Suhrawardi Al-Maqtul. Struktur Filsafat Iluminasi
Komponen utama yang paling jelas, tetapi gampang diabaikan dalam filsafat iluminasi* Suhrawardi ialah pemakaian khas bahasa teknisnya. Kosakata khas ini memakai simbolisme cahaya untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis, khususnya untuk memaparkan struktur kosmologis. Sebagai contoh, Wujud Niscaya (Wajid Al-Wujud) Peripatetik tersebut “Cahaya dari segala cahaya” (nur al-anwar), intelek terpisah disebut “cahaya-cahaya abstrak” (anwar mujarradah), dan sebagainya. Inovasi kebahasaan ini bukan hanya merupakan istilah baru, melainkan pula indikasi atas tujuan filsafatnya. Tampaknya, simbolisme cahaya dinilai lebih sesuai untuk memberikan prinsip ontologis wujud ekuivokal sebab lebih gampang dipahami bahwa cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama.
Selain itu, dianggap lebih sanggup diterima untuk membahas “kedekatan” (qurb) dan “kejauhan” (bu’d) dari sumber sebagai indikasi bagi tingkat kesempurnaan ketika simbolisme cahaya digunakan. Sebagai contoh, semakin erat suatu entitas dengan sumbernya, yaitu Cahaya dari segala cahaya, semakin terang cahaya entitas tersebut (as-syai al-mustamr).
Secara keseluruhan, pemakaian bahasa simbolis merupakan karakteristik menonjol dan penting dari filsafat iluminasi*. Simbolisme juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan kreatif intuisi yang mengajukan sebagai aksioma pertama. Pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (roh) perihal diri sendirinya—maksudnya entitas cahaya—merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan, diibaratkan cahaya abnormal yang berasal (hashil) dari sumber cahaya. Argumennya ialah cahaya merambat dengan sendirinya ketika memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan (faidh) secara sengaja, serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Hal ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan ketika sumber bercahaya itu terjadi.
Berdasarkan sudut pandang tekstual, filsafat iluminasi* dimulai dalam buku At-Talwihat. Di sini Suhrawardi mengingatkan kembali visi mimpi ketika Aristoteles menampakkan diri. Sarana atau perangkat alegoris ini memungkinkan Suhrawardi mengemukakan beberapa problem filosofis penting. Melalui visi-mimpi ini, Aristoteles* menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa kaum Peripatetik Muslim gagal mencapai kebijaksanaan, mirip yang diraih para sufi, yaitu Abu Yazid Al-Bastami dan Al-Hallaj. Hal ini dikarenakan para sufi berhasil mencapai kesatuan dengan Akal Aktif dengan melampaui filsafat diskursif dan menyandarkan diri pada pengalaman pribadinya. Kebenaran (haqa’iq) yang diperoleh dengan cara ini merupakan hasil dari modus eksperiensial, intuitif khusus. Dengan demikian, kritik pertama atas filsafat peripatetik* dituturkan melalui seorang otoritas mirip Aristoteles*, yang menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa pengetahuan yang benar hanya didasarkan atas pengetahuan-diri-sendiri dan hanya diperoleh melalui modus khusus yang disebut “pengetahuan melalui iluminasi dan kehadiran”.
Apa arti modus epistemologis ini dan bagaimana modus itu diperoleh? Pertama-tama harus bergantung pada perjuangan mendemonstrasikan kesenjangan logis yang terdapat dalam sistem peripatetik. Hal ini terjadi ketika Suhrawardi melancarkan kritik lebih jauh atas konsep dan rumusan definisi Aristoteles*. Kritik ini upaya signifikan pertama untuk menunjukkan kesenjangan fundamental dalam metode ilmiah Aristotelian dan menunjukkan langkah pertama dalam rekonstruksi filsafat iluminasi*. Langkah metodologis besar berikutnya, yaitu mengemukakan landasan epistemologis alternatif untuk merekonstruksi metafisika yang lengkap. Ini merupakan salah satu keutamaan dan keunggulan intuisi dan teori-iluminasi-visi—yang dalam filsafat iluminasi* dianggap sebagai sarana untuk mendapat prinsip-prinsip yang akan dipakai dalam pikiran sehat deduktif yang kompleks.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Download
Baca Juga
1. Suhrawardi Al-Maqtul. Riwayat Hidup
2. Suhrawardi Al-Maqtul. Karya Filsafat
3. Suhrawardi Al-Maqtul. Pemikiran Filsafat
4. Suhrawardi Al-Maqtul. Filsafat Iluminasi
5. Suhrawardi Al-Maqtul. Metodologi Filsafat
6. Suhrawardi Al-Maqtul. Epistemologi Iluminasionis
Secara keseluruhan, pemakaian bahasa simbolis merupakan karakteristik menonjol dan penting dari filsafat iluminasi*. Simbolisme juga diterapkan pada keutamaan epistemologis tindakan kreatif intuisi yang mengajukan sebagai aksioma pertama. Pemikiran bahwa pengetahuan jiwa (roh) perihal diri sendirinya—maksudnya entitas cahaya—merupakan landasan dan titik tolak pengetahuan, diibaratkan cahaya abnormal yang berasal (hashil) dari sumber cahaya. Argumennya ialah cahaya merambat dengan sendirinya ketika memancar dari sumbernya, dan tidak dipancarkan (faidh) secara sengaja, serta tidak dipancarkan secara terputus-putus. Hal ini berarti bahwa semua entitas cahaya diperoleh atau berasal dari sumbernya bukan dalam waktu, melainkan ketika sumber bercahaya itu terjadi.
Berdasarkan sudut pandang tekstual, filsafat iluminasi* dimulai dalam buku At-Talwihat. Di sini Suhrawardi mengingatkan kembali visi mimpi ketika Aristoteles menampakkan diri. Sarana atau perangkat alegoris ini memungkinkan Suhrawardi mengemukakan beberapa problem filosofis penting. Melalui visi-mimpi ini, Aristoteles* menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa kaum Peripatetik Muslim gagal mencapai kebijaksanaan, mirip yang diraih para sufi, yaitu Abu Yazid Al-Bastami dan Al-Hallaj. Hal ini dikarenakan para sufi berhasil mencapai kesatuan dengan Akal Aktif dengan melampaui filsafat diskursif dan menyandarkan diri pada pengalaman pribadinya. Kebenaran (haqa’iq) yang diperoleh dengan cara ini merupakan hasil dari modus eksperiensial, intuitif khusus. Dengan demikian, kritik pertama atas filsafat peripatetik* dituturkan melalui seorang otoritas mirip Aristoteles*, yang menginformasikan kepada Suhrawardi bahwa pengetahuan yang benar hanya didasarkan atas pengetahuan-diri-sendiri dan hanya diperoleh melalui modus khusus yang disebut “pengetahuan melalui iluminasi dan kehadiran”.
Apa arti modus epistemologis ini dan bagaimana modus itu diperoleh? Pertama-tama harus bergantung pada perjuangan mendemonstrasikan kesenjangan logis yang terdapat dalam sistem peripatetik. Hal ini terjadi ketika Suhrawardi melancarkan kritik lebih jauh atas konsep dan rumusan definisi Aristoteles*. Kritik ini upaya signifikan pertama untuk menunjukkan kesenjangan fundamental dalam metode ilmiah Aristotelian dan menunjukkan langkah pertama dalam rekonstruksi filsafat iluminasi*. Langkah metodologis besar berikutnya, yaitu mengemukakan landasan epistemologis alternatif untuk merekonstruksi metafisika yang lengkap. Ini merupakan salah satu keutamaan dan keunggulan intuisi dan teori-iluminasi-visi—yang dalam filsafat iluminasi* dianggap sebagai sarana untuk mendapat prinsip-prinsip yang akan dipakai dalam pikiran sehat deduktif yang kompleks.
Sumber
Hasan, Mustofa. 2015. Sejarah Filsafat Islam; Genealogi dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat. Pustaka Setia. Bandung
Baca Juga
1. Suhrawardi Al-Maqtul. Riwayat Hidup
2. Suhrawardi Al-Maqtul. Karya Filsafat
3. Suhrawardi Al-Maqtul. Pemikiran Filsafat
4. Suhrawardi Al-Maqtul. Filsafat Iluminasi
5. Suhrawardi Al-Maqtul. Metodologi Filsafat