Syihabuddin As-Suhrawardi. Biografi Pemikiran

Syihabuddin as-Suhrawardi (Suhraward, Zanjan, Iran, 549 H/1155 M-Aleppo, Suriah, 587 H/1191 M). Tokoh sufi dan filsuf dari kalangan Syiah. Ia diberi gelar Syaikh al-Isyraq (Guru Pencerahan) alasannya yaitu filsafat Isyraqiyyah (iluminasi/pencerahan)-nya.

Sejak usia muda, as-Suhrawardi dikenal sebagai seorang jenius yang haus ilmu pengetahuan. Berbagai negeri di sekitar Persia dijelajahinya untuk menimba ilmu pengetahuan. Ia sangat tertarik dengan masalah filsafat dan tasawuf. Ia hidup secara asketik. Pengembaraannya berakhir di Alepo (Haleb), Suriah, ketika Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (532 H/1138 M-589 H/1193 M), seorang penguasa yang amat cinta kepada para sufi dan cendekiawan, memintanya untuk menyumbangkan ilmunya di Aleppo.

Akan tetapi, as-Suhrawardi mendapat serangan gencar dari para fukaha setempat alasannya yaitu ajarannya dianggap sesat. Ia juga difitnah merongrong kekuasaan sultan. Akhirnya, atas desakan para fukaha, Sultan Salahuddin memenjarakannya di Aleppo. Pada tahun 1191, as-Suhrawardi dijatuhi eksekusi mati.

Salah satu ajarannya yang dianggap sesat oleh para fukaha yaitu pendapatnya yang menyampaikan bahwa masih ada kemungkinan Tuhan mengutus nabi gres setelah Nabi Muhammad SAW. Pernyataan ini dianggap bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab ayat 40, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW yaitu epilog para nabi. Atas pendapat ini, para ulama menuduhnya sebagai seorang zindik yang menyesatkan umat.

As-Suhrawardi sendiri mendasarkan pendapatnya itu pada konsep kemahakuasaan Tuhan yang tidak terbatas. Konsep itu memberi peluang akan datangnya nabi baru. Akan tetapi nabi gres itu, menurutnya, tidak harus membawa syariat gres pula. Ia yaitu insan pilihan Tuhan yang sanggup berkomunikasi dengan-Nya yang oleh as-Suhrawardi disebut sebagai failsuf israqi (pencerah). Lebih dari itu, ia beropini bahwa failsuf israqi lebih tinggi derajatnya dari para nabi alasannya yaitu merupakan qutb al-waqt (poros waktu) sepanjang zaman, sebagai dasar kesinambungan wahyu, sehingga risalah tidak terhenti setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Selain itu para fukaha pun menuduhnya terlibat dalam gerakan Qaramitah (salah satu sekte dalam Syiah*), baik secara teologis maupun secara politis. Dalam kaitan ini, para fukaha melihatnya telah menemukan fatwa yang juga mereka anggap sesat. Ajaran itu menyatakan bahwa Tuhan yaitu cahaya tertinggi yang tiada bandingannya. Para nabi dan imam mendapat pancaran cahaya itu dari Tuhan. Dengan pancaran cahaya dari Tuhan ini, para nabi dan imam mempunyai daya adikodrati yang tidak dipunyai oleh insan biasa, yakni sanggup mengetahui hal-hal gaib, bisa menimbulkan kekuatan dasyat yang tidak bisa ditundukkan oleh apa pun, dan sanggup mengetahui sesuatu yang belum atau akan terjadi.

Di samping itu, as-Suhrawardi bahu-membahu dengan Qaramitah dan Hasyasyin (sekte Syiah* lainnya), secara politis dituduh telah merongrong kekuasaan Sultan Salahuddin. Padahal, Sultan yaitu penganut dan pembela paham Suni serta berusaha menegakkan hegemoni Suni di seluruh wilayah kerajaannya.

Inti fatwa filsafat isyraqiyyah yang dibawa oleh as-Suhrawardi yaitu bahwa sumber segala sesuatu yang ada (al-maujudat) yaitu Nur al-Anwar (Cahaya Mutlak atau Cahaya Segala Cahaya). Kosmos diciptakan Tuhan melalui penyinaran, karenanya kosmos terdiri atas tingkatan-tingkatan pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi, sebagai sumber segala cahaya itu, dinamakan Nur al-Anwar, dan itulah Tuhan Yang Abadi. Manusia berasal dari Nur al-Anwar melalui proses penyinaran yang hampir sama dengan proses emanasi* (al-faid) dalam filsafat al-Farabi* (257 H/870 M-339 H/950 M). Dengan demikian, insan dan Tuhan mempunyai hubungan timbal balik, dan dari paradigma ini dimungkinkan terjadinya persatuan antara insan dan Tuhan (ittihad).

Penggunaan kata al-Isyraq (timur) dalam filsafat as-Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama yang muncul yaitu dari matahari yang terbit dari timur, sedangkan dalam dunia nalar (nonempiris) dimaksudkan sebagai ketika munculnya pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya nalar yang menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari efek indriawi. Dengan demikian, kata al-isyraq dipergunakan sebagai simbol al-kasyf (pancaran batin) dan al-musyahadah (penglihatan secara mistik). Dalam hal ini as-Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan dan kontemplasi. Dengan kata lain, as-Suhrawardi memadukan daya-daya rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf).


Sebagai seorang sufi dan filsuf, as-Suhrawardi banyak menghasilkan karya ilmiah. Dalam hidupnya yang relatif singkat, hanya hingga 38 tahun, ia menghasilkan 50 karya ilmiah dalam bentuk buku, baik yang besar maupun yang kecil. Di antara karya-karya besar as-Suhrawardi yang berkaitan dengan filsafat isyraqiyyah yaitu buku at-Talwihat (Kedekatan), al-Muqawamat (Tambahan), al-Masyari’ wa al-Mutarahat (Jalan-Jalan dan Tempat Berlabuh), dan karya monumentalnya Hikmah al-Isyraq (Filsafat Ilmuminasi/Pencerahan).

Di samping itu, as-Suhrawardi juga menulis risalah-risalah pendek yang juga berisi akidah filsafat, di antaranya Hayakil an-Nur (Bangunan-Bangunan Cahaya), I’tiqad al-Hukama (Keyakinan Para Filsuf), dan Bustan al-Qulub (Taman Hati).

Ia juga menulis buku kecil dalam bentuk hikayat yang bersifat simbolik, mistis, dan filosofis, ibarat Risalah fi Hayat at-Tufuliyyah (Risalah Mengenai Kehidupan Masa Kanak-Kanak); kemudian dalam bentuk wirid dan doa, ibarat al-Waridat wa at-Taqdisat (Wirid-Wirid dan Penyucian).

Selain itu, ada juga karyanya yang bersifat komentar terhadap karya Ibnu Sina (370 H/980 M-428 H/1037 M), ibarat Risalat at-Tair (Risalah/Kabar Burung), al-Isyarah wa at-Tanbihat (Isyarat dan Peringatan), dan Risalah al-Isyq (Risalah Rindu).

Sumber
Suplemen Ensiklopedia Islam Diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta Tahun 1996


Download

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel