Jacques Derrida

Seperti halnya dengan Heidegger* dan Levinas*, Derrida pun membicarakan, mengkritik, dan mempersoalkan seluruh tradisi filsafat Barat. Dengan mendengar dua nama tadi, kita serentak juga berkenalan dengan dua sumber pandangan gres penting bagi filsafat Derrida. Hal itu berlaku secara istimewa untuk Heidegger*. Dan Derrida sendiri dengan terus terang mengakui betapa ia berhutang kebijaksanaan pada filsuf Jerman itu. “Segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh pemikiran Heidegger*”, katanya. Sudah pernah dikatakan bahwa pemikiran Derrida merupakan semacam radikalisasi dari filsafat Heidegger dan pendapat ini mungkin ada benarnya juga. Tetapi niscaya tidak dalam arti bahwa ia meneruskan pemikiran Heidegger* begitu saja; sebaliknya, ia membuatkan pendiriannya sendiri dengan mengkritik dan mempermasalahkan antara lain Heidegger juga.
Bagi Derrida, filsafat tidak sanggup dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Tidak masuk nalar misalnya, bila dikatakan—sebagaimana kini ini tidak jarang terdengar—bahwa ilmu pengetahuan sedang menyingkirkan filsafat atau bahwa filsafat sudah tidak memiliki lingkup gerak lagi lantaran perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Derrida, filsafat dan ilmu pengetahuan intinya merupakan hal yang sama, lantaran kedua-duanya berakar dalam rasionalitas yang sama.
Filsafat—dengan tiga puncaknya: Plato*, Hegel*, Husserl*—merupakan sejarah dan pengakhiran rasionalitas yang menjuruskan juga ilmu pengetahuan, bahkan bila ilmu pengetahuan mau melebihi dan memojokkan filsafat. Rasionalitas itu tidak lain daripada pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung terus hingga pada hari ini.

Apakah yang merupakan ciri khas pemikiran Barat ini? Derrida menjawab: bahwa Ada dimengerti sebagai “kehadiran” (suatu pikiran yang pada hakikatnya berasal dari Heidegger*). Pemikiran wacana Ada sebagai “kehadiran” oleh Derrida di sebut juga “metafisika”. Kalau dalam metafisika dipikirkan bahwa Ada itu hadir, pribadi timbul pertanyaan: hadir bagi apa atau siapa? Tentang hal itu dalam metafisika terdapat rupa-rupa pengandaian, contohnya bahwa Ada itu hadir bagi pikiran, bagi Allah, bagi manusia, bagi kesadaran, bagi subjek dan lain sebagainya. Hegel meneruskan pikiran itu hingga konsekuensi yang terakhir dengan menyampaikan bahwa Ada itu hadir bagi dirinya sendiri; atau dengan kata lain, bahwa Ada memikirkan dirinya sendiri; atau dengan kata lain lagi, bahwa Ada harus dimengerti sebagai Roh. Pengandaian wacana kehadiran itu menjiwai juga seluruh fenomenologi Husserl* dan pada balasannya hidupnya membuat ia mendapatkan adanya suatu subjek transendental; suatu anggapan yang—seperti diketahui—tidak diterima oleh kebanyakan muridnya. Dengan demikian seluruh tradisi metafisis condong ke arah Ada yang hadir bagi dirinya sendiri, Ada yang benar dalam dirinya, terlepas dari kisah di mana Ada diketengahkan atau dikisahkan.

Menurut Derrida, pandangan wacana kehadiran ini tampak dengan jelas, bila kita mempelajari fatwa metafisika mengenai tanda. Ajaran itu seluruhnya dilatarbelakangi kehadiran. Dalam tradisi metafisis tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir. Kalau dikatakan contohnya “Tanya saja kepada John”, maka kata “John” itu menunjuk kepada orang yang tidak hadir dan seakan menghadirkan orang yang tidak hadir. Dengan demikian dalam pandangan metafisika tanda balasannya selalu menunjuk kepada objek itu sendiri hadir; tanda hanya sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri. Nah, Derrida beropini bahwa kehadiran tidak merupakan suatu intansi independen yang mendahului tuturan dan goresan pena kita, tetapi sebaliknya ditampilkan dalam tuturan dan goresan pena kita, dalam tanda yang kita pakai. Kata-kata menunjuk kepada kata-kata lain. Setiap teks menunjuk kepada suatu jaringan teks-teks lain; setiap pecahan dalam suatu diskursus menunjuk kepada bagian-bagian lain. Jadi, kalau metafisika memikirkan tanda dalam rangka Ada sebagai kehadiran, maka Derrida sebetulnya memutarbalikkan keadaan dengan memikirkan kehadiran dalam rangka jaringan tanda yang menunjuk yang satu kepada yang lain. Dengan itu Derrida secara radikal berbalik dari apa yang disebutnya “logosentrisme”: pemikiran wacana Ada sebagai kehadiran. Ia memperlihatkan hal itu dengan mengusut secara terperinci fatwa Husserl* tentang tanda. Secara khusus perhatiannya tergugah, bila Husserl* kurang jelas dan sulit dalam uraiannya, bila ia sering mengubah pendiriannya atau dengan cara lain memperlihatkan keraguan dan ketidakpastiannya. Di situ sanggup tampak retakan (brisure) dalam teks, yang menjadi titik pegangan bagi Derrida dalam mengadakan dekontruksinya. Juga suatu analisa terhadap fatwa gres wacana tanda yang dikemukakan oleh Ferdinan de Saussure*, perintis besar linguistik modern, memperlihatkan bahwa di situ pun masih ada sisa-sisa logosentrisme.

Sampai kini kita lihat bahwa bagi tradisi metafisis segala sesuatu yang ada hadir juga dan seandainya terdapat sesuatu yang tidak hadir maka tanda ialah sarana untuk menghadirkannya. Sudah kita lihat juga bahwa Derrida seakan-akan memutarbalikkan pandangan metafisika dengan menyampaikan bahwa kehadiran harus dimengerti berdasarkan sistem tanda. Pertanyaan berikut ialah bagaimana Derrida sendiri mengerti tanda? Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas), suatu kata yang sebelumnya sudah digunakan sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada Plotinus contohnya dan di zaman kita kini pada Heidegger* dan terutama Levinas*. Tidak gampang untuk menjelaskan maksudnya dengan istilah ini. Yang penting di sini ialah bahwa sebuah bekas tidak memiliki substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas tidak sanggup dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu sebetulnya bukan efek, melainkan terutama penyebab, kata Derrida. Paham ini memungkinkan untuk memikirkan kehadiran sebagai imbas dari bekas itu. Dengan demikian kehadiran tidak lagi merupakan sesuatu yang asli, melainkan diturunkan dari bekas. Dengan demikian disangkal pula kemungkinan untuk mengerti Ada yang hadir bagi dan pada dirinya, justru lantaran kehadiran timbul sebagai imbas dari bekas. Dan dari segi yang lain, dalam pandangan ini tanda tidak lagi dianggap sesuatu yang sementara saja, lantaran seandainya bekas dihapus maka kehadiran akan dihapus juga. Atau lebih sempurna kalau dikatakan bahwa setiap percobaan untuk menghapus bekas dengan sendirinya akan menggoreskan suatu bekas lain lagi. Sehingga tanda secara definitif (dan tidak untuk sementara saja) mendahului kehadiran; tanda selalu sebelum objek.

Maksud Derrida perlu dijelaskan lebih lanjut. Mungkin orang menyampaikan bahwa bekas yang ditinggalkan gelas minum pada meja di sana menunjuk kepada gelas itu sendiri sebagai hadir. Tetapi bagi Derrida gelas pun harus dilihat sebagai bekas, yang menunjuk kepada air teh, dapur, orang yang pakai. Air teh, dapur, dan orang yang pakai itu menunjuk pada hal yang lain-lain lagi, dan seterusnya. Dengan itu sesuatu yang hadir bagi dirinya sendiri, sesuatu yang menunjuk kepada dirinya sendiri saja menjadi mustahil. Bekas selalu mendahului objek. Objek timbul dalam jaringan tanda dan tidak pernah diberikan bagi suatu intuisi dasar, ibarat halnya dengan “benda itu sendiri” (die Sache selbst) pada Husserl*.

Jaringan atau rajutan tanda ini oleh Derrida disebut “teks” atau tenunan. Dengan itu ia kembali kepada arti orisinil kata “teks”, alasannya kata ini berasal dari kata Latin texere, artinya “menenun”. Kiranya sudah terperinci bahwa dengan demikian Derrida memakai kata “teks” dalam arti yang jauh lebih luas daripada arti yang biasa, alasannya bagi ia segala sesuatu yang ada memiliki status teks. Segala sesuatu yang ada merupakan teks. Segala sesuatu yang ada ditandai tekstualitas. Tidak ada hors-texte, kata Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks. Dan jikalau fenomenologi dulu asyik berbicara wacana intersubjektivitas, maka Derrida kini berbicara wacana intertekstualitas, lantaran suatu teks tidak pernah terisolasi tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain.

Sekarang sanggup dimengerti juga bahwa Derrida menolak dengan tegas apa yang disebutnya signifie transcendental, makna transendental. Tidak ada makna yang melebihi teks dan hadir bagi pemikiran terlepas dari teks. Teks tidak merupakan semacam wahana yang menyangkut suatu makna yang hanya menunjuk kepada dirinya saja. Makna selalu tertenun dalam teks. Praktek terjemahan sanggup memperlihatkan kesan seakan-akan ada makna terlepas dari teks, suatu makna transendental. Kalau begitu, menerjemahkan kira-kira disamakan dengan menanggalkan pakaian dari makna tersebut dan mengenakan pakaian baru. Padahal, menerjemahkan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dilarang dibayangkan sebagai melepaskan makna yang terbungkus dalam satu teks, agar dipindahkan ke dalam teks lain. Setiap orang yang berpengalaman di bidang penerjemahan akan maklum bahwa kenyataan tidak demikian. Menerjemahkan ialah mengganti teks satu dengan teks lain. Terjemahan ialah transformasi, kata Derrida. Yang oleh Derrida disebut “makna transendental” ini sama artinya dengan apa yang di atas dimaksudkan dengan hal yang hadir bagi dirinya sendiri.

Derrida menolak pembedaan antara tanda dan simbol; suatu pembedaan yang sering dikemukakan dalam tradisi. Menurut pendapat para pendukungnya, simbol memiliki kekerabatan natural dengan apa yang ditunjukkannya, sedangkan tanda tidak memperlihatkan kekerabatan serupa itu atau—dengan perkataan lain—bersifat arbitrer belaka. Bagi Derrida setiap tanda bersifat arbitrer dan tidak berdasarkan kodrat ibarat apa adanya. Ini menghantar ia kepada pendiriannya yang populer bahwa dalam bidang bahasa harus diberi prioritas kepada tulisan. Itu tidak berarti bahwa bagi Derrida terdapat dua macam bahasa, bahasa lisan, dan bahasa tertulis, dan bahwa yang kedua itu paling penting. Maksud Derrida ialah bahwa setiap macam bahasa—jadi, juga Bahasa lisan—menurut kodratnya ialah goresan pena (ecriture; Inggris scripture). Dalam hal ini pula Derrida berbeda dengan seluruh tradisi metafisis. Bagi metafisika bahasa adalah logos, suatu kata Yunani yang berarti baik perkataan (jadi, bahasa lisan) maupun rasio. Filsafat Barat ialah logologi: ilmu wacana perkataan atau bahasa lisan. Dalam perspektif ini Bahasa sama dengan phone: bunyi atau tuturan. Derrida menunjuk kepada dialog-dialog Plato*, di mana berulang kali tampak kecurigaannya terhadap bahasa tertulis. Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya wacana asal-usul bahasa menyebut goresan pena sebagai aksesori pada bahasa lisan. Hegel* menyampaikan bahwa tanda tertulis bagaikan piramid Mesir yang dihuni oleh “jiwa yang asing”; artinya, jiwa yang tiba dari luar dan lantaran itu tidak sungguh-sungguh bersatu padu dengan piramid itu sendiri. Dengan kata lain, makna suatu kata tertulis tiba dari luar sedangkan dalam bahasa verbal makna bersatu dengan kata. Hegel* menekankan juga bahwa bahasa verbal lebih halus, dalam arti: kurang material; lantaran itu bahasa verbal lebih rohani sifatnya daripada bahasa tertulis. Dan sanggup dimengerti lagi bahwa ia lebih menghargai goresan pena fonetis daripada goresan pena non-fonetis (seperti contohnya hieroglyphics: goresan pena Mesir kuno) lantaran goresan pena fonetis lebih bersahabat dengan bahasa lisan. Juga bagi Husserl* bahasa yang bekerjsama ialah bahasa lisan. Ia melukiskan bahasa tertulis sebagai “tubuh yang berjiwa”, tetapi lantaran materialnya bahasa tertulis itu mau tidak mau kurang rohani sifatnya, dibanding dengan tuturan atau bahasa lisan. Dengan analisa-analisa yang teliti dan mendalam Derrida memperlihatkan bahwa filsuf-filsuf ibarat itu dan filsuf-filsuf lain lagi bersikap anti-skrip-tural. Dengan demikian seluruh tradisi metafisis—termasuk juga Heidegger*—memprioritaskan tuturan di atas tulisan. Seluruh tradisi itu merupakan logologi. Hal itu berkaitan erat dengan kehadiran sebagai tema pokok bagi filsafat Barat. Antara lain itu tampak, jikalau pemikiran dimengerti sebagai tuturan; logos (pemikiran) ialah phone (percakapan) yang diadakan jiwa dengan dirinya sendiri). Jadi, rasionalitas diskursus metafisis itu sendiri memiliki kecondongan untuk melupakan dan meremehkan tulisan. Supaya rasionalitas itu tetap setia pada kodratnya, ia harus menyangkal goresan pena dan merealisasikan diri sebagai logosentrisme.

Jika filsafat hingga kini sama dengan logologi, maka Derrida ingin merubahnya menjadi “gramatologi” ilmu wacana gramma, huruf-huruf, inskripsi, tulisan. Gramma ialah “tanda dari tanda” atau tanda yang menunjuk kepada tanda lain. Maka dari itu sanggup dikatakan juga bahwa gramatologi ialah ilmu wacana tekstualitas. Tetapi, ibarat ditekankan oleh Derrida sendiri, perlu diperhatikan bahwa gramatologi tetap merupakan gramatologi. Filsafat zaman gres ini masih merupakan suatu –logi, masih merupakan suatu cara pengetahuan yang berlangsung dalam suasana “kehadiran”. Derrida bermaksud mengadakan suatu “dekontruksi”, suatu pembongkaran terhadap metafisika; bukan ibarat Heidegger* yang mau mengadakan suatu “destruksi”, suatu penghancuran terhadap metafisika. Yang terakhir itu kiranya tidak mungkin. Mau tidak mau kita sendiri berada dalam lingkungan metafisika. Atau lebih sempurna lagi, kita serentak di dalam dan di luar metafisika. Kita di dalam metafisika dengan mengusahakan suatu kritik intern dari filsafat Barat; sementara berada di luar metafisika kita berusaha mempersoalkan metafisika. Kita di luar metafisika sebagai logologi, sejauh kita mengusahakan penelitian yang amat sulit yang disebut gramatologi. Derrida ingin mengusut filsafat bukannya dalam hal-hal yang dikatakan oleh filsafat itu dengan “suara lantang”, melainkan dalam teksnya, dalam tulisannya yang ternyata tidak selalu sama dengan apa yang dikatakannya eksplisit dan terang-terangan.

Kita sudah melihat bahwa Derrida menggarisbawahi kesatuan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Maka dari itu tidak mengherankan, bila ilmu pengetahuan juga solider dengan filsafat dalam menolak dan mengabaikan tulisan. Tentu saja, hal itu benar secara khusus bagi ilmu pengetahuan yang membahas bahasa: linguistik atau ilmu bahasa (“yang paling penting di antara ilmu-ilmu manusia”, katanya); bukan saja dalam bentuk tradisional, melainkan juga dalam bentuk gres yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure*. Derrida memperlihatkan bagaimana untuk Saussure* goresan pena hanya memiliki fungsi sampingan, suatu fungsi yang diturunkan dari bahasa sebagai tuturan. Tulisan menggambarkan tuturan dan hanya dalam tuturan itu makna hadir pada dirinya sendiri. Tentu saja, ada cukup banyak hal yang sanggup dihargai dalam teori Saussure* wacana tanda, banyak hal yang sanggup dimanfaatkan pula dalam gramatologi, tetapi pada pokoknya Saussure* pun bersekutu dengan tradisi metafisis. Dan bagi Derrida logosentrisme ilmu-ilmu insan sudah tampak dalam kenyataan bahwa ilmu Bahasa struktural (Saussure dan pengikut-pengikutnya) dianggap sebagai ilmu perintis di antara semua ilmu manusia. Tambah lagi bahwa dalam linguistik struktural itu fonologi menduduki tempat istimewa. Ilmu insan yang mengikuti metode dan interesse linguistic struktural bukan saja bersifat logosentris melainkan juga fonosentris, artinya setuju dalam mengabaikan goresan pena dan mengutamakan bahasa lisan.

Tendensi yang sama tampak dalam antropologi budaya ibarat dipraktekan oleh Calude Levi-Strauss*, agaknya ilmu yang paling berhasil di antara ilmu-ilmu insan yang memakai metode strukturalistis Saussure. Levi-Strauss* juga secara terperinci sekali memprioritaskan bahasa lisan. Hal itu antara lain tampak dalam sejumlah halaman dari bukunya Tristes tropiques. Dalam ceritanya wacana ekspedisi ke kawasan permukiman suku Indian, Nambikwara, dalam rimba belantara di Brazil, ia mengisahkan bagaimana orang primitif itu untuk pertama kali berkenalan dengan tulisan. Dalam permenungannya wacana bencana itu ia menafsirkan goresan pena sebagai unsur kekerasan yang dari luar di masukan dalam masyarakat primitif itu. Tidak jarang adanya goresan pena dianggap sebagai norma untuk memilih peralihan suatu suku bangsa dari keadaan alamiah ke keadaan budaya. Berkaitan dengan itu “bangsa-bangsa yang tidak memiliki tradisi tertulis” sering digunakan sebagai nama lain untuk memperlihatkan bangsa-bangsa primitif. Tetapi Levi-Strauss* memiliki pandangan lain. “Daripada menerangi manusia, goresan pena mengeksploitasi manusia”, katanya. Dalam kerangka sejarah dunia, sanggup diperlihatkan—demikian pendapatnya—bahwa adanya goresan pena mempermudah perbudakan. Tulisan dan penipuan berkaitan satu sama lain. Dengan perkataan lain, lantaran masuknya goresan pena “keadaan bahagia” suatu suku bangsa hilang lenyap. Dapat disimpulkan bahwa Levi-Strauss* memandang goresan pena sebagai suatu kemerosotan yang berlangsung mutlak perlu serta tak terhindarkan dan menjadikan peralihan dari alam ke culture; dalam hal ini ia bekerjsama hanya mengulangi pendirian Rousseau. Bersamaan dengan itu pada antropolog Prancis tersebut tampak juga suatu kerinduan akan kehadiran perkataan sepenuhnya dalam Bahasa lisan; suatu kerinduan akan “suara yang hidup”. Bagi Derrida semuanya ini mengambarkan bahwa strukturalisme yang sering menyerang dan menolak filsafat tradisional, pada kenyataannya masih solider dengan seluruh tradisi filsafat Barat.

Pemikiran gres yang dibuka oleh Derrida ini memerlukan konsep-konsep gres pula. Derrida membuat aneka macam konsep gres yang tidak ditemukan dalam filsafat sebelumnya, atau yang diambil alih dari salah seorang pengarang tetapi pada Derrida memperoleh jangkauan jauh lebih luas. Salah satu pola sudah kita lihat di atas, yaitu trace (bekas). Konsep yang paling penting bagi Derrida ialah differance, suatu pengertian yang amat sulit dijelaskan. Jika kita mencari dalam kamus Prancis, kata tersebut tidak akan ditemukan; Derrida sendiri membentuk kata ini. Yang ada ialah kata difference (pakai e artinya sama dengan kata Inggris difference; perbedaan) dan kata differer. Kata terakhir ini memiliki dua arti: sebagai kata kerja transitif artinya ialah “berbeda”, “bertolak belakang”, “tidak memiliki kesamaan” (Inggris: to differ) dan sebagai kata kerja transitif artinya ialah “menunda”, “menangguhkan”, “mengundurkan waktu” (Inggris : to defer) dan dengan itu mencakup kedua artinya. Perlu diperhatikan juga bahwa perbedaan antara difference dan differance gres tampak, bila kata-kata itu ditulis, alasannya kalau diucapkan dalam Bahasa Prancis bunyinya persis sama. Dapat dimengerti bahwa bagi Derrida yang mengakui prioritas tulisan, hal itu tidak kebetulan.

Derrida menekankan juga bahwa pemikiran wacana differance ini sanggup dikaitkan dengan unsur-unsur pikiran yang tampak dalam zaman kita sekarang. Ia menunjuk kepada Nietzsche*, Saussure*, Freud*, Levinas*, dan Heidegger*. Kita tidak bias membicarakan semua perkaitan ini. Marilah kita membatasi diri pada Saussure dan Heidegger. Saussure* untuk pertama kali menunjuk kepada sifat diferensial tanda-tanda. Itu berarti bahwa makna suatu tanda dimungkinkan lantaran setiap tanda berbeda dengan semua tanda lainnya dalam sistem tanda bersangkutan. Jadi, makna suatu tanda tidak disebabkan lantaran “substansinya”. Kata Saussure*: “Dalam bahasa hanya terdapat perbedaan-perbedaan… biasanya suatu perbedaan disebabkan lantaran adanya dua term positif; tetapi dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan dan tidak ada term-term positif… bahasa tidak terdiri dari ide-ide atau bunyi-bunyi yang sudah mendahului system linguistic, tetapi hanya ada perbedaan-perbedaan antara konsep-konsep dan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh sistem tanda”. Yang dimaksud dengan perbedaan antara term-term positif, contohnya perbedaan antara gedung yang 10 meter tingginya dan gedung yang 25 meter tingginya. Perbedaan antara dua gedung itu disebabkan lantaran dua benda tersebut berdasarkan substansinya berbeda-beda. Tetapi tanda bahasa (konsep atau bunyi) tidak memiliki substansi sendiri. Makna suatu tanda Bahasa “diproduksi” lantaran bedanya dengan semua tanda lain. Dan kini kita beralih ke Heidegger. Dalam pemikiran filsuf Jerman ini memainkan peranan besar apa yang disebut Ontologische Differenz atau “perbedaan onto-logis”, artinya perbedaan antara Ada dan adaan-adaan. Menurut Heidegger* perbedaan ontologis itu bersifat produktif, lantaran menghasilkan setiap periode dalam sejarah. Periode di mana kita hidup disebutnya “metafisika”; suatu periode yang ditandai oleh “lupa-akan-ada”. Hedegger* beropini pula bahwa kini ini kita sudah di ambang pintu suatu periode baru, yang akan dihasilkan oleh “perbedaan ontologis” yang sama.


Semua tema ini memegang peranan dalam cara Derrida membuatkan pemikirannya wacana differance. Apakah itu differance? Sulit untuk menjawab pertanyaan ini, alasannya differance bekerjsama tidak “ada”. Mengatakan bahwa difference “ada”, akan berarti menguraikannya dalam suasana “kehadiran”. Padahal, pemikiran wacana diffarence merupakan suatu perjuangan untuk melebihi metafisika, untuk melampaui pemikiran yang ditandai ke-hadiran. Nah, apakah maksudnya dengan differance? Derrida memberi aneka macam penjelasan. Satu kali ia membedakan empat arti. Sepintas kemudian memandang keempat arti ini kiranya salah satu jalan yang cocok untuk memberi kesan sedikit wacana maksudnya. Pertama-tama, differance untuk menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Differance ialah proses penundaan (sekaligus aktif dan pasif), yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, differance ialah gerak yang mendiferensi-asikan. Dalam arti differance ialah akar bersama bagi semua oposisi antara konsep-konsep ibarat contohnya indrawi—rasional, instuisi, representasi, alam—kultur. Ketiga, differance ialah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan setiap struktur. Perbedaan-perbedaan ini merupakan sebuah hasil differance. Jadi, arti ketiga ini bersahabat dengan pemikiran Saussure. Keempat dan terakhir, differance sanggup menunjuk juga berlangsungnya perbedaan antara Ada dan adaan, suatu gerakan yang belum selesai. Jadi, arti keempat ini bersahabat dengan pemikiran Heidegger, tetapi itu tidak berarti bahwa pemikir Jerman sendiri luput dari differance ini.

Akhirnya harus ditambah lagi bahwa differance dilarang dibayangkan sebagai “asal-usul”, sebagai identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan factual. Itulah yang diperbuat oleh metafisika, bila ia mencari asal-usul kebenaran dalam Allah, Kesadaran, Roh, Materi, atau lain sebagainya. Kalau begitu, differance dijadikan lagi suatu makna transcendental (signifie transcendental) yang—seperti sudah kita lihat di atas—ditolak oleh Derrida. Adanya tekstualitas tidak mengizinkan untuk menganggap perbedaan-perbedaan sebagai akibat-akibat suatu asal-usul yang identik dengan dirinya sendiri. Perbedaan-perbedaan tidak mungkin diatasi dan disintesakan dalam suatu identitas terakhir. Maka dari itu kiranya sudah terperinci bahwa filsafat Derrida ini secara radikal bersifat berhingga. Dalam pemikirannya tidak ada tempat untuk suatu dimensi tak berhingga.


Download di Sini


Sumber.

Kees, Bertens. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta. Gramedia

Baca Juga
1. Jacques Derrida. Biografi dan Karya
2. Aliran Filsafat. Dekonstruksi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel