Perspektif Teologis Dalam Islam

Agama, sebagaimana diyakini beberapa orang, sanggup dilihat sebagai instrumen ketuhanan untuk memahami dunia. Islam, dibandingkan dengan agama lain merupakan agama yang paling gampang mendapatkan premis semacam itu. Satu alasan yang nyata terletak dalam salah satu karakteristik Islam yang paling mencolok mata: “kehadirannya di mana saja”. Ini merupakan anggapan yang mengakui bahwa “di setiap tempat” kehadiran Islam harus menyediakan “sikap moral yang baik bagi agresi manusia”.

Pandangan ini sudah mengarahkan banyak pengikut untuk mempercayai bahwa Islam yaitu satu jalan hidup yang total. Perwujudan hal ini diungkapkan oleh syari’ah (hukum Islam). Sekelompok Muslim yang jumlahnya cukup besar bahkan mendorongnya lebih jauh dengan menyampaikan bahwa “Islam merupakan totalitas yang terpadu yang memperlihatkan suatu solusi bagi semua problem kehidupan”. Tidak diragukan lagi, mereka mempercayai sifat dasar Islam yang lengkap dan holistik, sehingga berdasarkan mereka ia meliputi tiga D (din {agama}, dunya {dunia}, dan dawla {negara}).

(Dengan demikian) Islam merupakan totalitas terpadu yang memperlihatkan satu solusi bagi semua problem kehidupan. Islam harus diterima secara menyeluruh dalam keluarga, ekonomi, dan politik. (Untuk kelompok Muslim ini) perwujudan sebuah masyarakat Islam diperkirakan melalui pendirian sebuah negara Islam, yakni sebuah negara ideologis (ideological state) “yang berdasarkan pemahaman yang komprehensif wacana Islam”.

Pandangan holistik Islam sebagaimana digambarkan di atas mempunyai implikasi tersendiri. Salah satunya yaitu bahwa secara berlebihan hal ini mendorong timbulnya tendensi untuk memahami Islam secara literal, menekankan hanya pada dimensi eksterior. Dan sejauh ini sudah dilaksanakan dalam dimensi kontekstual dan interior dari prinsip Islam. Dengan demikian, hal yang mungkin berada di luar wujud teks hampir diabaikan sama sekali, untuk tidak menyampaikan dihindari. Dalam kasus yang ekstrem menyerupai ini, tendensi demikian menghalangi banyak Muslim untuk memahami pesan al-Qur’an sebagai instrumen ilahiah yang menyediakan moral yang baik (tepat) dan nilai-nilai etik bagi perbuatan manusia.

Namun memahami syari’at Islam sebagai sebuah jalan kehidupan yang total merupakan satu aspek tersendiri. Sedangkan memahaminya secara sempurna merupakan aspek yang lain. Ternyata, dalam konteks “bagaimana syari’ah seharusnya dipahami”, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, di sanalah hal terpenting yang seharusnya sanggup ditemukan. Ada beberapa faktor yang sanggup memengaruhi dan membentuk pemahaman Muslim terhadap syari’ah. Sosial, budaya dan lingkungan intelektual, atau apa yang digambarkan Arkoun* sebagai “estetika penerimaan (aesthetics reception)”, cukup penting dalam memilih bentuk dan substansi interpretasi. Perbedaan kecenderungan intelektual—apakah motifnya untuk mengkover kembali makna yang bekerjsama (the true meaning) dari iktikad sebagaimana diungkapkan secara literal dalam teks, atau untuk menemukan prinsip umum dari iktikad di luar ungkapan literal atau tekstualnya—dalam upaya untuk memahami syari’ah sanggup membawa pada pemahaman yang berbeda dalam suatu iktikad yang khusus. Dengan demikian, sambil mendapatkan prinsip-prinsip umum syari’ah, Muslim tidak terpaku pada satu interpretasi syari’ah.

Timbulnya sejumlah mazhab pemikiran yang berbeda-beda dalam yurisprudensi Islam atau aliran filsafat dan teologi, sebagai contoh, memperlihatkan bahwa fatwa Islam sanggup ditafsirkan bermacam-macam (polyinterpretable). Sifat dasar interpretatif dari Islam sudah berfungsi sebagai basis fleksibilitas Islam dalam sejarah. Selain itu, hal ini juga menegaskan pentingnya pluralisme dalam tradisi Islam. Oleh alasannya yaitu itu, sebagaimana banyak pihak berpendapat, Islam tidak sanggup dan seharusnya tidak dipersepsikan secara searah.

Kenyataan ini berarti bahwa Islam empiris atau yang benar-benar aktual—karena “divergensi dalam konteks sosial ekonomi dan politik”—sudah bermakna hal yang berbeda bagi orang yang berbeda pula. Dan sangat menyerupai atau sangat setara, “Islam dipahami secara berbeda dan dipakai secara berbeda pula”. Untuk meletakan hal ini dalam konteks politik Islam kontemporer, usaha untuk membentuk sebuah negara Islam mungkin sanggup memperlihatkan arti yang berbeda bagi orang Islam yang lain. Akibatnya, untuk menyampaikan posisi yang paling ekstrem dan kontroversial dalam konteks ini, yakni, apa yang dirasakan sebagai sebuah negara Islam oleh Muslim di Iran dipandang agak berbeda oleh saudara seiman mereka di Saudi Arabia. Faktanya, sebagaimana diketahui secara luas, kedua negara tersebut sudah mengampanyekan penolakan terhadap masing-masing klaim untuk menjadi negara Islam.

Politik Islam tidak sanggup melepaskan diri dari sejarah pemahaman yang berbeda-beda ini. Namun di sisi lain banyak pihak umumnya mengetahui pentingnya peranan prinsip-prinsip Islam dalam politik. Pada ketika yang sama, dikarenakan Islam berpotensi untuk dipahami secara berbeda, tidak ada satu pun anggapan yang menyatakan wacana bagaimana Islam dan politik seharusnya dikaitkan secara tepat. Kenyataannya, sejauh yang sanggup disimpulkan baik dari wacana sejarah maupun wacana intelektual dari pandangan gres dan praktik politik Islam, terdapat sejumlah perbedaan—bahkan beberapa di antaranya saling bertentangan—pandangan menyangkut kekerabatan yang sempurna antara Islam dan politik.

Secara umum ada dua aliran intelektual yang berbeda dalam pemikiran politik Islam. Meskipun keduanya mengakui arti pentingnya prinsip Islam dalam semua bidang kehidupan, mereka berbeda dalam pemahaman dan tingkat kecocokannya dengan situasi modern—dengan demikian bagi beberapa orang mungkin mereka memerlukan pemahaman kembali yang lebih jauh di luar makna teks yang mereka ambil—dan nilai aplikatifnya dalam dunia nyata.

Dalam satu bab spektrum, ada juga orang yang beranggapan bahwa Islam seharusnya menjadi landasan negara: bahwa syari’ah seharusnya diadopsi sebagai institusi negara; bahwa kekuasaan politik berada di tangan Tuhan; bahwa pandangan gres negara bangsa modern itu bertentangan dengan konsep ummah (Islamic Community) yang tidak mengakui adanya batas politik; dan sambil mengenali prinsip shura (konsultasi), realisasinya berbeda dari pandangan demokrasi kontemporer. Letak secara berbeda, dalam perspektif semacam itu, sistem politik modern (Barat)—yang mana beberapa negara Muslim independen dan gres berdiri mendasarkan sistem politiknya pada Barat—ditempatkan dalam sebuah posisi yang bertentangan dengan fatwa Islam.

Dalam bab spektrum pemikiran lain, ada pihak yang mempercayai anggapan atau pandangan bahwa Islam tidak—meletakkan pola bab yang terang dan paten wacana teori negara (atau teori politik) untuk diikuti oleh umat. Dalam bahasa Muhammad ‘Imara, seorang pemikir Muslim dari Mesir, “Islam sebagai sebuah agama belum atau tidak memilih suatu sistem khusus pemerintahan bagi orang-orang Islam, alasannya yaitu logika kecocokan agama ini untuk setiap zaman dan kawasan membutuhkan atau memerlukan pandangan bahwa hal-hal yang akan selalu berubah oleh kekuatan revolusi harus ditinggalkan untuk menuju kepada pemikiran rasional manusia, untuk dibuat berdasarkan interest publik dan dalam kerangka pandangan-pandangan umum yang agama ini sudah memberikannya”.

Berdasarkan aliran teori ini, bahkan istilah negara (daulah) pun tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Meskipun “ada sejumlah ungkapan dalam al-Qur’an yang mengacu atau sepertinya mengacu kepada kekuatan dan otoritas politik, ungkapan-ungkapan ini merupakan pernyataan insidental dan tidak mengandung teori politik”. Sungguh mereka beranggapan, “al-Qur’an bukanlah sebuah risalah dalam ilmu politik”. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa posisi semacam ini menyampaikan pemahaman atau menyampaikan kenyataan bahwa al-Qur’an benar-benar mengandung “keputusan dan nilai adat wacana acara sosial politik manusia”. Termasuk di dalamnya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kebebasan. Oleh alasannya yaitu itu, selama negara menganut prinsip-prinsip semacam itu maka negara tersebut sesuai dengan fatwa Islam.

Dalam garis argumen ini, penegakan sebuah negara Islam dalam istilah formal ideologis tidak signifikan. Hal penting yaitu bahwa negara—mengenali negara sebagai instrumen dalam merealisasikan fatwa agama—menjamin eksistensi nilai-nilai dasar di atas. Selama hal ini menjadi hal yang sebenarnya, tidak ada alasan ideologis/religius untuk menolak pandangan gres kekuasaan rakyat, negara-bangsa sebagai kesatuan politik modern yang legitimate, dan prinsip-prinsip teori politik modern umum lainnya. Dalam istilah lain, tidak ada basis yang legitimate untuk menempatkan Islam dalam sebuah posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern.

Model teori Islam pertama menggambarkan kecenderungan untuk menekankan aspek formal dan legal dari idealisme politik Islam. Secara khusus model ini ditandai dengan penerapan syari’ah secara pribadi sebagai basis undang-undang negara. Dalam negara bangsa kontemporer menyerupai Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair, dan Indonesia, model formalis semacam ini mempunyai potensi untuk menjadikan konflik dengan sistem politik modern.

Sebaliknya, model kedua lebih menekankan pada substansi daripada bangunan formal dan legal dari sebuah negara. Mengacu kepada aksara substansialis (yang menekankan pada nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), aksara ini mempunyai potensi untuk menyampaikan pendekatan yang hidup dalam rangka menghubungkan Islam dengan politik modern yang di dalamnya negara-bangsa merupakan unsur yang utama.

Dalam poin ini, sepertinya fair untuk menyimpulkan bahwa tradisi pemikiran politik Islam bekerjsama kaya, bermacam-macam dan fleksibel. Melihat perspektif ini, wacana Islam dengan memandang hubungannya dengan pandangan gres negara-bangsa tidak hanya melahirkan satu persepsi yang tunggal.

Sumber
Bahtiar Effendi. 2007. Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta


Download

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel