Arthur Schopenhauer. Dunia Sebagai Kehendak Dan Bayangan

Etika Schopenhauer hanya sanggup dimengerti atas dasar metafisikanya. Untuk memahami pokok pikirannya yang memang tidak gampang untuk dimengerti, kita sebaiknya bertolak dari sebuah distingsi yang banyak kita temukan baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Timur: distingsi antara dua lapisan realitas atau dua dunia. Ada dunia yang sungguh-sungguh, yang justru tersembunyi bagi manusia, contohnya dunia idea Plato* atau, dalam filsafat Jawa, alam gaib. Selain itu, ada dunia kita sehari-hari, dunia yang kelihatan, yang hanya “semu” atau maya (istilah Wedanta yang sering digunakan Schopenhauer). Schopenhauer secara pribadi terpengaruh oleh filsafat pengetahuan Kant*.
Kant* membedakan dua dunia. Yang pertama yakni dunia yang dikenal oleh kita, dunia “fenomenal”, yaitu dunia objek-objek indriawi yang “dikonstruksikan” oleh objek yang mengerti melalui peralatan kognitifnya: persepsi indriawi (dengan bentuk-bentuk apriori ruang dan waktu) dan rasio (Verstand, dengan 12 kategorinya). Dunia kedua, yaitu dunia di belakang fenomena-fenomena itu, yakni Das Ding an Sich (realitas pada dirinya sendiri), bidang noumenal (dari nous, logika budi dalam bahasa Yunani) yang hanya kita ketahui bahwa ia ada, tetapi tidak kita ketahui bagaimana ciri-cirinya. Jadi, yang sanggup kita ketahui hanyalah bidang fenomenal, sedangkan bidang noumenal tertutup bagi kita.

Kerangka pengertian Kant diambil alih oleh Schopenhauer, tetapi dengan dua perbedaan besar. Bagi Schopenhauer, bidang noumenal itu bukan Ding an Sich, melainkan kehendak. Kehendak yakni realitas transendental, artinya realitas noumenal, di belakang realitas fenomenal atau empiris yang kita rasakan. Jadi, berdasarkan Schopenhauer realitas pada hakikatnya berupa kehendak. Di belakang dunia pengalaman kita, dunia empiris, terdapat kehendak transendental itu. Yang kita tangkap dalam bidang fenomenal, jadi segala apa yang menjadi pengalaman kita baik di luar maupun di dalam diri kita, merupakan “gejalanya” atau, dalam bahasa Schopenhauer, idea (Vorstellung) kehendak transendental itu. Dunia yakni kehendak dan bayangan (atau imajinasi); kehendak yakni realitas noumenal sebagai dasar, bayangan-bayangan yakni penjabarannya di alam fenomenal.

Perbedaan kedua antara Kant* dan Schopenhauer ialah bahwa berdasarkan Kant kita tidak sanggup mengetahui Das Ding an Sich, sedangkan Schopenhauer merasa sanggup mengetahuinya. Hati kitalah yang membuka diam-diam itu. Dalam hati kita temukan keinginan, hasrat, kerinduan, harapan, cinta, kebencian, perasaan wegah, pelarian, kesediaan, penderitaan, pengertian, pemikiran, imajinasi: itulah hidup kita dan hidup kita yakni pengalaman dan pengalaman menyatakan diri sebagai kehendak. Tubuh kita sama saja: kaki yakni objektivasi kehendak untuk berjalan, lambung untuk mencernakan, pendek kata, badan kita yakni objektivikasi kehendak. Yang kita rasakan pada diri kita itu kemudian dialihkan pada seluruh alam semesta: segala tanda-tanda alam semesta pun bukan lain ungkapan atau fenomenisasi sebuah kehendak. Kehendak yang mendasari segala kekuatan dan bencana yang kita alami dalam alam semesta. Di belakang realitas fenomenal, realitas pengalaman empiris kita, terletak sebuah realitas noumenal yang mendasarinya, yang bersifat kehendak.

Di sini bukan tempatnya mempertanyakan keabsahan fatwa Schopenhauer itu (yang memang diragukan oleh banyak pengkritik). Absah atau tidak, untuk mengerti budpekerti Schopenhauer, kita harus mencoba mengerti apa yang kiranya dimaksud olehnya dengan kerangka metafisik itu. Apakah maksud Schopenhauer dengan menyatakan bahwa realitas dunia bahwasanya bersifat kehendak? Rasanya anggapan Schopenhauer itu aneh. Kita terdorong untuk bertanya. Siapa yang menghendaki itu? Apakah ada kehendak tanpa yang menghendaki? Apakah Schopenhauer barangkali memikirkan Allah?

Tentu tidak. Schopenhauer mengaku ateis. Menurut Schopenhauer, tidak ada yang mempunyai kehendak itu. Kehendak itu yakni realitas pada dirinya sendiri. Barangkali kita sanggup memahami maksud Schopenhauer bila kita membandingkan kehendak transendental itu dengan pengertian terkenal wacana daya hidup (setengah era lebih kemudian pikiran Schopenhauer memang akan mempunyai imbas pada fatwa vitalistik). Di alam di mana-mana kita menyaksikan adanya hidup. Ada hewan dan ada pohon, dan bila kita memperhatikan dengan teliti sejengkal tanah berumput, kita akan melihat segala macam hewan kecil yang berkeliaran. Apalagi bila lewat mikroskop kita mengawasi bakteri-bakteri. Semua organisme itu hidup, artinya bergerak, bertumbuh, berkembang, mati, dan lahir. Hidup itu sebuah kekuatan yang ada di dalam organisme-organisme itu, bukan seorang pribadi yang bertindak (seperti pemilik toko arloji menyetel semua arloji yang kemudian berjalan sendiri), juga bukan semacam zat tertentu yang ditemukan di dalam mereka semua (seperti di tangki kendaraan beroda empat mesti terdapat materi bakar), tetapi juga bukan sekedar kemampuan individual masing-masing organisme itu. Hidup itu kekuatan tanpa bentuk yang di mana-mana menjadikan pertumbuhan, perkembangan, menghasilkan kekayaan organisme kecil besar. Katakan saja, begitu kita tumpahkan air di atas bidang tanah yang kering, daya hidup itu akan kelihatan, akan ada rumput yang tumbuh, akan ada serangga yang berkembang biak, akan ada kodok, dan seterusnya.

Begitu kiranya hal kehendak transendental Schopenhauer. Schopenhauer melihat “kerjanya” dalam semua kekuatan, gerakan, proses yang sanggup disaksikan di alam raya dan manusia: dalam pertumbuhan tetumbuhan, dalam penataan susunan hablur, dalam pengarahan magnet ke utara, dalam gerak saling mencari dan saling menjauhi, dalam daya tarik bumi dan matahari.

Dunia dengan segala isinya yakni manifestasi sebuah energi yang buta; ia seolah-olah dimotori oleh kekuatan yang anonim itu. Bagi mata logika budi yang tajam, di belakang keanekaragaman tanda-tanda di dunia kelihatan kekuatan kehendak menyeluruh yang buta itu. Kehendak itu tidak sanggup diamati secara langsung. Ia yakni alam noumenal. Ia menyatakan diri dalam keanekaan fenomen alam empiris.

Schopenhauer bicara wacana Principium Individuationis, prinsip pengindiviuasian yang menyebarpecahkan kehendak transendental itu dalam ruang dan waktu di mana segala apa yang terjadi hanya sanggup kita pahami melalui prinsip alasannya yakni yang mencukupi, berdasarkan prinsip kausal. Namun, kehendak itu sendiri berada di luar segala waktu dan ruang, di luar segala kausalitas. Dunia berruang dan berwaktu yang gejala-gejalanya berkaitan melalui prinsip kausalitas itu yakni klasifikasi kehendak noumenal atau transendental itu.

Hal itu sepenuhnya berlaku bagi manusia. Manusia memang mempunyai logika budi. Itu yang mengangkatnya dari alam lain. Namun—kita ingat Hume—akal budi tidak sanggup menggerakkan apa-apa. Menurut Schopenhauer, perasaan bahwa kita dengan bebas memilih diri kita sendiri merupakan ilusi. Kita tidak mempunyai kehendak bebas. Betul, kita menghendaki sendiri, seolah-olah dengan bebas, tetapi bahwa kita menghendaki yakni ungkapan kehendak noumenal dalam “terjemahan” fenomenal, dan itu berarti kehendak kita terdeterminasi. Schopenhauer membandingkan logika budi kita dengan orang yang sanggup melihat tetapi tidak sanggup berjalan dan dipanggul oleh orang yang besar lengan berkuasa tetapi buta, yaitu kehendak.

Jadi, berdasarkan Schopenhauer seluruh dunia, secara noumenal, yakni satu dan sama, yaitu kehendak, termasuk kita manusia. Di tingkat fenomenal atau empiris kita memang mempunyai eksistensi sendiri; kita hidup masing-masing secara terpisah dalam ruang dan waktu; kita mempunyai individualitas. Namun, kita hanyalah objektifikasi kehendak transendental. Secara noumenal kita tidak mempunyai individualitas dan kesendirian. Karena itu, dalam maut kita juga betul-betul habis, kita tetes yang larut kembali ke dalam lautan.

Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta


Download

Baca Juga

Baca Juga

1. Arthur Schopenhauer
2. Schopenhauer
3. Arthur Schopenhauer. Etika

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel