Ikhwan Ash-Shafa’. Filsafat Dan Angka

Membaca selintas teks Rasa’il akan menemukan besarnya perhatian Ikhwan pada angka. Menurutnya, seseorang mempelajari terlebih dahulu matematika dan bilangan sebelum mempelajari cabang-cabang pengetahuan lain (yang lebih tinggi), menyerupai fisika, logika, dan ketuhanan (Rasa’il, 1:49). Ikhwan memegang “keyakinan Pythagorean* bahwa sifat dasar hal-hal yang diciptakan ialah sesuai dengan sifat dasar bilangan” dan menyatakan, “Inilah mazhab pemikiran ikhwan kami” (Netton, 1982:10). Mereka juga mengikuti kaum Pythagorean* dalam hal kepeduliannya yang besar terhadap angka-angka tertentu. Secara khusus, Ikhwan menunjukkan perhatian khusus terhadap angka empat, penghormatan yang melampaui bilangan matematika murni.

Mereka contohnya menaruh perhatian pada empat musim, empat angin, empat arah mata angin, dan empat unsur empedoclean*, serta empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia. Kecapi mempunyai empat senar dan materi sanggup dibagi menjadi empat jenis. Alasan di balik pemuliaan terhadap angka empat ini ditemukan dalam pernyataan, Tuhan membuat “banyak hal dalam kelompok empat-empat dan... materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang intinya berkaitan atau selaras, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama” (Netton, 1982:11).

Menurut Ikhwan Ash-Shafa’, seseorang sanggup berguru wacana keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berafiliasi dengan angka. Ia menyatakan, Pythagoras percaya bahwa yang kedua menuntun ke yang pertama (Rasa’il, 3:200). Meskipun mencurahkan perhatian pada bilangan, Ikhwan Ash-Shafa’ berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Pythagorean*, menyerupai dicatat oleh Aristoteles*, saat angka dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak gagasan Pythagorean* wacana perpindahan jiwa (reinkarnasi), dan lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di bumilah yang sanggup memasukkan insan ke dalam nirwana (Netton, 1982: 12-14).

Bentuk-bentuk atau “ide-ide” (ideal) Platonik dalam Rasa’il Ikhwan Ash-Shafa’ tidak sanggup dikatakan bersifat Platonik. Akan tetapi, yang sangat ditekankan Ikhwan Ash-Shafa’ ialah konsepsi mereka mengenai filsuf Platonik sebagai pahlawan (hero). Dalam bagian-bagian yang mempunyai kaitan dekat setidak-tidaknya dengan kerangka obrolan Phadeo dan Crito, Sokrates* dikagumi dan dihormati sebagai filsuf besar yang mengetahui cara mati dengan gagah berani. Yang juga menarik ialah bahwa Ikhwan Ash-Shafa’ menyesuaikan deskripsi mengenai adegan ajal Sokrates* dengan iman sendiri. Sokrates* dibuat seperti mengucapkan terminologi yang sangat mengingatkan kita hierarki pilihan Ikhwan Ash-Shafa’ (Netton, 1982:16-19). Pandangan Plato* bahwa raga merupakan penghalang bagi tercapainya kesempurnaan jiwa juga dianut Ikhwan Ash-Shafa’, tetapi mereka menolak epistemologi Plato* yang meragukan persepsi Indra. Mereka menjelaskan dengan cermat bahwa metode pengajaran harus melalui indra, kemudian intelek, dan jadinya deduksi logis. Tanpa indra seseorang tidak sanggup mengetahui apa-apa (Rasa’il 3:424). Itulah perbedaan yang paling terang antara pandangan Ash-Shafa’ dan pandangan Plato* (Netton, 1982:17-18).

Kontribusi Aristoteles* pada karya-karya Ikhwan Ash-Shafa’ ialah pada bidang terminologi metafisika, bidang yang sering “diserbu” oleh terminologi Neoplatonisme. Oleh lantaran itu, ditemukan istilah substansi dan aksiden, materi dan bentuk, potensi dan aktualitas, dan beberapa istilah Aristotelian lain yang tersebar di seluruh teks mereka. Dua pola bagaimana istilah-istilah dasar Aristoteles* di-Neoplatonis-kan dalam karya Ikhwan Ash-Shafa’: yang pertama berkaitan dengan empat lantaran klasik Aristoteles*:
(1) Di antara empat lantaran tumbuhan, dua yang dianggap/diakui unsur, lantaran finalnya (al-‘illah al-ilgha’iyyah) ialah ketentuan penyediaan masakan bagi binatang; tetapi lantaran efisiennya (al-‘illah al-fa’iliyyah) ialah kekuatan Jiwa Universal; sedangkan lantaran formalnya (al-‘illah al-shurriyyah) berkaitan dengan alasan-alasan kebinatangan yang panjang penjelasannya. (Rasa’il, 2:155; Netton, 1982:25).

(2) Menggambarkan apa yang dilakukan Ikhwan Ash-Shafa’ terhadap kategori Aristoteles*. Jika hierarki, pembagian, dan emanasi sanggup dikatakan sebagai ciri-ciri kunci Neoplatonisme, setidaknya dua yang pertama, tampak terang secara utuh dalam kutipan sebagai berikut: Substansi, pertama-tama, terbagi ke dalam aspek-aspek jasmani (jasmani) dan spiritualnya (rohani). Substansi jasmani dibagi lagi menjadi yang berkaitan dengan alam langit atau alam angkasa (falaki) dan alam natur (thabi’i), dan begitu seterusnya sampai pembagian akhir: menjadi binatang-binatang yang lahir dari kandungan, telur, dan materi yang telah membusuk. Kuantitas (kamm) juga dibagi menjadi kuantitas yang terpisah (munfashil) dan yang terikat (muttashil) (Rasa’il, 1:408-9; Netton, 1982:37). Metamorfosis (perubahan bentuk) paling luar biasa yang mengambil istilah-istilah Aristoteles* ialah berikut ini, saat bentuk dikemukakan dalam terma substansi: Ikhwan Ash-Shafa’ menulis, “Ketahuilah bahwa ada dua jenis bentuk (ash-shurah): yang menyusun (muqawwimah) dan yang menyempurnakan (mutammimah). Para sarjana menyebut bentuk-bentuk yang menyusun sebagai substansi (jawahir) dan bentuk-bentuk yang menyempurnakan sebagai aksiden (a’radh)”. (Rasa’il, 1:401; Netton, 1982:45).

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga

Baca Juga
1. Ikhwan Ash-Shafa’
2. Karya Filsafat Ikhwan Ash-Shafa’
3. Ikhwan Ash-Shafa’. Pemikiran Filsafat
4. Ikhwan Ash-Shafa’. Filsafat Alam
5. Ikhwan Ash-Shafa’. Manusia dan Jiwa

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel