Nasiruddin Ath-Thusi. Perihal Tuhan

Setelah menyangkal kemungkinan logis ateisme dan adanya dualitas pokok, Thusi, tidak menyerupai Farabi*, Ibnu Miskawaih*, dan Ibnu Sina*, mengemukakan bahwa logika dan metafisika tidak sanggup menandakan keberadaan Tuhan secara rasional sebagai penyebab utama bagi adanya bukti-bukti yang merupakan dasar dari semua logika dan metafisika. Ia tidak bergantung pada bukti-bukti logis, sebagaimana hukum-hukum dasar dari logika formal, ia tidak memerlukan dan menawarkan kemungkinan untuk pembuktian. Ia yaitu prinsip logika kosmik yang bersifat apriori, mendasar, perlu dan menandakan diri. Eksistensi-Nya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukan dibuktikan. Berdasarkan studi kehidupan moral pun, Thusi hingga pada kesimpulan yang sama bahwa keberadaan Tuhan merupakan postulat pokok etika.

Ath-Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman tepat perihal sesuatu yang harus dibuktikan lantaran tidak mungkin bagi insan yang terbatas untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, tidak mungkin pula bagi insan untuk menandakan eksistensi-Nya.

Masalah mengenai dunia itu baka (qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadits), merupakan salah satu duduk perkara yang paling membingungkan dalam filsafat Muslim. Aristoteles* mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan gerakannya pada penciptaan Tuhan, Sang Penggerak Utama. Ibnu Miskawaih* baiklah dengan Aristoteles* yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tetapi, tidak menyerupai filsuf Yunani itu, ia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentuk maupun materinya, diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan. Thusi dalam Tashawwurat (yang ditulis pada masa pemerintahan Ismailiah) melaksanakan upaya perujukan, secara setengah hati antara Aristoteles* dan Ibnu Miskawaih*. Ia memulai dengan mengecam iktikad creatio ex nihilo. Pandangan adanya waktu dikala dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara terang mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelum adanya pencipta dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang pada kemudian hari gres diwujudkan. Hal ini merupakan sangkalan atas daya cipta-Nya yang kekal. Oleh lantaran itu, logisnya Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan keberadaan penciptaan kepada Diri-Nya. Dengan kata lain, dunia ini merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini baka lantaran kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun, dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta (muhdats).

Dalam Fushul (risalahnya yang populer dan paling banyak diulas), Thusi meninggalkan sikapnya sekaligus mendukung sepenuhnya iktikad ortodoks mengenai creatio ex nihilo. Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang niscaya dan mungkin, ia mengemukakan bahwa keberadaan yang mungkin bergantung pada yang pasti; dan lantaran ia maujud akhir sesuatu yang lain dari dirinya, tidak sanggup dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, lantaran penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti membuat hal yang tidak mungkin itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada disebut yang tercipta (muhdats).

Dalam kitab Tashawwurat, Thusi baiklah dengan Ibnu Sina*, yang beropini bahwa dari satu ketiadaan sanggup muncul satu, dan dengan mengikuti prinsip ini, ia menerangkan asal (shudur) dunia ini dari Kemaujudan Yang Pasti dengan gaya Neoplatonik. Dalam Risaleh-i ‘Aql, Risaleh-i ‘Hal wa Ma’lu-lat dan syarh-Hsyarat, ia mendukung, baik secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu keseluruhan. Akan tetapi, dalam karya berikutnya, Qawa’id Al-‘Aql’id, Tajrid Al-Aqa’id, dan Fushul, ia menyerang dan menumbangkan dasar paling penting dari prinsip ini, yang sebelumnya sangat ia percayai. Refleksi budi pertama dikatakan sebagai telah mencapai akal, jiwa dan badan lingkungan pertama. Sikap ini secara terang mengisyaratkan kemajemukan pada yang tercipta oleh budi pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketiadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber kemajemukan, ia mengemukakan bahwa kemajemukan sanggup maujud melalui wewenang Tuhan dan sanggup pula tanpa wewenang Tuhan. Jika maujud, lantaran wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia tiba dari Tuhan. Pada pihak lain, bila ia muncul tanpa wewenang Tuhan, berarti adanya Tuhan selain Allah.

Hal itu diungkapkan kembali dalam Tashawwurat. Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan tetapi, dalam Fushul ia meninggalkan perilaku itu sepenuhnya. Ia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori mengenai penciptaan lantaran desakan. Jika Tuhan membuat lantaran Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan, tindakan-tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan demikian, bila satu penggalan dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan tentu juga menjadi tiada; lantaran penyebab keberadaannya ditentukan oleh ketiadaan satu penggalan dari penyebabnya. Hal itu selanjutnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian-bagian lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua yang ada bergantung pada perlunya Tuhan, ketiadaan mereka karenanya menyebabkan ketiadaan Tuhan.

Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
 

Download

Baca Juga
1. Nasiruddin Ath-Thusi. Riwayat Hidup
2. Nasiruddin Ath-Thusi. Karya Filsafat
3. Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Moral
4. Nasiruddin Ath-Thusi. Filsafat Jiwa
5. Nasiruddin Ath-Thusi. Tentang Metafisika dan Logika

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel