Pemikiran Fatima Mernissi Perihal Kesetaraan
Fatima Mernissi mengambil titik pijak dalam gosip kesetaraan gender dengan mengembangkannya dari perdebatan ihwal boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin berdasarkan Islam, gosip ini menurutnya yaitu setua Islam itu sendiri. Perdebatan ihwal hak perempuan untuk memegang jabatan- jabatan publik yang memunculkan pro-kontra pendapat dalam dunia Muslim tersebut, mencapai puncaknya terutama ketika Benazir Bhutto terjun ke panggung politik dan terpilih menjadi perdana menteri Pakistan pada tahun 1988.
Kejadian teramat penting ini menggugah sedemikian banyak nafsu, kemarahan, serta ketidakpuasan di kalangan para penguasa dan pemuka keagamaan terhadap fenomena tersebut. Menurut pembacaan kritis Mernissi atas preseden tersebut, apa yang dipertaruhakan masyarakat Muslim pada ketika itu bukanlah terletak pada jenis kelamin para pelaku politiknya, melainkan lebih pada hakekat kekuasaan itu sendiri yang patriarchal (Amal Rasaam, dalam John L. Espsito (ed)., 1995: 206).
Berkaitan dengan kejadian tersebut, adanya kecenderungan-kecenderungan ideologis dalam pembacaan teks keagamaan dan memanipulasinya untuk kepentingan politik sebagaimana dikecam Abu Zayd, memang benar-benar terjadi. Para penentang kepemimpinan perempuan segera mengeluarkan jurus mematikan dengan mengeluarkan hadis yang sangat popular yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berbunyi: “Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita, maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran” (Mernissi, 1991: 203). Hal penting yang patut dicatat dari perdebatan tersebut yaitu adanya seorang ulama yang kompetensinya dalam bidang keagamaan tidak diragukan, Syeikh Gazzali dalam bukunya al- Sunnah al-Nabawiyyah, telah memporak-porandakan konservatisme dalam dunia Islam dengan menyetujui kepemimpinan perempuan (Mernissi, 1991). Pemikiran Gazzali tersebut sangat menginspirasi Mernissi dalam mengkonstruksi pemikiran feminismenya kemudian.
Dalam menanggapi gosip tersebut secara rasional, langkah awal yang dilakukan Mernissi yaitu melihat bagaimana gosip tersebut bila dilihat dalam sudut pandang al-Qur’an. Kemudian mencari hadis manakah yang telah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin negara dan melaksanakan kritik terhadapnya baik kritik sanad maupun matan, dengan melihat siapa yang mentransmisikan hadis tersebut dan menyelediki konteks historis ketika Nabi memberikan hadis tersebut, juga konteks histories ketika hadis tersebut dikemukakan transmitternya (Mernissi, 1991: 205).
Setelah melaksanakan semua langkah tersebut, Mernissi menyimpulkan bahwa hadis tersebut kontradiktif terhadap prinsip-prinsip kesejajaran dan keadilan yang fundamental yang merupakan landasan Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Mernissi memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan pandangan Gazzali yang mendasarkan argumentasinya pada Q.S. al-Naml (27):23 “Kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka dan beliau dikaruniai segala sesuatu; dan ia mempunyai singgasana yang besar”. Menurut Gazzali, al-Qur’an yaitu kitab suci yang didasarkan pada wahyu, lantaran itu lebih tinggi tingkatannya daripada hadis, yakni pelaporan para sobat Nabi yang dianggap mengetahui perbuatan dan mendengar kata-kata Nabi. Di dalam al-Qur’an, ratu Saba digambarkan sebagai seorang perempuan yang memakai kekuasaan dengan sebaik-baiknya untuk membimbing rakyatnya supaya patuh kepada Nabi Sulaiman. Oleh lantaran itu, ia menjadi model peranan yang amat positif dari seorang perempuan yang menjadi kepala negara (Hasan dan Mernissi, 2000: 209).
Belum lagi bila melihat konteks historis serta transmitter hadis tersebut. Mernissi mengemukakan bahwa Abu Bakrah (periwayat hadis tersebut) menyampaikan bahwa ia mendengar hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi saw, ketika mengetahui orang-orang Persia mengangkat seorang perempuan untuk menjadi pemimpin mereka. Hadis tersebut dikemukakan kembali oleh Abu Bakrah, pada ketika Aisyah mengalami kekalahan pada ketika perang Jamal. Pertanyaan yang muncul dalam benak Mernissi yaitu mengapa demikian dan siapakah Abu Bakrah itu?
Dari hasil penyelidikannya Mernissi melaksanakan kritik terhadap Abu Bakrah dalam kaitan periwayatan hadis tersebut sebagai berikut: 1) Abu Bakrah sulit dilacak silsilahnya lantaran ia semula yaitu seorang budak yang dimerdekakan ketika bergabung dengan kaum Muslimin. Padahal dalam tradisi kesukuan dan aristokrasi Arab, apabila seseorang tidak mempunyai silsislah yang jelas, maka secara sosial tidak diakui statusnya, bahkan berdasarkan Mernissi, Imama Ahmad yang melaksanakan penelitian biografi para sobat mengakui telah melewatkan begitu saja Abu Bakrah dan tidak menyelidikinya secara lebih mendetail (Hasan dan Mernissi, 2000: 66). 2) Abu Bakrah pernah dikenai eksekusi qazaf, lantaran tidak sanggup menandakan tuduhan zinanya terhadap al-Mughirah ibn Syu’bah pada masa khalifah Umar bin Khattab (Mernissi, 1997: 54). 3) Melihat kontek historisnya, mengapa Abu Bakrah mengingat hadis tersebut (yang bila benar diucapkan Nabi, berarti telah melewati masa + 25 tahun) sehabis mengetahui Aisyah mengalami kekalahan perang, sedangkan perilaku awal yang diambilnya yaitu netral.
Kritik serupa (atau mungkin lebih tajam), dilakukan Mernissi terhadap redaksi hadis yang bukan saja merendahkan perempuan, namun juga menyamakannya dengan binatang. Hadis tersebut juga termuat dalam Sahih al-Bukhari yang artinya: “Ada tiga hal yang membawa tragedi rumah, perempuan dan kuda”. Periwayat hadis tersebut, Abu Hurairah, juga tidak luput dari kritik Mernissi. Berdasarkan penyelidikannya, Aisyah seorang isteri Nabi yang dianggap sedemikian penting sehingga Nabi mengatakan: “ambillah sebagian agama kalian dari si Humairah kecil, berbeda pendapat dalam beberapa hadis dengan Abu Hurairah (Mernissi, 1997: 181). Menurut Aisyah, Abu Hurairah merupakan pendengar dan periwayat yang buruk. Hal tersebut terlihat dari bantahan Aisyah terhadap hadis yang dikemukakan Abu Hurairah di atas sebagaimana dikemukakan selanjutnya oleh Imam Zamakhsyari sebagai berikut:
“Mereka berkata kepada Aisyah, bahwa Abu Hurairah menyampaikan bahwa RAsulullah saw. Bersabda: “Ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda”. Aisyah menjawab: “Abu Hurairah mempelajari soal ini dengan sangat buruk. Ia tiba memasuki rumah kami ketika Rasulullah di tengah-tengah kalimatnya. Ia hanya sempat mendengar belahan final dari kalimat Rasulullah. Rasulullah bantu-membantu berkata: “semoga Allah menandakan kesalahan kaum Yahudi: mereka mengatakan, ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda” (Mernissi dalam Kurzman (ed)., 2000: 178-9).
Koreksi Aisyah terhadap Abu Hurairah itulah yang dijadikan dasar oleh Mernissi. Lebih jauh lagi, Mernissi beropini bahwa Abu Hurairah mempunyai perasaan yang mendalam terhadap kucing-kucing betina dan perempuan. Sehingga Abu Hurairah terdorong untuk memperlihatkan pernyataan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sesuatu bertalian dengan kedua makhluk tersebut. Dari kasus-kasus tersebut, Mernissi menarik satu garis kesimpulan yang tegas berkaitan dengan penilaiannya terhadap Abu Hurairah. Dengan kata lain, Mernissi mewaspadai validitas dan otentisitas hadis- hadis yang misoginis terutama yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah-Abu Bakrah. Kenyataan lain yang memperlihatkan bahwa hanya dalam masa tiga tahun pergaulannnya dengan Rasulullah, Abu Hurairah bisa meriwayatkan sekitar 5300 hadis, justeru semakin memperbesar keraguan Mernissi (Mernissi dalam Kurzman (ed)., 2000: 182-3).
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Mernissi menarik suatu kesimpulan bahwa meskipun hadis-hadis tersebut dimuat dalam Sahih al-Bukhari, masih sanggup diperdebatkan otentisitasnya. Menurutnya hadis-hadis tersebut telah dijadikan argumentasi untuk menggusur hak kaum perempuan dalam banyak sekali hal, terutama dalam pengambilan keputusan, disebabkan posisinya yang dianggap sangat rendah. Padahal dalam pertentangan antara al-Qur’an dan Hadis, sesuai pendapat Gazzali haruslah memprioritaskan kepada yang tingkat kesakralannya lebih tinggi yakni al-Qur’an. Sementara salah satu prinsip sacral al-Qur’an yaitu musawa (kesetaraan) antar umat insan (Hasan dan Mernissi, 2000: 228-230).
Oleh lantaran itu berdasarkan Mernissi, ide kesetaraan dinyatakan dengan terang dalam banyak sekali istilah dalam al-Qur’an. Dengan demikian, masih berdasarkan Mernissi, bila kita mengklaimnya (kesetaraan) akhir-akhir ini bukan berarti kita mengambil warisan barat atau meminjam ide-ide dari kebudayaan asing, namun pada hakikatnya kita hanya menuntut kembali apa yang benar-benar menjadi milik kita (baca: gosip kesetaraan) (Hasan dan Mernissi, 2000: 231).
Sumber
• https://media.neliti.com. M. Rusydi. Perempuan di Hadapan Tuhan; Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi.
• http://www.madinaonline.id/sosok/perginya-fatima-mernissi-ulama-yang-menginspirasi-perempuan-dunia/
• https://www.kompasiana.com. Agus Farisi. Paradigma Pemikiran Fatima Mernissi ihwal Gende.
• http://islamlib.com/tokoh/fatima-mernissi-dan-pembelaan-terhadap-kaum-perempuan
Download
Lihat Juga
1. Fatima Mernissi. Biografi dan Pemikiran
2. Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-Karyanya
Berkaitan dengan kejadian tersebut, adanya kecenderungan-kecenderungan ideologis dalam pembacaan teks keagamaan dan memanipulasinya untuk kepentingan politik sebagaimana dikecam Abu Zayd, memang benar-benar terjadi. Para penentang kepemimpinan perempuan segera mengeluarkan jurus mematikan dengan mengeluarkan hadis yang sangat popular yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang berbunyi: “Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita, maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran” (Mernissi, 1991: 203). Hal penting yang patut dicatat dari perdebatan tersebut yaitu adanya seorang ulama yang kompetensinya dalam bidang keagamaan tidak diragukan, Syeikh Gazzali dalam bukunya al- Sunnah al-Nabawiyyah, telah memporak-porandakan konservatisme dalam dunia Islam dengan menyetujui kepemimpinan perempuan (Mernissi, 1991). Pemikiran Gazzali tersebut sangat menginspirasi Mernissi dalam mengkonstruksi pemikiran feminismenya kemudian.
Dalam menanggapi gosip tersebut secara rasional, langkah awal yang dilakukan Mernissi yaitu melihat bagaimana gosip tersebut bila dilihat dalam sudut pandang al-Qur’an. Kemudian mencari hadis manakah yang telah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin negara dan melaksanakan kritik terhadapnya baik kritik sanad maupun matan, dengan melihat siapa yang mentransmisikan hadis tersebut dan menyelediki konteks historis ketika Nabi memberikan hadis tersebut, juga konteks histories ketika hadis tersebut dikemukakan transmitternya (Mernissi, 1991: 205).
Setelah melaksanakan semua langkah tersebut, Mernissi menyimpulkan bahwa hadis tersebut kontradiktif terhadap prinsip-prinsip kesejajaran dan keadilan yang fundamental yang merupakan landasan Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Mernissi memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan pandangan Gazzali yang mendasarkan argumentasinya pada Q.S. al-Naml (27):23 “Kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka dan beliau dikaruniai segala sesuatu; dan ia mempunyai singgasana yang besar”. Menurut Gazzali, al-Qur’an yaitu kitab suci yang didasarkan pada wahyu, lantaran itu lebih tinggi tingkatannya daripada hadis, yakni pelaporan para sobat Nabi yang dianggap mengetahui perbuatan dan mendengar kata-kata Nabi. Di dalam al-Qur’an, ratu Saba digambarkan sebagai seorang perempuan yang memakai kekuasaan dengan sebaik-baiknya untuk membimbing rakyatnya supaya patuh kepada Nabi Sulaiman. Oleh lantaran itu, ia menjadi model peranan yang amat positif dari seorang perempuan yang menjadi kepala negara (Hasan dan Mernissi, 2000: 209).
Belum lagi bila melihat konteks historis serta transmitter hadis tersebut. Mernissi mengemukakan bahwa Abu Bakrah (periwayat hadis tersebut) menyampaikan bahwa ia mendengar hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi saw, ketika mengetahui orang-orang Persia mengangkat seorang perempuan untuk menjadi pemimpin mereka. Hadis tersebut dikemukakan kembali oleh Abu Bakrah, pada ketika Aisyah mengalami kekalahan pada ketika perang Jamal. Pertanyaan yang muncul dalam benak Mernissi yaitu mengapa demikian dan siapakah Abu Bakrah itu?
Dari hasil penyelidikannya Mernissi melaksanakan kritik terhadap Abu Bakrah dalam kaitan periwayatan hadis tersebut sebagai berikut: 1) Abu Bakrah sulit dilacak silsilahnya lantaran ia semula yaitu seorang budak yang dimerdekakan ketika bergabung dengan kaum Muslimin. Padahal dalam tradisi kesukuan dan aristokrasi Arab, apabila seseorang tidak mempunyai silsislah yang jelas, maka secara sosial tidak diakui statusnya, bahkan berdasarkan Mernissi, Imama Ahmad yang melaksanakan penelitian biografi para sobat mengakui telah melewatkan begitu saja Abu Bakrah dan tidak menyelidikinya secara lebih mendetail (Hasan dan Mernissi, 2000: 66). 2) Abu Bakrah pernah dikenai eksekusi qazaf, lantaran tidak sanggup menandakan tuduhan zinanya terhadap al-Mughirah ibn Syu’bah pada masa khalifah Umar bin Khattab (Mernissi, 1997: 54). 3) Melihat kontek historisnya, mengapa Abu Bakrah mengingat hadis tersebut (yang bila benar diucapkan Nabi, berarti telah melewati masa + 25 tahun) sehabis mengetahui Aisyah mengalami kekalahan perang, sedangkan perilaku awal yang diambilnya yaitu netral.
Kritik serupa (atau mungkin lebih tajam), dilakukan Mernissi terhadap redaksi hadis yang bukan saja merendahkan perempuan, namun juga menyamakannya dengan binatang. Hadis tersebut juga termuat dalam Sahih al-Bukhari yang artinya: “Ada tiga hal yang membawa tragedi rumah, perempuan dan kuda”. Periwayat hadis tersebut, Abu Hurairah, juga tidak luput dari kritik Mernissi. Berdasarkan penyelidikannya, Aisyah seorang isteri Nabi yang dianggap sedemikian penting sehingga Nabi mengatakan: “ambillah sebagian agama kalian dari si Humairah kecil, berbeda pendapat dalam beberapa hadis dengan Abu Hurairah (Mernissi, 1997: 181). Menurut Aisyah, Abu Hurairah merupakan pendengar dan periwayat yang buruk. Hal tersebut terlihat dari bantahan Aisyah terhadap hadis yang dikemukakan Abu Hurairah di atas sebagaimana dikemukakan selanjutnya oleh Imam Zamakhsyari sebagai berikut:
“Mereka berkata kepada Aisyah, bahwa Abu Hurairah menyampaikan bahwa RAsulullah saw. Bersabda: “Ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda”. Aisyah menjawab: “Abu Hurairah mempelajari soal ini dengan sangat buruk. Ia tiba memasuki rumah kami ketika Rasulullah di tengah-tengah kalimatnya. Ia hanya sempat mendengar belahan final dari kalimat Rasulullah. Rasulullah bantu-membantu berkata: “semoga Allah menandakan kesalahan kaum Yahudi: mereka mengatakan, ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda” (Mernissi dalam Kurzman (ed)., 2000: 178-9).
Koreksi Aisyah terhadap Abu Hurairah itulah yang dijadikan dasar oleh Mernissi. Lebih jauh lagi, Mernissi beropini bahwa Abu Hurairah mempunyai perasaan yang mendalam terhadap kucing-kucing betina dan perempuan. Sehingga Abu Hurairah terdorong untuk memperlihatkan pernyataan bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sesuatu bertalian dengan kedua makhluk tersebut. Dari kasus-kasus tersebut, Mernissi menarik satu garis kesimpulan yang tegas berkaitan dengan penilaiannya terhadap Abu Hurairah. Dengan kata lain, Mernissi mewaspadai validitas dan otentisitas hadis- hadis yang misoginis terutama yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah-Abu Bakrah. Kenyataan lain yang memperlihatkan bahwa hanya dalam masa tiga tahun pergaulannnya dengan Rasulullah, Abu Hurairah bisa meriwayatkan sekitar 5300 hadis, justeru semakin memperbesar keraguan Mernissi (Mernissi dalam Kurzman (ed)., 2000: 182-3).
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Mernissi menarik suatu kesimpulan bahwa meskipun hadis-hadis tersebut dimuat dalam Sahih al-Bukhari, masih sanggup diperdebatkan otentisitasnya. Menurutnya hadis-hadis tersebut telah dijadikan argumentasi untuk menggusur hak kaum perempuan dalam banyak sekali hal, terutama dalam pengambilan keputusan, disebabkan posisinya yang dianggap sangat rendah. Padahal dalam pertentangan antara al-Qur’an dan Hadis, sesuai pendapat Gazzali haruslah memprioritaskan kepada yang tingkat kesakralannya lebih tinggi yakni al-Qur’an. Sementara salah satu prinsip sacral al-Qur’an yaitu musawa (kesetaraan) antar umat insan (Hasan dan Mernissi, 2000: 228-230).
Oleh lantaran itu berdasarkan Mernissi, ide kesetaraan dinyatakan dengan terang dalam banyak sekali istilah dalam al-Qur’an. Dengan demikian, masih berdasarkan Mernissi, bila kita mengklaimnya (kesetaraan) akhir-akhir ini bukan berarti kita mengambil warisan barat atau meminjam ide-ide dari kebudayaan asing, namun pada hakikatnya kita hanya menuntut kembali apa yang benar-benar menjadi milik kita (baca: gosip kesetaraan) (Hasan dan Mernissi, 2000: 231).
Sumber
• https://media.neliti.com. M. Rusydi. Perempuan di Hadapan Tuhan; Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi.
• http://www.madinaonline.id/sosok/perginya-fatima-mernissi-ulama-yang-menginspirasi-perempuan-dunia/
• https://www.kompasiana.com. Agus Farisi. Paradigma Pemikiran Fatima Mernissi ihwal Gende.
• http://islamlib.com/tokoh/fatima-mernissi-dan-pembelaan-terhadap-kaum-perempuan
Download
Baca Juga
1. Fatima Mernissi. Biografi dan Pemikiran
2. Pemikiran Feminisme Fatima Mernissi dalam Karya-Karyanya