Islam Sebagai Gerakan Sosial Di Indonesia

Dalam historiografi Indonesia, Islam nyaris sulit diceraikan dengan gerakan anti-kolonialisme serta ketegangannya dengan gagasan nasionalisme. Sejumlah goresan pena Kuntowijoyo mendedahkan paparan historis perihal gerakan sosial Islam, termasuk pembangkangan atau perilaku oposisional kaum Muslim. Meski demikian, Kuntowijoyo juga meyakini kekuatan integratif Islam serta pertautan Islam dengan gagasan nasionalisme.

Benih oposisi (pembangkangan) Islam tidak dapat dilepaskan dari keterasingan (alienasi) dan keterpinggiran (marginalisasi) yang dialami umat Islam. Pengalaman umat Islam ini, tentu saja, telah mempunyai akarnya pada era kolonialisme di Indonesia. Gerakan umat Islam pada era tersebut bercorak komunal, yakni digunakannya solidaritas pedesaan (terutama di kalangan petani) yang bersifat mekanis untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Mengingat gerakan semacam itu tumbuh dari konteks masyarakat agraris, maka lazimnya berkisar pada tokoh kharismatis (misalnya, kiai). Gerakan yang dipimpin oleh Haji Rifai di wilayah Pekalongan pada 1859 merupakan referensi gerakan yang bercorak komunal tersebut. Meskipun kadang-kadang dapat ditemui gerakan Islam seolah-olah ada ikatan atau jaringan dengan gerakan lainnya, ikatan itu terbentuk oleh solidaritas komunal ibarat ikatan darah, perkawinan silang, atau hubungan perguruan.

Lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awal kala ke XX menandai corak gres gerakan Islam yang berpola asosiasional dan tidak lagi bersifat komunal. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya tidak lagi bersifat paternalistik tetapi demokratis. Begitu pula, tercipta jaringan luas yang bersifat organisasional yang tidak lagi bersifat komunal dan lokal. Gerakan Islam yang terwadahi dalam organisasi itulah yang melahirkan demokrasi dan partisipasi. Setelah SDI, memang bermunculan organisasi Islam, ibarat Muhammadiyah (berdiri pada 1912) dan Nahdlatul Ulama atau NU (berdiri 1926) dengan orientasi gerakan yang berbeda. Muhammadiyah mempunyai orientasi gerakan yang bersifat puritan dengan menghapus beban-beban kultural akhir imbas budaya agraris, sedangkan NU berusaha merawat lembaga-lembaga dan tradisi Islam agraris dengan solidaritas komunalnya. Berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada 7 November 1945 di Yogyakarta menjadi wadah politik (semacam konfederasi) yang ingin menyatukan kekuatan Islam dari aneka macam ajaran yang beragam. Selain itu, berdirinya Masyumi menandai terbitnya kesadaran umat untuk terlibat dalam duduk masalah negara yang ditandai oleh partisipasinya dalam sidang perumusan konstitusi dan keikutsertaannya dalam pemilihan umum.

Di era Orde Baru, lahirnya organisasi Islam merupakan buah dari proses Islamisasi yang berlangsung pada masa 1950-an. Misalnya kemunculan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dapat dianggap sebagai konvergensi kelompok santri dan abangan yang mengalami pendidikan agama di sekolah umum maupun kelompok santri yang memasuki sekolah umum. Menurut Kuntowijoyo, munculnya diversifikasi persepsi terhadap aneka macam informasi di kalangan anggota HMI bukan alasannya yaitu ketegangan antara kelompok tradisionalis dan modernis, melainkan lebih dikarenakan perbedaan pengalaman politik, perbedaan kultur akademis, jariangan patronase senior-junior, dan perbedaan kultur etnis.

Berangkat dari kondisi yang berubah, Kuntowijoyo menyarankan gerakan Islam bukan lagi dalam bentuk mobilisasi massa. Begitu pula, gerakan itu tidak lagi bertolak dari ideologi atau idealisasi dari realitas semata. Gerakan Islam itu semestinya merupakan gerakan empiris dan objektif (bukan subjektif-normatif) untuk memperjuangkan kelas-kelas yang tertindas (dhu’afa-mustadh’afin) di kalangan umat Islam sendiri demi tegaknya keadilan. Oleh alasannya yaitu hal itu, gerakan Islam pun perlu mendasarkan pada konsep kelas. Meski demikian, Kuntowijoyo mengingatkan bahwa konsep kelas tersebut berbeda pengertiannya dengan kelas dalam konsep Marxian* kendati tetap mengakui adanya pertentangan kelas. Tujuan gerakan itu bukan untuk penggulingan kelas, melainkan untuk melaksanakan transformasi sistematik biar kekayaan tak hanya beredar di antara golongan kaya, apalagi jikalau golongan itu telah menjadi mustakbirun yang zalim. Jadi, berdasarkan Kuntowijoyo, ikhtiar menegakkan keadilan merupakan imperatif watak yang mempunyai pendasaran teologis dalam Islam.

Sumber
Budi Irawanto dalam Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
 

Download

Baca Juga

Baca Juga
Persoalan Kelas Sosial dalam Masyarakat Muslim di Indonesia

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel