Al-Ghazali. Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali menunjukkan reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, berbagai terdapat kesalahan filsuf sebab mereka tidak teliti menyerupai halnya dalam lapangan kebijaksanaan dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara eksklusif dua tokoh Neoplatonisme Muslim (Al-Farabi* dan Ibnu Sina*), dan secara tidak eksklusif kepada Aristoteles*, guru mereka. Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikemukakannya dalam Tahafut Al-Falasifah, para pemikir bebas tersebut ingin menanggalkan keyakinan Islam dan mengabaikan dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai hal yang tidak berkhasiat bagi pencapaian intelektual mereka. Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20 duduk kasus (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika), dalam 17 soal mereka harus dinyatakan sebagai ahl al-bida’, sedangkan tiga soal berlawanan dengan pendirian semua kaum muslimin.
Tiga duduk kasus yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau infinit dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di alam
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat
Menurut Al-Ghazali, insan diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri atas jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat insan yaitu makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyyah). Istilah-istilah yang dipakai Al-Ghazali untuk itu yaitu qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali yaitu zat (jauhar) dan bukan keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga beliau ada pada dirinya sendiri. Jasad bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiah. Ia tidak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, menyerupai berdasarkan Plato*, dan filsuf lainnya. Setiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam bantalan (alam al-arwah) pada ketika benih insan memasuki rahim, dan jiwa kemudian dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan janjkematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa mempunyai kemampuan memahami sehingga duduk kasus kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh gosip wacana alam abadi membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab, apabila mempunyai kemampuan memahami objek-objek fisik lainnya, fisik insan juga harus mempunyai kemampuan memahami bahwa kenyataannya tidak demikian.
Bagi Al-Ghazali jiwa yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrat, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada ketika lahir, jiwa merupakan zat yang higienis dan murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut atu alam al-amar, Q.S. [17]: 85). Adapun jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh sebab itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul sesudah lahirnya nafsu) bertentangan dengan watak aslinya. Oleh sebab itu, jiwa rindu makna alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, tetapi sering diredam cita-cita duniawi.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sanggup menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa yang mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian, bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut Al-Falasifah, tidak ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya yaitu dalil-dalil rasional yang dipakai para filsuf untuk menerangkan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya jiwa syara yang sanggup menjelaskan duduk kasus al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun relasi jiwa dan jasad dari segi pandangan moral yaitu setiap jiwa diberi jasad sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapat bekal. Jiwa merupakan inti hakiki insan dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; sebab sangat diharapkan oleh jiwa, jasad harus dirawat baik-baik.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
4. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
5. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam
6. Al-Ghazali. Paham Bahwa Tuhan Tidak Mengetahui Juz'iyyat
7. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu
Tiga duduk kasus yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah:
1. Alam kekal (qadim) atau infinit dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular (juziyyat) yang terjadi di alam
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat
Menurut Al-Ghazali, insan diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri atas jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat insan yaitu makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyyah). Istilah-istilah yang dipakai Al-Ghazali untuk itu yaitu qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi Al-Ghazali yaitu zat (jauhar) dan bukan keadaan atau aksiden (‘ardh) sehingga beliau ada pada dirinya sendiri. Jasad bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiah. Ia tidak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, menyerupai berdasarkan Plato*, dan filsuf lainnya. Setiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam bantalan (alam al-arwah) pada ketika benih insan memasuki rahim, dan jiwa kemudian dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan janjkematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. Jiwa mempunyai kemampuan memahami sehingga duduk kasus kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh gosip wacana alam abadi membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab, apabila mempunyai kemampuan memahami objek-objek fisik lainnya, fisik insan juga harus mempunyai kemampuan memahami bahwa kenyataannya tidak demikian.
Bagi Al-Ghazali jiwa yang berasal dari Ilahi mempunyai potensi kodrat, yaitu kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada ketika lahir, jiwa merupakan zat yang higienis dan murni dengan esensi malaikat (alam al-malakut atu alam al-amar, Q.S. [17]: 85). Adapun jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh sebab itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul sesudah lahirnya nafsu) bertentangan dengan watak aslinya. Oleh sebab itu, jiwa rindu makna alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, tetapi sering diredam cita-cita duniawi.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sanggup menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filsuf (jiwa yang mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian, bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut Al-Falasifah, tidak ditekankan pada kekekalan jiwa; yang dibantahnya yaitu dalil-dalil rasional yang dipakai para filsuf untuk menerangkan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya jiwa syara yang sanggup menjelaskan duduk kasus al-ma’ad (kehidupan di akhirat).
Adapun relasi jiwa dan jasad dari segi pandangan moral yaitu setiap jiwa diberi jasad sehingga dengan bantuannya, jiwa bisa mendapat bekal. Jiwa merupakan inti hakiki insan dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; sebab sangat diharapkan oleh jiwa, jasad harus dirawat baik-baik.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Baca Juga
1. Al-Ghazali. Riwayat Hidup
2. Al-Ghazali. Karya Filsafat
3. Al-Ghazali. Pemikiran Filsafat
4. Tipologi Filsafat Al-Ghazali
5. Al-Ghazali. Paham Qadim-nya Alam
7. Al-Ghazali. Paham Kebangkitan Jasmani
8. Al-Ghazali. Klasifikasi Ilmu