Immanuel Kant. Apa Itu Moralitas?
Apa inti moralitas? Moralitas menyangkut hal yang baik dan buruk, tetapi bukan sembarang baik dan buruk, melainkan, dalam bahasa Kant, apa yang baik pada dirinya sendiri, yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan etika yaitu yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan. Jadi, yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja, baik secara mutlak. Itulah pengandaian pertama Kant.
Kant mengandaikan paham kebaikan etika itu. Ia membuka penyelidikannya dengan sebuah pernyataan wacana apa yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanyalah satu, Kehendak Baik. Sejauh seseorang berkehendak baik, ia baik, tanpa pembatasan. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya.
Lain halnya semua hal yang baik. Bakat rohani, ciri perangai, sifat-sifat tabiat seseorang, dan semua hal-hal lahiriah bukan baik pada dirinya sendiri, melainkan hanya baik apabila diabadikan kepada kehendak baik; kehendak yang memilih apakah tabiat orang digunakan dengan baik atau buruk. Syarat kebaikan banyak sekali sifat insan yaitu kehendaknya yang baik. Karena itu, tak ada yang baik pada dirinya sendiri selain kehendak baik.
Bagaimana kehendak baik menyatakan diri? Kehendak baik yaitu kehendak yang mau melaksanakan Kewajiban. Suatu pengada yang murni rohani (tidak berbadan), yang semata-mata ditentukan oleh logika budi, tidak memerlukan paham kewajiban. Ia dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan logika budi. Namun, insan bukan roh murni. Ia juga makhluk alami. Ia juga mencicipi dorongan dan tarikan nafsu, emosi, kecenderungan dan dorongan-dorongan batin, kebutuhan fisik dan psikis. Jadi, tindakan rasional—tindakan berdasarkan tuntutan logika budi—ada saingannya, yaitu tindakan yang mengikuti keadaan dengan segala macam kondisi indriawi-alami. Manusia tidak hanya tertarik untuk berbuat yang baik, melainkan juga untuk berbuat yang jahat.
Itulah sebabnya logika kebijaksanaan mudah menyatakan diri dalam bentuk Kewajiban. Orang berkehendak baik apabila ia mengehendaki melaksanakan kewajibannya, berhadapan dengan segala macam tarikan dan dorongan indriawi dan alami.
Ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya. Pertama, ia sanggup memenuhinya lantaran hal itu Menguntungkan. Misalnya, ia menerima nama baik pada langganannya. Kedua, ia memenuhi lantaran ia merasa Langsung Terdorong dalam hatinya. Misalnya, ia membantu orang yang menderita lantaran tergerak oleh perasaan belas kasih. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya Demi Kewajibannya itu, jadi lantaran ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Menurut Kant, hanya kehendak yang terakhir inilah kehendak yang betul-betul moral. Yang pertama yaitu duduk perkara kebijaksanaan; yang kedua yaitu duduk perkara konstitusi emosional. Pemenuhan kewajiban yang terdorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional disebut Legalitas. Secara lahiriah ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tetapi secara batin segi kewajiban tidak memainkan peranan. Melakukan kewajiban lantaran mau memenuhi kewajiban itulah kehendak yang baik tanpa pembatasan. Itulah yang oleh Kant disebut Moralitas.
Untuk mengukur moralitas seseorang, kita dihentikan melihat pada hasil perbuatan. Bahwa hasil perbuatan yaitu baik tidak pertanda adanya kehendak yang baik. Karena itu, Kant menolak segala Etika Sukses. Yang menciptakan perbuatan insan menjadi baik dalam arti etika bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau yang mau dicapai oleh si pelaku, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajibannya.
Namun, itu tidak berarti bahwa Kant masuk ke dalam jurang Gesinnungsethik, suatu adat yang hanya memperhatikan perilaku batin dan tidak peduli terhadap tindakan lahiriah. Soalnya, perilaku batin—misalnya kehendak untuk memenuhi kesepakatan akan menunjukkan sumbangan kepada seseorang—adalah bukan perilaku batin dalam arti sebetulnya apabila tidak menjelma tindakan pemenuhan kesepakatan itu, apabila ia, sejauh hal itu berada dalam jangkauan kemampuannya, tidak menunjukkan sumbangan itu. Kant menegaskan bahwa kehendak itu bukan sekedar keinginan, melainkan meliputi Pengerahan Semua Sarana yang perlu biar kehendak itu terlaksana. Jadi, adat Kant bukan adat “asal maksudnya baik”; maksud itu mustahil baik jikalau tidak mau diterjemahkan ke dalam tindakan nyata-lahiriah sekuat tenaga.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Immanuel Kant
2. Immanuel Kant (1724-1804 M)
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Imperatif Kategoris
5. Immanuel Kant. Otonomi Kehendak
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat
Kant mengandaikan paham kebaikan etika itu. Ia membuka penyelidikannya dengan sebuah pernyataan wacana apa yang baik tanpa pembatasan sama sekali. Yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanyalah satu, Kehendak Baik. Sejauh seseorang berkehendak baik, ia baik, tanpa pembatasan. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya.
Lain halnya semua hal yang baik. Bakat rohani, ciri perangai, sifat-sifat tabiat seseorang, dan semua hal-hal lahiriah bukan baik pada dirinya sendiri, melainkan hanya baik apabila diabadikan kepada kehendak baik; kehendak yang memilih apakah tabiat orang digunakan dengan baik atau buruk. Syarat kebaikan banyak sekali sifat insan yaitu kehendaknya yang baik. Karena itu, tak ada yang baik pada dirinya sendiri selain kehendak baik.
Bagaimana kehendak baik menyatakan diri? Kehendak baik yaitu kehendak yang mau melaksanakan Kewajiban. Suatu pengada yang murni rohani (tidak berbadan), yang semata-mata ditentukan oleh logika budi, tidak memerlukan paham kewajiban. Ia dengan sendirinya akan bertindak sesuai dengan logika budi. Namun, insan bukan roh murni. Ia juga makhluk alami. Ia juga mencicipi dorongan dan tarikan nafsu, emosi, kecenderungan dan dorongan-dorongan batin, kebutuhan fisik dan psikis. Jadi, tindakan rasional—tindakan berdasarkan tuntutan logika budi—ada saingannya, yaitu tindakan yang mengikuti keadaan dengan segala macam kondisi indriawi-alami. Manusia tidak hanya tertarik untuk berbuat yang baik, melainkan juga untuk berbuat yang jahat.
Itulah sebabnya logika kebijaksanaan mudah menyatakan diri dalam bentuk Kewajiban. Orang berkehendak baik apabila ia mengehendaki melaksanakan kewajibannya, berhadapan dengan segala macam tarikan dan dorongan indriawi dan alami.
Ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya. Pertama, ia sanggup memenuhinya lantaran hal itu Menguntungkan. Misalnya, ia menerima nama baik pada langganannya. Kedua, ia memenuhi lantaran ia merasa Langsung Terdorong dalam hatinya. Misalnya, ia membantu orang yang menderita lantaran tergerak oleh perasaan belas kasih. Ketiga, ia memenuhi kewajibannya Demi Kewajibannya itu, jadi lantaran ia mau memenuhi apa yang menjadi kewajibannya.
Menurut Kant, hanya kehendak yang terakhir inilah kehendak yang betul-betul moral. Yang pertama yaitu duduk perkara kebijaksanaan; yang kedua yaitu duduk perkara konstitusi emosional. Pemenuhan kewajiban yang terdorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional disebut Legalitas. Secara lahiriah ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tetapi secara batin segi kewajiban tidak memainkan peranan. Melakukan kewajiban lantaran mau memenuhi kewajiban itulah kehendak yang baik tanpa pembatasan. Itulah yang oleh Kant disebut Moralitas.
Untuk mengukur moralitas seseorang, kita dihentikan melihat pada hasil perbuatan. Bahwa hasil perbuatan yaitu baik tidak pertanda adanya kehendak yang baik. Karena itu, Kant menolak segala Etika Sukses. Yang menciptakan perbuatan insan menjadi baik dalam arti etika bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau yang mau dicapai oleh si pelaku, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajibannya.
Namun, itu tidak berarti bahwa Kant masuk ke dalam jurang Gesinnungsethik, suatu adat yang hanya memperhatikan perilaku batin dan tidak peduli terhadap tindakan lahiriah. Soalnya, perilaku batin—misalnya kehendak untuk memenuhi kesepakatan akan menunjukkan sumbangan kepada seseorang—adalah bukan perilaku batin dalam arti sebetulnya apabila tidak menjelma tindakan pemenuhan kesepakatan itu, apabila ia, sejauh hal itu berada dalam jangkauan kemampuannya, tidak menunjukkan sumbangan itu. Kant menegaskan bahwa kehendak itu bukan sekedar keinginan, melainkan meliputi Pengerahan Semua Sarana yang perlu biar kehendak itu terlaksana. Jadi, adat Kant bukan adat “asal maksudnya baik”; maksud itu mustahil baik jikalau tidak mau diterjemahkan ke dalam tindakan nyata-lahiriah sekuat tenaga.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. Immanuel Kant
Baca Juga
3. Immanuel Kant. Pengandaian-pengandaian filosofis
4. Immanuel Kant. Imperatif Kategoris
5. Immanuel Kant. Otonomi Kehendak
6. Immanuel Kant. Fakta Akal Budi
7. Immanuel Kant. Postulat-Postulat