Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Jiwa
Nasiruddin Ath-Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan realitas yang bisa terbukti sendiri sehingga tidak memerlukan lagi bukti lain. Lagi pula, jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam problem semacam ini, anutan yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis alasannya yakni suatu argumen mensyaratkan adanya spesialis argumen dan sebuah problem untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini keduanya sama, yaitu jiwa.
Jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang sanggup merasa sendiri. Ia mengontrol badan melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak sanggup dirasa melalui alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumen Ibnu Miskawaih* mengenai jasmaniah jiwa dari sifat yang tidak sanggup dibagi, kemampuannya untuk menciptakan bentuk-bentuk gres tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuk yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan delusi rasa.
Nasiruddin Ath-Thusi menambahkan dua argumentasinya. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi dan sebagainya, semuanya ada dalam satu jiwa tanpa bercampur-baur, dan sanggup diingat dengan kejelasan yang khas, yang tidak mungkin ada dalam suatu substansi materiel. Oleh lantaran itu, jiwa merupakan substansi immaterial. Lagi pula, kemudahan fisik itu terbatas sehingga seratus orang tidak sanggup ditempatkan pada sebuah daerah yang dibentuk untuk lima puluh orang. Hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek-objek yang dikenalnya pada banyak ruang semoga siap pada waktu yang diperlukan. Hal ini juga menunjukan bahwa jiwa merupakan suatu substansi yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku”, kata “ku” menawarkan individualitas (huwiyyah) jiwa, yang mempunyai anggota-anggota badan ini, dan bukan jasmaniahnya. Memang jiwa memerlukan badan sebagai alat penyempurnaan dirinya, tetapi ia tidak begitu disebabkan pemilikannya akan tubuh.
Nasiruddin Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya kebijaksanaan (nutq) yang mendapatkan pengetahuan dari kebijaksanaan pertama. Akal tersebut ada dua jenis: akal teoretis dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles*. Dengan mengikuti pendapat Kindi*, Nasiruddin Ath-Thusi beranggapan bahwa kebijaksanaan teoretis merupakan potensialitas, yang perwujudannya meliputi empat tingkatan, yaitu kebijaksanaan materiel (aql-i hayulani), kebijaksanaan malaikat (‘aql-i malaki), kebijaksanaan aktif (‘aql-i bi al-fi’l), dan kebijaksanaan yang diperoleh (‘aql-i mustafad). Pada tingkatan kebijaksanaan yang diperoleh, setiap bentuk konseptual yang terdapat dalam jiwa menjadi faktual terlihat, ibarat wajah seseorang yang ada di dalam beling sanggup dilihat oleh orang tersebut. Pada pihak lain, kebijaksanaan simpel berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan yang sengaja. Oleh lantaran itu, potensialitas diwujudkan melalui tindakan-tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.
Jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi rasa dan abstraksi rasional. Dengan demikian, jikalau disatukan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jikalau dihubungkan dengan jiwa manusia, ia lepas dari anggota-anggota badan dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya. Hukuman atau penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini (hai’at), yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Imajinasi sensitif dan kalkulatif Aristoteles* merupakan struktur jiwa imajinatif Nasiruddin Ath-Thusi. Akan tetapi, tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori eksekusi dan penghargaan yang berbelit-belit di alam abadi merupakan gagasannya. Adapun mengenai tradisi yang diterima dari Ibnu Sina* dan Ghazali*, Nasiruddin Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Ia telah menempatkan daypikir (hiss-i mushtarak) dalam ruang otak pertama, persepsi (mushawwirah) di awal kepingan pertama ruang otak yang kedua, imajinasi di kepingan depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan di kepingan belakang otak.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Nasiruddin Ath-Thusi. Riwayat Hidup
2. Nasiruddin Ath-Thusi. Karya Filsafat
3. Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Moral
4. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Metafisika dan Logika
5. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Tuhan
Jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang sanggup merasa sendiri. Ia mengontrol badan melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi ia sendiri tidak sanggup dirasa melalui alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumen Ibnu Miskawaih* mengenai jasmaniah jiwa dari sifat yang tidak sanggup dibagi, kemampuannya untuk menciptakan bentuk-bentuk gres tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuk yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan delusi rasa.
Nasiruddin Ath-Thusi menambahkan dua argumentasinya. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi dan sebagainya, semuanya ada dalam satu jiwa tanpa bercampur-baur, dan sanggup diingat dengan kejelasan yang khas, yang tidak mungkin ada dalam suatu substansi materiel. Oleh lantaran itu, jiwa merupakan substansi immaterial. Lagi pula, kemudahan fisik itu terbatas sehingga seratus orang tidak sanggup ditempatkan pada sebuah daerah yang dibentuk untuk lima puluh orang. Hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek-objek yang dikenalnya pada banyak ruang semoga siap pada waktu yang diperlukan. Hal ini juga menunjukan bahwa jiwa merupakan suatu substansi yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku”, kata “ku” menawarkan individualitas (huwiyyah) jiwa, yang mempunyai anggota-anggota badan ini, dan bukan jasmaniahnya. Memang jiwa memerlukan badan sebagai alat penyempurnaan dirinya, tetapi ia tidak begitu disebabkan pemilikannya akan tubuh.
Nasiruddin Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya kebijaksanaan (nutq) yang mendapatkan pengetahuan dari kebijaksanaan pertama. Akal tersebut ada dua jenis: akal teoretis dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles*. Dengan mengikuti pendapat Kindi*, Nasiruddin Ath-Thusi beranggapan bahwa kebijaksanaan teoretis merupakan potensialitas, yang perwujudannya meliputi empat tingkatan, yaitu kebijaksanaan materiel (aql-i hayulani), kebijaksanaan malaikat (‘aql-i malaki), kebijaksanaan aktif (‘aql-i bi al-fi’l), dan kebijaksanaan yang diperoleh (‘aql-i mustafad). Pada tingkatan kebijaksanaan yang diperoleh, setiap bentuk konseptual yang terdapat dalam jiwa menjadi faktual terlihat, ibarat wajah seseorang yang ada di dalam beling sanggup dilihat oleh orang tersebut. Pada pihak lain, kebijaksanaan simpel berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan yang sengaja. Oleh lantaran itu, potensialitas diwujudkan melalui tindakan-tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.
Jiwa imajinatif berkenaan dengan persepsi rasa dan abstraksi rasional. Dengan demikian, jikalau disatukan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jikalau dihubungkan dengan jiwa manusia, ia lepas dari anggota-anggota badan dan ikut bergembira atau bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dari tubuh, jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya. Hukuman atau penghargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini (hai’at), yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
Imajinasi sensitif dan kalkulatif Aristoteles* merupakan struktur jiwa imajinatif Nasiruddin Ath-Thusi. Akan tetapi, tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori eksekusi dan penghargaan yang berbelit-belit di alam abadi merupakan gagasannya. Adapun mengenai tradisi yang diterima dari Ibnu Sina* dan Ghazali*, Nasiruddin Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Ia telah menempatkan daypikir (hiss-i mushtarak) dalam ruang otak pertama, persepsi (mushawwirah) di awal kepingan pertama ruang otak yang kedua, imajinasi di kepingan depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan di kepingan belakang otak.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Nasiruddin Ath-Thusi. Riwayat Hidup
2. Nasiruddin Ath-Thusi. Karya Filsafat
3. Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Moral
4. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Metafisika dan Logika
5. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Tuhan