-pemenang yang terbatas. Kerja sama dan persaingan ialah satu aspek yang diktatorial dalam kehidupan sosial.
Meskipun model non-zero-sum game lebih sanggup diterapkan pada studi ihwal masyarakat, perkembangannya sangat kurang menguntungkan bila dibanding model zero-sum game. Dalam zero-sum game telah dikembangkan banyak sekali dalil (teorem), tetapi teorem non-zero-sum game yang memerlukan pemain lebih dari dua orang nyatanya agak kurang menyakinkan, khusunya bagi permainan yang dipakai untuk menganalisa tindakan manusia; dari taktik militer hingga pada situasi ekonomi dan hubungan-hubungan perkawinan, dan walau secara intelektual dan matematis merangsang, tetapi gagal menghasilkan teori sosiologis. Davis (1970:x) meringkas keadaan tersebut sebagai “Teori yang paling memuaskan, paling tidak dari sudut pandangan hebat matematika, ialah permainan kompetitif dua orang; tetapi dalam kenyataan jarang sekali terdapat permainan yang benar-benar kompetitif. Yang lebih umum ialah permainan dua orang yang sebagian kompetitif dan sebagian lagi kerja sama. Sebenarnya belum pernah ada teori yang secara umum diterima”.
Meskipun begitu beberapa sosiolog terus berusaha menggali teori-permainan dengan impian menemukan bongkalan-bongkalan teoretis yang mendekatkan kita pada “harta karun” teori ilmiah.
Download
Penggunaan Matematika dalam Teori Sosiologi
Teori Kausal Baru
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Pada dasarnya permainan sanggup dibagi dalam dua kategori pokok: Zero-sum games dan Non-sum game. Zero-sum game ditandai oleh prinsip “pemenang memperoleh semua”. Sebagian besar permainan “parlor” merupakan zero-zume game, termasuk juga permainan kartu, dan sebagainya. Kedua pemain mengetahui aturan permainan, masing-masing bebas menentukan sesuai dengan pelaturan, dan mengambil pilihan tanpa mengetahui pilihan lawannya. Secara matematis banyak yang sanggup diketahui dari kedua pemain tersebut (zero-sum game) dan pengetahuan ini membentuk dasar-dasar seluruh teori permainan. Zero-sum model menurut kemungkinan antagonisme dan konflik.
Hal ini membawa kita pada kategori kedua dari permainan dua orang itu, yaitu Non-zero-sum game. Karena teori non-zero-sum game yang terpadu tidak ada (seperti yang terdapat dalam zero-sum game), permainan yang demikian sering dijuluki sebagai “Battle of sex” atau “prisioner’s dilemma” (Bartos, 1976:233). Secara singkat kita akan membahas problem tahanan ini, suatu ilustrasi yang paling sering dikutip, sebagai pola dari permainan non-zero-sum.
Anggaplah dua orang yang sama-sama dituduh terlibat kejahatan dan ditahan dalam sel yang terpisah. Masing-masing tersangka punya pilihan bertindak: mengakui atau tutup mulut. Karena berada dalam sel yang terpisah terperinci mereka tidak sanggup berunding, tetapi keduanya mengetahui kemungkinan konsekuensi dari keputusan masing-masing. Anggaplah konsekuensi tersebut sebagai berikut:
1. Seorang tersangka mengaku sedang temannya tidak. Ini berarti bahwa orang yang mengaku itu bebas lantaran ia telah bekerja sama dengan aturan dalam pembuktian yang berbalik menguntungkan negara (turning state’s evidence), tetapi rekannya masuk dua puluh tahun penjara
2. Keduanya mengaku dan sama-sama menerima lima tahun penjara.
3. Kedua tersangka tetap menyangkal, dan keduanya ditahan setahun dengan tuduhan membawa senjata gelap.
Ahli teori permainan akan melihat problem ini dan bertanya, apa yang harus dilakukan seorang tahanan bilamana beliau bertindak logis demi keselamatan diri sendiri? Berbeda dengan kasus pada zero-sum game, dilema-tahanan mengetengahkan kemungkinan bekerja sama (berdasar kepercayaan) atau bertindak demi kepentingan sendiri. Bilamana kedua tahanan itu bersikap jujur pada teori permainan, keduanya akan tetap tutup verbal dan menerima setahun penjara. Di antara banyak sekali kemungkinan, eksekusi setahun penjara inilah yang terbaik untuk keduanya, tetapi bukan taktik permainan yang terbaik. Partner A sanggup dimaafkan lantaran mengaku, sementara partner B tetap tidak mengaku juga. Dalam kasus ini partner A akan bebas dan partner B menerima 20 tahun penjara. Bagi A ini merupakan taktik yang terbaik—jika B tetap tidak mengaku juga. (bila A dan B mengaku keduanya akan masuk penjara 5 tahun). Jelas terdapat unsur risiko yang terkandung dalam tindakan mengaku atau tidak.
Berdasar pola ini terlihat bahwa kedua pemain punya pilihan bertindak, yaitu bekerja sama atau tidak. Bilamana A dan B bekerja sama (untuk tidak mengaku) kesannya ialah gabungan yang terbaik bagi A dan B (masing-masing lima tahun penjara). Tetapi dalam bekerja sama, A harus bergantung pada itikad baik B. Di sini beliau sanggup tidak rasional, lantaran itu sanggup menentukan untuk tidak bekerja sama.
Model dasar dari situasi problem tahanan ini sanggup diperluas dan ditetapkan dalam studi masyarakat. Davis (1970:95-96) mengutip lima pola kemungkinan situasi dilema—tahanan dalam masyarakat kontemporer:
1. Dua buah perusahaan yang berbeda menjual produk yang sama pada pasar tertentu. Dari tahun ke tahun, harga penjualan produk maupun jumlah penjualan total dari kedua perusahaan tidak berubah. Yang berubah ialah porsi pasar yang sanggup dijalankan masing-masing perusahaan, dan ini tergantung pada ukuran masing-masing anggaran promosi mereka. Sebagai penyederhanaan anggaplah kedua perusahaan itu hanya mempunyai dua pilihan: masing-masing menghabiskan 6 juta dan 10 juta dolar.
2. Terjadi kekurangan air dan masyarakat didesak untuk memperkecil pemakaiannya. Bila setiap warga menanggapi usul itu dengan memperhatikan kepentingannya sendiri, maka tak seorang pun akan menghemat air. Jelas bahwa setiap penghematan oleh satu individu saja hanya mempunyai imbas yang kecil terhadap persediaan air penduduk, tetapi akhir buruknya sudah jelas. Di pihak lain kalau setiap orang bertindak demi untuk kepentingan pribadinya, maka kesannya ialah malapetaka bagi setiap orang.
3. Mesin pemerintahan akan ambruk bila tak seorang pun yang mau membayar pajak. Setiap orang tentu saja bersedia asal masing-masing membayar pajak, termasuk dirinya. Pendeknya tak seorang pun yang tidak membayar. Tetapi yang lebih baik lagi ialah setiap orang membayar, kecuali dirinya.
4. Setelah beberapa tahun kelebihan produksi, para petani setuju untuk membatasi keluaran mereka secara sukarela supaya harga tetap tinggi. Tetapi tak seorang pun punya hasil pertanian yang benar-benar cukup untuk mempengaruhi harga. Kaprikornus masing-masing mulai menghasilkan apa yang sanggup diproduksi dan menjualnya dengan harga berapa saja, yang lalu kelebihan produksi kembali terjadi.
5. Dua negara yang bermusuhan sedang mempersiapkan anggaran militer mereka. Masing-masing negara satu sama lain ingin memperoleh suatu kekuatan militer dengan cara membangun tentara yang lebih kuat, lantaran itu masing-masing membelanjakan budgednya. Karena mempunyai kekuatan yang relatif sama mereka mengakhiri acara itu dan sejumlah besar rakyat sudah terlanjur miskin.
Sebagaimana terlihat dari pola di atas, acara insan dalam suatu masyarakat, di mana terdapat adonan kolaborasi dan persaingan, lebih ibarat dengan problem tahanan ketimbang dengan permainan “parlor”. Dunia kita bukan hanya dunia persaingan, di mana hanya satu orang yang menang atau kalah. Semua mungkin saja kalah—atau merupakan pemenang-pemenang yang terbatas. Kerja sama dan persaingan ialah satu aspek yang diktatorial dalam kehidupan sosial.
Meskipun model non-zero-sum game lebih sanggup diterapkan pada studi ihwal masyarakat, perkembangannya sangat kurang menguntungkan bila dibanding model zero-sum game. Dalam zero-sum game telah dikembangkan banyak sekali dalil (teorem), tetapi teorem non-zero-sum game yang memerlukan pemain lebih dari dua orang nyatanya agak kurang menyakinkan, khusunya bagi permainan yang dipakai untuk menganalisa tindakan manusia; dari taktik militer hingga pada situasi ekonomi dan hubungan-hubungan perkawinan, dan walau secara intelektual dan matematis merangsang, tetapi gagal menghasilkan teori sosiologis. Davis (1970:x) meringkas keadaan tersebut sebagai “Teori yang paling memuaskan, paling tidak dari sudut pandangan hebat matematika, ialah permainan kompetitif dua orang; tetapi dalam kenyataan jarang sekali terdapat permainan yang benar-benar kompetitif. Yang lebih umum ialah permainan dua orang yang sebagian kompetitif dan sebagian lagi kerja sama. Sebenarnya belum pernah ada teori yang secara umum diterima”.
Meskipun begitu beberapa sosiolog terus berusaha menggali teori-permainan dengan impian menemukan bongkalan-bongkalan teoretis yang mendekatkan kita pada “harta karun” teori ilmiah.
Download
Penggunaan Matematika dalam Teori Sosiologi
Teori Kausal Baru
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta