Agama, Moralitas, Dan Keadaan Modernitas

Semua agama-agama besar di dunia ditemukan dalam masa pra modern. Bagi orang-orang dalam kondisi tersebut, banyak, kalau tidak semuanya, korelasi sosial ditanamkan. Relasi sosial paling banyak terjadi melalui proses saling bertemu (face to face). Bahkan dalam kerajaan besar kuno, kebanyakan orang menghabiskan kehidupan mereka dalam masyarakat yang relatif kecil yang memungkinkan untuk menciptakan penilaian moral dan etis terhadap banyak individu dengan kemampuan untuk memengaruhi kehidupan orang lain, dan mungkin lebih penting lagi yang memungkinkan untuk memahami implikasi moral dari tindakan seseorang.
Kenyataan tersebut ketika ini tidak berlaku. Keputusan yang dibentuk di ruang sidang di New York dan kota-kota bisnis lainnya sanggup memiliki dampak yang sangat besar pada kehidupan separuh belum dewasa di dunia, yang mungkin tidak dipedulikan oleh sebagian besar para pembuat keputusan. Hal ini memperlihatkan bahwa dosa sanggup dilakukan secara institusional menyerupai halnya personal, dan bahwa agama-agama serta guru-guru agama ketika ini harus fokus pada sistem global dan nasional menyerupai halnya pada individual. Dan bahwa modernitas sudah dirasakan pengaruhnya oleh agama, hal ini merupakan tantangan besar.

Agama-agama memiliki kapasitas untuk menghadapi tantangan ini. Selain “mengajak kebaikan dan melarang kejahatan” yang didefinisikan keduanya dalam kaitannya dengan sikap personal, agama-agama tersebut telah merumuskan prinsip-prinsip etis yang lebih general yang sanggup dituangkan dalam penilaian dan kalau memungkinkan perumusan kembali nilai-nilai dari sistem jago memungkinkan terwujudnya dunia modern. “Kalian semua ialah pemimpin dan setiap kau akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kau pimpin. Seseorang yang mengatur orang lain ialah pemimpin, dan beliau akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Laki-laki ialah pemimpin atas rumah tangganya dan beliau akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang perempuan ialah pemimpin atas rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan beliau akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Pelayan ialah pemimpin atas harta benda tuannya dan beliau akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Sesungguhnya, setiap kau ialah pemimpin, dan setiap dari kau akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kau pimpin” (Muslim: Imara 20).

Hadis di atas ialah salah satu pola dari prinsip etis yang sanggup dipakai dengan cara ini. Sama halnya dengan anutan Budha ihwal “kebaikan mencintai”, pernyataan Yesus bahwa “firman agung” adalah: “Kamu akan mengasihi Junjungan Tuhanmu dengan sepenuh hati, dan dengan seluruh jiwamu dan seluruh pikiranmu... Dan kau akan mengasihi tetanggamu menyerupai mengasihi dirimu sendiri” (Matius 22: 36-40).

Aplikasi dari prinsip-prinsip umum ini memungkinkan kita untuk mengevaluasi aspek moral dari tindakan yang “legal” dalam pengertian teknis dari istilah tersebut. Dalam Islam, akidah niat secara khusus penting dalam hal semacam ini. Kristen, Yahudi, Budha memiliki konsep yang serupa dalam hal niat. Perbedaan mencolok antara dua orang presiden Amerika menawarkan pola yang jelas. Ketika ditanya mengenai ketidaksetiaan dalam pernikahan, Jimmy Carter menjawab bahwa beliau tidak pernah “berkhianat” pada Rosalyn, istrinya, tetapi dalam pengertian moral hal ini tidak penting alasannya ialah beliau telah “gila terhadap perempuan dalam hatinya dan dalam banyak kesempatan”. Sebaliknya, ketika ditanya mengenai hubungannya dengan Monica Lewinsky, Bill Clinton menjawab bahwa berdasarkan definisi “seks” dalam dokumen pengadilan, beliau “tidak berafiliasi seks dengan perempuan tersebut” tetapi perempuan itu yang berafiliasi seks dengannya.

Sumber
Mark R. Woodward. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel