Islam Dan Perspektif Globalisasi
Kenichi Ohmae pernah memprovokasikan ide “akhir dari negara-bangsa (The End of Nation State)” sebagai akhir simpulan (ultimate impact of globalitation). Komunikasi yang dikala ini mengontrol pergerakan modal dan korporasi melintasi batasan-batasan nasional pastinya memiliki akhir besar terhadap masyarakat dunia di satu sisi dan sifat dasar negara-bangsa di sisi lain. Dalam situasi ibarat ini, instrumen moneter tidak lagi membawa bendera. Dan sekali saja hal ini terjadi, “nasib negara-bangsa terus-menerus ditentukan oleh pilihan-pilihan ekonomi yang dibentuk di tempat lain”. Faktanya, dalam pandangan Ohmae, “negara bangsa merupakan dinosaurus yang menunggu kematian”.
Jika wacana perihal korelasi Islam dengan negara bangsa, yang terjadi pada awal kala kedua puluh, didasarkan terutama pada sifat dasar dari contoh bangunan negara nasionalis yang penuh kontradiksi dengan aliran Islam, wacana pembaruan di simpulan kala kedua puluh diilhami oleh pentingnya menghadirkan Islam sebagai sebuah alternatif bagi sistem dunia yang sedang eksis. Sistem dunia yang dominian dari Pax Americana, meskipun menang melawan sosialisme dunia yang diterapkan oleh Uni Sovyet dan Eropa Timur, menyebabkan krisis global. Sifat dasar dari krisis global dikala ini, dalam pandangan Cyrus Bina, “dapat dilihat dari intervensi militer Amerika semenjak tahun 80-an, terutama masa-masa paling terkini di kawasan Teluk Persia” (Towards a New World Order: Us Hegemony, Client-States and Islamic Alternative, hlm. 5-6). Kata kunci bagi krisis dunia yaitu hegemoni rezim yang dominan. Tendensi hegemoni semacam ini, tidak bergantung pada penaklukan kolonial sekaligus, namun sebuah posisi yang dicapai melalui “hegemoni atas ekonomi global, kebijakan global, dan struktur sosio-ideologi komunitas dunia secara menyeluruh” (hlm. 6).
Di samping fakta-fakta lainnya, kecenderungan hegemoni semacam itu merangsang lahirnya pemfokusan kembali etos Islam di seluruh dunia. Pelopor gerakan ini yaitu Republik Islam Iran. Meskipun kontroversi dan debat yang mungkin terjadi di kalangan orang-orang Islam perihal sifat dasar Republik Islam, pengalaman bangsa Iran sudah merupakan suatu keberhasilan dalam membongkar status mereka sebelumnya, yakni sebagai negara pengekor (client state). Pemberontakan bangsa Iran sanggup dilihat sebagai “sebuah reaksi sejarah terhadap ketidakcukupan dan kegagalan dua ideologi dunia yang sangat berpengaruh yang telah membentuk dunia selama beberapa dekade yang lalu” (hlm. 18). Namun, optimisme yang diberikan secara tidak sengaja oleh globalisasi kepada beberapa penggagas dan pemikir Muslim yaitu berupa ide perihal globalisme atau universalisme itu sendiri. Dalam pandangan para penggagas ini, ide tersebut mengingatkan kepada konsep universalisme Islam yang tidak mengakui adanya batas-batas wilayah geografis.
Sumber
Bahtiar Effendi. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download
Jika wacana perihal korelasi Islam dengan negara bangsa, yang terjadi pada awal kala kedua puluh, didasarkan terutama pada sifat dasar dari contoh bangunan negara nasionalis yang penuh kontradiksi dengan aliran Islam, wacana pembaruan di simpulan kala kedua puluh diilhami oleh pentingnya menghadirkan Islam sebagai sebuah alternatif bagi sistem dunia yang sedang eksis. Sistem dunia yang dominian dari Pax Americana, meskipun menang melawan sosialisme dunia yang diterapkan oleh Uni Sovyet dan Eropa Timur, menyebabkan krisis global. Sifat dasar dari krisis global dikala ini, dalam pandangan Cyrus Bina, “dapat dilihat dari intervensi militer Amerika semenjak tahun 80-an, terutama masa-masa paling terkini di kawasan Teluk Persia” (Towards a New World Order: Us Hegemony, Client-States and Islamic Alternative, hlm. 5-6). Kata kunci bagi krisis dunia yaitu hegemoni rezim yang dominan. Tendensi hegemoni semacam ini, tidak bergantung pada penaklukan kolonial sekaligus, namun sebuah posisi yang dicapai melalui “hegemoni atas ekonomi global, kebijakan global, dan struktur sosio-ideologi komunitas dunia secara menyeluruh” (hlm. 6).
Di samping fakta-fakta lainnya, kecenderungan hegemoni semacam itu merangsang lahirnya pemfokusan kembali etos Islam di seluruh dunia. Pelopor gerakan ini yaitu Republik Islam Iran. Meskipun kontroversi dan debat yang mungkin terjadi di kalangan orang-orang Islam perihal sifat dasar Republik Islam, pengalaman bangsa Iran sudah merupakan suatu keberhasilan dalam membongkar status mereka sebelumnya, yakni sebagai negara pengekor (client state). Pemberontakan bangsa Iran sanggup dilihat sebagai “sebuah reaksi sejarah terhadap ketidakcukupan dan kegagalan dua ideologi dunia yang sangat berpengaruh yang telah membentuk dunia selama beberapa dekade yang lalu” (hlm. 18). Namun, optimisme yang diberikan secara tidak sengaja oleh globalisasi kepada beberapa penggagas dan pemikir Muslim yaitu berupa ide perihal globalisme atau universalisme itu sendiri. Dalam pandangan para penggagas ini, ide tersebut mengingatkan kepada konsep universalisme Islam yang tidak mengakui adanya batas-batas wilayah geografis.
Sumber
Bahtiar Effendi. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Download