Al-Farabi. Ajaran Filsafat

Pemikiran Al-Farabi sanggup dilihat dari segi logika, filsafat, epistemologi, psikologi, dan filsafat pemikiran dalam banyak sekali karyanya. Al-Farabi dalam karyanya Tahshil Al-Sa’adah: “Untuk menjadi filsuf yang sungguh-sungguh sempurna, seseorang harus mempunyai ilmu-ilmu teoretis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan kapasitas mereka” (Al-Farabi, 1981b: 89; 1969a: 43). Al-Farabi, mengikuti Plato*, berpendirian bahwa setiap filsuf sejatinya dibebani kiprah untuk mengomunikasikan filsafatnya kepada orang lain dan kiprah ini sangat penting untuk memenuhi cita ideal filsafat. Berdasarkan hal tersebut, sanggup disimpulkan bahwa seni retorika, puisi, dan dialektika, sepanjang menjadi sarana penting untuk berkomunikasi dengan masyarakat manusia, merupakan bab integral filsafat dan pemanis yang dibutuhkan bagi ilmu demonstratif.

Berdasarkan hal tersebut, Al-Farabi mendefinisikan filsafat ialah “Al-Ilmu bil Maujudaat bima hia al-Maujudaat”. (Ilmu yang menyidik hakikat bantu-membantu dari segala yang ada). Untuk menerapkan filsafat, Al-Farabi memperlihatkan proposal dua pola; konseptualisasi dan pembenaran. Secara lengkap sebagai berikut: “Teori demonstrasi Al-Farabi terpusat pada analisis terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi biar memperoleh ilmu atau pengetahuan (‘ilm=episteme dalam bahasa Yunani). Seperti pemikir Muslim pengikut Aristoteles yang lain, Al-Farabi mendasarkan analisis ini pada perbedaan antara dua tindakan kognitif dasar, yakni konseptualisasi (tashawwur) dan pembenaran (tashdiq). Tindakan pertama bertujuan memahami konsep sederhana dan mencerap esensi objek yang kita pahami saat tindakan itu menjadi utuh dan sempurna. Tindakan kedua, yaitu pembenaran, terjadi atau muncul dalam pertimbangan dan evaluasi benar atau salah. Ketika tindakan itu utuh atau sempurna, ia memperlihatkan pengetahuan yang pasti. Dua tindakan kognitif ini pada gilirannya diidentifikasi berturut-turut sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh definisi dan silogisme demonstratif, dua topik penting yang dibahas dalam posterior Anlaytics-nya Aristoteles*, sehingga analisis terhadap syarat-syarat bagi konseptualisasi dan konfirmasi yang tepat menjadi kunci interpretasi Al-Farabi atas teori demonstrasi Aristoteles*” (Kitab Al-Burhan, dalam Al-Farabi, 1986-7, 4, 19-22, 45).

Sekalipun demikian, filsafat Al-Farabi lebih condong pada filsafat Plato* daripada filsafat Aristoteles*. Ia sependapat dengan Plato* bahwa alam ini ialah “baru” dan terjadi dari tidak ada. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Al-Kindi (185-252 H/801-816 M).

Oleh alasannya ialah itu, dalam hal terjadinya alam dan korelasi khalik dengan makhluk, Al-Farabi ibarat juga Al-Kindi*, menyetujui teori emanasi Neoplatonisme. Bahkan, lebih jauh dari Al-Kindi*, Al-Farabi lebih memerinci lagi teori emanasi yang dinamakannya nadhariatul-faidl itu dengan penguraiannya sendiri.

Al-Farabi berusaha memadukan beberapa fatwa filsafat (al-falasifah al-taufiqiyah atau wahdah al-falsafah) yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato*, Aristoteles*, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Oleh lantaran itu, ia dikenal filsuf sinkretisme yang memercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu budi dan fisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles*, dalam kasus adat dan politik ia dipengaruhi oleh Plato*, sedangkan dalam problem metafisika ia dipengaruhi oleh Plotinus.

Indikasi imbas Aristoteles* dalam ilmu budi ialah bahwa budi murni itu esa adanya. Menurut Al-Farabi, budi berisi satu pikiran saja, yaitu senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Tuhan ialah budi yang akil (berpikir) dan ma’qul (dipikirkan). Dengan ta’aqqul ini, dimulailah ciptaan Tuhan. Tatkala Tuhan memikirkan itu, timbullah wujud gres atau terciptalah budi gres yang oleh Al-Farabi dinamakan al-aqlu al-awwal. Akal pertama ini kemudian bertaaqqul pula, memikirkan budi Tuhan dan memikirkan dirinya sendiri. Ta’aqqul menimbulkan pula al-aqlu al-tsani dan seterusnya hingga dengan al-aqlu al-asyir (akal kesepuluh) yang dinamakan dengan al-aqlu al-fa’al (akal yang aktif bekerja), yang oleh orang Barat disebut dengan active intellect.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga

Baca Juga
1. Al-Farabi. Riwayat Hidup
2. Al-Farabi. Karya Filsafat
3. Al-Farabi. Metafisika 
4. Al-Farabi. Filsafat Kenegaraan
5. Al-Farabi. Filsafat Praktis
6. Al-Farabi. Logika dan Filsafat Bahasa

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel