John Stuart Mill. Pro Dan Kontra Utilitarisme
Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa Utilitarianism Mill mengakibatkan debat yang hebat, terutama di Inggris (sedangkan di benua Eropa utilitarisme di masa kemudian hampir lolos dari perhatian). Suatu karya penting ialah The Methods of Ethics (London 1874), karya utama Henry Sidgwick (1838-1900). Sidwick menyangkal bahwa nikmat merupakan satu-satunya tujuan kecenderungan manusia. Ia menegaskan bahwa kewajiban moral bukan hanya mengenai kesejahteraan semua yang bersangkutan, melainkan juga mengenai pembagian yang adil.
Dalam masa ini diskusi perihal utilitarisme semakin tenggelam. Sebagaimana dijelaskan Hoffe, belahan pertama masa ke-20 tidak menguntungkan bagi utilitarism. Di satu pihak, utilitarism dianggap tidak sanggup menampung beberapa keyakinan moral yang umum diakui. Misalnya, mengapa orang berkewajiban menetapi perjanjian, membayar kembali utang, menyampaikan kebenaran, tetapkan orang tak bersalah bebas dalam pengadilan meskipun perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban itu lebih bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Di lain pihak, Positivisme Logis* yang sangat besar lengan berkuasa di Inggris menolak segala etika normatif, termasuk utilitarisme, dan etika semakin membahas masalah-masalah meta-etis. Adapun di benua Eropa utilitarisme sering malah tidak dipahami betul dan dianggap mengajar bahwa kewajiban moral sama dengan melaksanakan yang bermanfaat; tentu saja pedoman semacam ini tidak dianggap memadai bagi sebuah etika serius.
Namun, semenjak pertengahan masa ini utilitarisme kembali mulai didiskusikan. Di Eropa kontinental mulai disadari bahwa utilitarisme tidak sesederhana sebagaimana sangkanya dulu. Dalam diskusi gres itu, kritik yang dulu dikemukakan pada hakikatnya dianggap sah. Sebagai jawaban, dicoba untuk memperbaiki teori utilitarisme sedemikian rupa sehingga tidak lagi terkena oleh sangkalan-sangkalan itu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Sharon Guber, bila dilihat sepintas, utilitarisme memang sangat meyakinkan. Terutama setelah Mill membantah prasangka bahwa utilitarisme sekedar mengusahakan apa yang bagi si pelaku sendiri berguna. Utilitarisme menuntut supaya kesejahteraan umum dijadikan pertimbangan utama.
Utilitarisme ialah contoh khas tipe Etika Teleologis. Etika teleologis memilih baik buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akhir yang menjadi tujuannya. Mau mengusahakan yang baik ialah baik dalam arti moral, mau mengusahakan yang tidak baik ialah buruk. Lawan etika teleologis ialah Etika Deontologis, yang mengukur baik-buruknya tindakan bukan dari tujuannya, melainkan dari sifat tindakan itu sendiri. Etika deontologis terutama menghadapi dua kesulitan. Pertama, bagaimana jikalau dua prinsip moral saling bertentangan, misalnya, kewajiban untuk menyelamatkan seseorang berhadapan dengan kewajiban untuk menjawab dengan benar pertanyaan orang yang mau membunuh orang itu. Kedua, berdasarkan perasaan moral, prinsip-prinsip moral kadang kala ada kekecualiannya.
Utilitarisme sanggup mengatasi kedua kesulitan itu sebab mempertanyakan perbuatan yang mana yang lebih menguntungkan dilihat dari kepentingan semua yang bersangkutan, dan perbuatan itulah yang kemudian dipilih. Namun, di lain pihak, utilitarisme memuat beberapa implikasi yang bertentangan dengan perasaan moral yang biasa.
Pertama, utilitarisme hanya mengenal kewajiban. Orang selalu wajib mengusahakan apa yang paling menguntungkan. Namun, dalam etika juga penting mengetahui apa yang boleh dilakukan. Boleh artinya tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang. Tentang yang “boleh”, utilitarisme diam, seperti semua tindakan menyangkut kewajiban. Begitu pula, utilitarisme tidak mengenal paham “tindakan terpuji”. Artinya, suatu tindakan yang melebihi apa yang wajib, contohnya seorang dokter yang sebab idealismenya bersedia bekerja selama lima tahun di hutan Irian Jaya. Ia terang tidak wajib berbuat demikian. Namun, perbuatannya secara moral sangat terpuji. Utilitarisme membisu perihal hal itu.
Kedua, sebagaimana dijelaskan secara meyakinkan oleh Robert Spaemann, ialah berlebihan jikalau utilitarisme menuntut supaya dalam semua tindakan kita harus memperhatikan dampaknya atas semua orang yang terkena. Menurut Spaemann, kita hanya bertanggung jawab terhadap mereka yang pribadi terkena oleh pengaruh perbuatan kita, jadi yang masih masuk ke dalam cakrawala perhatian kita. Utilitarisme menuntut terlalu banyak.
Ketiga, utilitarisme semata-mata memperhatikan saldo akhir baik dan jelek tindakan kita. Artinya, perbuatan yang kelebihan akhir baik atas akhir buruknya paling banyak itulah yang harus dilakukan. Hal itu memiliki implikasi yang sungguh sulit diterima, yaitu jikalau saldo keenakan dua perbuatan sama, dua perbuatan harus dinilai sama sahnya, pun apabila yang satu mengandaikan bahwa kita membohongi atau menipu seseorang. Menurut perasaan moral biasa, hasil baik perbuatan itu menjadi cacat jikalau “dibeli” dengan cara yang jahat. Utilitarisme buta terhadap hal itu sebab tidak sanggup melihat sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri.
Salah satu segi yang secara khusus memberi nama jelek kepada utilitarisme ialah kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang berdasarkan pendapat umum egois dan bahkan amoral. Misalnya, sebab tingginya biaya pendidikan anak saya, saya kekurangan uang. Nah, apakah untuk menjamin pembiayaan bawah umur saya, saya boleh mencuri listrik? Utilitarisme menuntut supaya saya memperbandingkan untung rugi dua alternatif. Kalau saya mencuri listrik, saya merugikan PLN, tetapi sanggup menyekolahkan anak saya. Kalau saya tidak mau mencuri, PLN tidak rugi, tetapi anak saya tidak sanggup sekolah. Nah, jelaslah bahwa jikalau saya—satu dari puluhan juta langganan PLN—mencuri listrik, hal itu hampir tidak berarti apa-apa bagi PLN. Sebaliknya, jikalau anak saya tidak sanggup saya sekolahkan, ruginya besar bagi saya. Karena itu, berdasarkan prinsip utilitarisme pencurian listrik sanggup dibenarkan, bahkan wajib. Tentu kita akan bertanya: bagaimana jikalau setiap orang berbuat demikian? Namun, utilitarisme hanya memperhatikan tindakan masing-masing, jadi pertanyaan itu tidak dipedulikan.
Nah, untuk menutup kemungkinan yang secara moral rasanya tidak sanggup diterima, J.O.Urmson menuntut supaya utilitarisme bukan memandang masing-masing tindakan, melainkan peraturan yang harus diikuti. Jadi, kita harus bertindak berdasarkan peraturan yang jikalau ditaati menghasilkan laba yang paling besar. Utilitarisme itu disebut utilitarisme peraturan, sedangkan utilitarisme yang, menyerupai dalam contoh tadi, hanya memperhatikan untung rugi masing-masing tindakan disebut utilitarisme tindakan.
Kalau kita menilai kasus pencurian listrik berdasarkan utilitarisme peraturan, hasilnya akan lain. Sekarang kita bukan lagi mengecek masing-masing tindakan, melainkan memperhitungkan untung rugi peraturan “dalam kesulitan finansial, orang boleh saja mencuri (listrik)” (itulah peraturan yang membenarkan pencurian listrik tadi). Jelaslah jikalau semua orang bertindak berdasarkan peraturan itu, ruginya jauh lebih besar daripada rugi peraturan “jangan mencuri (listrik)”. Kalau semua berbuat demikian, kesudahannya listrik tidak sanggup disediakan lagi. Karena itu, berdasarkan utilitarisme peraturan, peraturan itu tidak boleh dipakai. Yang berlaku ialah “jangan mencuri”, maka utilitarisme peraturan berhasil menutupi lobang moral utilitarisme tindakan tadi. Dengan demikian, utilitarisme peraturan kelihatan lebih erat dengan posisi Kant*: universalitas teladan keputusan moral dijunjung tinggi. Urmson beropini bahwa John Stuart Mill lebih erat dengan utilitarisme peraturan.
Namun, utilitarisme peraturan pun tidak memecahkan semua masalah. Masalah yang terbesar ialah bahwa ia tidak memuat prinsip perihal Pembagian Manfaat yang mau dicapai. Tindakan yang perlu diambil ialah yang mengikuti peraturan yang menghasilkan laba sebesar-besarnya. Namun, bagaimana jikalau demi laba yang sebesar-besarnya masyarakat, hak sekelompok orang harus dilanggar? Misalnya, kampung digusur demi kepentingan bisnis besar, hutan watak suku orisinil diserobot, atau sebuah minoritas diperlakukan secara diskriminatif. Kelihatan bahwa utilitarisme, juga utilitarisme peraturan, tidak sanggup menjamin keadilan dan hak-hak asasi. Utilitarisme peraturan pun masih membuka kemungkinan bahwa demi kepentingan yang banyak hak mereka yang sedikit atau “yang tidak berarti” dikorbankan.
Itu tidak berarti bahwa utilitarisme (peraturan) perlu ditolak, melainkan hanya bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai satu-satunya prinsip dasar etika. Utilitarisme merupakan salah satu prinsip etika, tetapi suatu etika yang hanya berdasarkan prinsip utilitarisme tidak memadai dengan keyakinan-keyakinan moral umum. Di samping prinsip utilitarisme, etika sekurang-kurangnya juga harus mengakui sebuah prinsip keadilan. Jadi, etika yang semata-mata utilitaristik tampak tidak memadai.
Kesimpulan yang sama—bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai prinsip dasar etika—juga sanggup ditarik dari sebuah pertimbangan yang lebih fundamental: sama dengan semua etika teleologis utilitarisme tidak sanggup mendasarkan dirinya sendiri. Atas pertanyaan “mengapa insan harus selalu mengusahakan laba yang sebesar-besarnya?” utilitarisme tidak menjawab. Satu-satunya balasan yang berdasarkan utilitarisme sah ialah “karena hal itu menghasilkan laba yang sebesar-besarnya”. Padahal kita justru mempertanyakan mengapa laba yang sebesar-besarnya harus diusahakan. Untuk membenarkan prinsip utilitarisme itu, kita harus mendasarkan diri pada prinsip yang tidak utilitaristik lagi, contohnya atas imperatif kategoris Kant* atau atas prinsip-prinsip lebih dasariah lagi, contohnya bahwa “hendaknya insan selalu bersikap baik”. Namun, prinsip-prinsip itu tidak teleologis lagi, melainkan deontologis. Suatu etika yang hanya memuat prinsip-prinsip teleologis tidak bisa mendasarkan dirinya sendiri.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
1. John Stuart Mill
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. Utilitarisme John Stuart Mill
4. John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis
Dalam masa ini diskusi perihal utilitarisme semakin tenggelam. Sebagaimana dijelaskan Hoffe, belahan pertama masa ke-20 tidak menguntungkan bagi utilitarism. Di satu pihak, utilitarism dianggap tidak sanggup menampung beberapa keyakinan moral yang umum diakui. Misalnya, mengapa orang berkewajiban menetapi perjanjian, membayar kembali utang, menyampaikan kebenaran, tetapkan orang tak bersalah bebas dalam pengadilan meskipun perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban itu lebih bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Di lain pihak, Positivisme Logis* yang sangat besar lengan berkuasa di Inggris menolak segala etika normatif, termasuk utilitarisme, dan etika semakin membahas masalah-masalah meta-etis. Adapun di benua Eropa utilitarisme sering malah tidak dipahami betul dan dianggap mengajar bahwa kewajiban moral sama dengan melaksanakan yang bermanfaat; tentu saja pedoman semacam ini tidak dianggap memadai bagi sebuah etika serius.
Namun, semenjak pertengahan masa ini utilitarisme kembali mulai didiskusikan. Di Eropa kontinental mulai disadari bahwa utilitarisme tidak sesederhana sebagaimana sangkanya dulu. Dalam diskusi gres itu, kritik yang dulu dikemukakan pada hakikatnya dianggap sah. Sebagai jawaban, dicoba untuk memperbaiki teori utilitarisme sedemikian rupa sehingga tidak lagi terkena oleh sangkalan-sangkalan itu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Sharon Guber, bila dilihat sepintas, utilitarisme memang sangat meyakinkan. Terutama setelah Mill membantah prasangka bahwa utilitarisme sekedar mengusahakan apa yang bagi si pelaku sendiri berguna. Utilitarisme menuntut supaya kesejahteraan umum dijadikan pertimbangan utama.
Utilitarisme ialah contoh khas tipe Etika Teleologis. Etika teleologis memilih baik buruknya suatu tindakan dari baik-buruknya akhir yang menjadi tujuannya. Mau mengusahakan yang baik ialah baik dalam arti moral, mau mengusahakan yang tidak baik ialah buruk. Lawan etika teleologis ialah Etika Deontologis, yang mengukur baik-buruknya tindakan bukan dari tujuannya, melainkan dari sifat tindakan itu sendiri. Etika deontologis terutama menghadapi dua kesulitan. Pertama, bagaimana jikalau dua prinsip moral saling bertentangan, misalnya, kewajiban untuk menyelamatkan seseorang berhadapan dengan kewajiban untuk menjawab dengan benar pertanyaan orang yang mau membunuh orang itu. Kedua, berdasarkan perasaan moral, prinsip-prinsip moral kadang kala ada kekecualiannya.
Utilitarisme sanggup mengatasi kedua kesulitan itu sebab mempertanyakan perbuatan yang mana yang lebih menguntungkan dilihat dari kepentingan semua yang bersangkutan, dan perbuatan itulah yang kemudian dipilih. Namun, di lain pihak, utilitarisme memuat beberapa implikasi yang bertentangan dengan perasaan moral yang biasa.
Pertama, utilitarisme hanya mengenal kewajiban. Orang selalu wajib mengusahakan apa yang paling menguntungkan. Namun, dalam etika juga penting mengetahui apa yang boleh dilakukan. Boleh artinya tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang. Tentang yang “boleh”, utilitarisme diam, seperti semua tindakan menyangkut kewajiban. Begitu pula, utilitarisme tidak mengenal paham “tindakan terpuji”. Artinya, suatu tindakan yang melebihi apa yang wajib, contohnya seorang dokter yang sebab idealismenya bersedia bekerja selama lima tahun di hutan Irian Jaya. Ia terang tidak wajib berbuat demikian. Namun, perbuatannya secara moral sangat terpuji. Utilitarisme membisu perihal hal itu.
Kedua, sebagaimana dijelaskan secara meyakinkan oleh Robert Spaemann, ialah berlebihan jikalau utilitarisme menuntut supaya dalam semua tindakan kita harus memperhatikan dampaknya atas semua orang yang terkena. Menurut Spaemann, kita hanya bertanggung jawab terhadap mereka yang pribadi terkena oleh pengaruh perbuatan kita, jadi yang masih masuk ke dalam cakrawala perhatian kita. Utilitarisme menuntut terlalu banyak.
Ketiga, utilitarisme semata-mata memperhatikan saldo akhir baik dan jelek tindakan kita. Artinya, perbuatan yang kelebihan akhir baik atas akhir buruknya paling banyak itulah yang harus dilakukan. Hal itu memiliki implikasi yang sungguh sulit diterima, yaitu jikalau saldo keenakan dua perbuatan sama, dua perbuatan harus dinilai sama sahnya, pun apabila yang satu mengandaikan bahwa kita membohongi atau menipu seseorang. Menurut perasaan moral biasa, hasil baik perbuatan itu menjadi cacat jikalau “dibeli” dengan cara yang jahat. Utilitarisme buta terhadap hal itu sebab tidak sanggup melihat sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri.
Salah satu segi yang secara khusus memberi nama jelek kepada utilitarisme ialah kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang berdasarkan pendapat umum egois dan bahkan amoral. Misalnya, sebab tingginya biaya pendidikan anak saya, saya kekurangan uang. Nah, apakah untuk menjamin pembiayaan bawah umur saya, saya boleh mencuri listrik? Utilitarisme menuntut supaya saya memperbandingkan untung rugi dua alternatif. Kalau saya mencuri listrik, saya merugikan PLN, tetapi sanggup menyekolahkan anak saya. Kalau saya tidak mau mencuri, PLN tidak rugi, tetapi anak saya tidak sanggup sekolah. Nah, jelaslah bahwa jikalau saya—satu dari puluhan juta langganan PLN—mencuri listrik, hal itu hampir tidak berarti apa-apa bagi PLN. Sebaliknya, jikalau anak saya tidak sanggup saya sekolahkan, ruginya besar bagi saya. Karena itu, berdasarkan prinsip utilitarisme pencurian listrik sanggup dibenarkan, bahkan wajib. Tentu kita akan bertanya: bagaimana jikalau setiap orang berbuat demikian? Namun, utilitarisme hanya memperhatikan tindakan masing-masing, jadi pertanyaan itu tidak dipedulikan.
Nah, untuk menutup kemungkinan yang secara moral rasanya tidak sanggup diterima, J.O.Urmson menuntut supaya utilitarisme bukan memandang masing-masing tindakan, melainkan peraturan yang harus diikuti. Jadi, kita harus bertindak berdasarkan peraturan yang jikalau ditaati menghasilkan laba yang paling besar. Utilitarisme itu disebut utilitarisme peraturan, sedangkan utilitarisme yang, menyerupai dalam contoh tadi, hanya memperhatikan untung rugi masing-masing tindakan disebut utilitarisme tindakan.
Kalau kita menilai kasus pencurian listrik berdasarkan utilitarisme peraturan, hasilnya akan lain. Sekarang kita bukan lagi mengecek masing-masing tindakan, melainkan memperhitungkan untung rugi peraturan “dalam kesulitan finansial, orang boleh saja mencuri (listrik)” (itulah peraturan yang membenarkan pencurian listrik tadi). Jelaslah jikalau semua orang bertindak berdasarkan peraturan itu, ruginya jauh lebih besar daripada rugi peraturan “jangan mencuri (listrik)”. Kalau semua berbuat demikian, kesudahannya listrik tidak sanggup disediakan lagi. Karena itu, berdasarkan utilitarisme peraturan, peraturan itu tidak boleh dipakai. Yang berlaku ialah “jangan mencuri”, maka utilitarisme peraturan berhasil menutupi lobang moral utilitarisme tindakan tadi. Dengan demikian, utilitarisme peraturan kelihatan lebih erat dengan posisi Kant*: universalitas teladan keputusan moral dijunjung tinggi. Urmson beropini bahwa John Stuart Mill lebih erat dengan utilitarisme peraturan.
Namun, utilitarisme peraturan pun tidak memecahkan semua masalah. Masalah yang terbesar ialah bahwa ia tidak memuat prinsip perihal Pembagian Manfaat yang mau dicapai. Tindakan yang perlu diambil ialah yang mengikuti peraturan yang menghasilkan laba sebesar-besarnya. Namun, bagaimana jikalau demi laba yang sebesar-besarnya masyarakat, hak sekelompok orang harus dilanggar? Misalnya, kampung digusur demi kepentingan bisnis besar, hutan watak suku orisinil diserobot, atau sebuah minoritas diperlakukan secara diskriminatif. Kelihatan bahwa utilitarisme, juga utilitarisme peraturan, tidak sanggup menjamin keadilan dan hak-hak asasi. Utilitarisme peraturan pun masih membuka kemungkinan bahwa demi kepentingan yang banyak hak mereka yang sedikit atau “yang tidak berarti” dikorbankan.
Itu tidak berarti bahwa utilitarisme (peraturan) perlu ditolak, melainkan hanya bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai satu-satunya prinsip dasar etika. Utilitarisme merupakan salah satu prinsip etika, tetapi suatu etika yang hanya berdasarkan prinsip utilitarisme tidak memadai dengan keyakinan-keyakinan moral umum. Di samping prinsip utilitarisme, etika sekurang-kurangnya juga harus mengakui sebuah prinsip keadilan. Jadi, etika yang semata-mata utilitaristik tampak tidak memadai.
Kesimpulan yang sama—bahwa utilitarisme tidak mencukupi sebagai prinsip dasar etika—juga sanggup ditarik dari sebuah pertimbangan yang lebih fundamental: sama dengan semua etika teleologis utilitarisme tidak sanggup mendasarkan dirinya sendiri. Atas pertanyaan “mengapa insan harus selalu mengusahakan laba yang sebesar-besarnya?” utilitarisme tidak menjawab. Satu-satunya balasan yang berdasarkan utilitarisme sah ialah “karena hal itu menghasilkan laba yang sebesar-besarnya”. Padahal kita justru mempertanyakan mengapa laba yang sebesar-besarnya harus diusahakan. Untuk membenarkan prinsip utilitarisme itu, kita harus mendasarkan diri pada prinsip yang tidak utilitaristik lagi, contohnya atas imperatif kategoris Kant* atau atas prinsip-prinsip lebih dasariah lagi, contohnya bahwa “hendaknya insan selalu bersikap baik”. Namun, prinsip-prinsip itu tidak teleologis lagi, melainkan deontologis. Suatu etika yang hanya memuat prinsip-prinsip teleologis tidak bisa mendasarkan dirinya sendiri.
Sumber
Suseno, Franz Magnis. 1996. 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19. Kanisius. Jogjakarta
Download
Baca Juga
Baca Juga
2. John Stuart Mill. Latar Belakang
3. Utilitarisme John Stuart Mill
4. John Stuart Mill. Beberapa Catatan Kritis