Jeffrey C. Alexander
Sketsa Autobiografis
Sejak hari-hari intelektual saya yang paling awal, saya telah menggeluti masalah-masalah tindakan sosial dan ketertiban sosial dan kemungkinan-kemungkinan untuk menyebarkan banyak sekali pendekatan kepada masalah-masalah itu yang menghindari ekstrim ajaran berdimensi satu. Saya selalu yakin bahwa dikotomi-dikotomi yang keras, sementara vital sebagai arus ideologis di dalam suatu masyarakat demokratis, sanggup diatasi di ranah teoritis.
Pengalaman teoritis saya terbentuk pertama kali selama 1960-an dan awal 1970-an, saat saya berpartisipasi di dalam gerakan-gerakan protes mahasiswa sebagai seorang mahasiswa sarjana muda di Harvard College dan sebagai mahasiswa tingkat sarjana di Universitas California Berkeley. Marxisme Sayap Kiri menggambarkan suatu perjuangan yang canggih untuk mengatasi ekonomisme Marxisme yang vulgar, saat mencoba menyisipka kembali pemain film ke dalam sejarah. Karena menggambarkan cara struktur-struktur materil saling meresapi dengan kebudayaan, kepribadian, dan kehidupan sehari-hari, Marxisme Sayap Kiri memperlihatkan training pertama yang penting bagi saya di jalur sintesis teoritis, yang telah menandai karier intelektual saya.
Pada awal 1970-an, saya tidak puas lagi dengan Marxisme Sayap Kiri, sebagian alasannya alasan-alasan politis dan empiris. Pembalikan Sayap Kiri Baru ke arah sekteranianisme dan kekerasan membuat saya taku dan tertekan, sedangkan krisis watergate memperlihatkan kemampuan Amerika untuk mengkritik diri sendiri. Saya tetapkan bahwa masyarakat demokratis kapitalis memperlihatkan peluang untuk inklusi, pluralisme, dan pembaruan yang tidak sanggup diremehkan bahkan dalam versi Kiri Baru ajaran Marxian.
Ada lagi alasan-alasan teoritis yang lebih aneh untuk meninggalkan pendekatan Marxian menuju sintesis yang ada di belakangnya. Ketika saya terlibat semakin penuh dalam teori klasik dan kontemporer, saya menyadari bahwa sintesis tersebut dicapai dengan cara menghubungkan—Marxisme-psikoanalitis, Marxisme-kultural, Marxisme-fenomenologis—daripada dengan cara menyingkapkan kategori-kategori sentral tindakan dan ketertiban. Dalam kenyataannya, kategori-kategori neo-Marxis mengenai kesadaran, tindakan, komunitas, dan kebudayaan yaitu kotak-kotak hitam. Kesadaran itu membawa saya ke tradisi-tradisi yang menyediakan sumber-sumber daya teoritis yang telah menarik Marxisme Sayap Kiri. Saya beruntung dalam perjuangan penelitian tingkat sarjana dibimbing oleh Robert N. Bellah dan Neil Smelser. Ide-ide mereka ihwal kebudayaan, struktur sosial, dan teori sosiologis meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan bagi saya dan terus menjadi sumber daya intelektual di masa kini.
Dalam Theoretical Logic in Sociology (1982-1983), saya menerbitkan hasil-hasil perjuangan tersebut. Ide untuk karya multivolume itu mulai berkembang pada 1972, sesudah perjumpaan luarbiasa dengan adikarya Talcott Parson*, The Structure of Social Action*, yang mengizinkan saya melihat masalah-masalah saya dengan Marxisme dengan cara yang baru. Belakangan di bawah pengawasan Bellah, Smelser, dan Leo Lowenthal, saya membahas teori klasik dan kontemporer dengan menggunakan kerangka kerja yang gres itu.
Ambisi saya di dalam Theoretical Logic adalah memperlihatkan bahwa Durkheim* dan Weber* menyediakan teori-teori luas mengenai budaya yang di abaikan oleh Marx* dan bahwa Weber* betul-betul menyebarkan sintesis sosiologis kasatmata yang pertama. Akan tetapi, saya menyimpulkan bahwa pada kesudahannya Durkheim* bergerak ke arah idealistik dan Weber* menyebarkan pandangan mekanistik terhadap masyarakat modern. Saya menganjurkan biar karya Parsons* dilihat sebagai perjuangan modern yang mengagumkan di bidang sintesis ketimbang sebagai teori di dalam cara fungsionalis. Namun, Parson* pun gagal mengupayakan sintesis itu di dalam cara yang benar-benar serius, alasannya beliau mengizinkan teorinya terlalu formal dan berbasis normatif.
Di dalam karya saya selama dasawarsa terakhir, saya telah berusaha membuat kembali kerangka kerja untuk melaksanakan sintesis, yang saya anggap sebagai komitmen karya yang lebih awal yang tidak terpenuhi. Di dalam Twenty Lectures: Sosiological Theory Since World War II (1987b), saya menyatakan bahwa pembagian-pembagian di dalam sosiologi post-Parsonsian—di antara teori konflik dan ketertiban, pendekatan mikro dan makro, pandangan-pandangan struktural dan kultural—tidak bermanfaat. Pengelompokan-pengelompokan tersebut mengaburkan proses-proses sosial dasar, ibarat pertandingan ketertiban dan konflik yang terus berlanjut dan dimensi-dimensi masyarakat yang didikotomi, yang selalu berkelindan.
Jawaban saya kepada final yang mematikan ini ialah kembali ke perhatian Parsons* semula (Alexander dan Colomy, 1990a) dan kepada karya-karya klasik yang lebih awal.
Akan tetapi, di dalam perjuangan mendorong teori memasuki suatu fase “pos-parsonsian” baru, saya juga mencoba untuk melampaui teori klasik dan modern. Perjumpaan saya dengan kelompok fenomenolog yang berpengaruh di jurusan yang ada di kampus saya di UCLA, khususnya dengan orang-orang ibarat Harold Garfinkel*, yaitu rangsangan yang penting.
Dalam “Tindakan dan lingkungannya” (1987a), yang masih saya anggap sebagai kepingan karya teoritis saya yang paling penting, saya meletakkan kerangka kerja untuk suatu artikulasi gres mengenai mata rantai mikro-makro.
Saya juga berkonsentrasi pada pengembangan suatu teori budaya yang baru. Pembacaan awal atas Clifford Geertz* membuat saya yakin bahwa pendekatan-pendekatan ilmu sosial tradisional terhadap kebudayaan terlalu terbatas. Sejak itu, pendekatan saya sangat dipengaruhi oleh semiotika, hermeneutika, dan ajaran postrukturalis. Memadukan banyak sekali teori dari luar sosiologi, saya berusaha menteorikan bermacam-macam cara instruksi dan makna simbolik meresapi sturktur sosial.
Saya percaya pergerakan menuju sintesis teoritis ini sedang didorong lebih jauh oleh peristiwa-peristiwa di dunia pada umumnya. Di dunia pos komunis, tampak penting untuk menyebarkan model-model yang akan membantu kita memahami demarkasi kita yang rumit dan inklusif, tetapi sangat rapuh. Sekarang ini saya sedang menggarap teori demokrasi yang menekankan dimensi komunal, yang saya sebut masyarakat sipil. Saya juga menerbitkan himpunan esai yang telah saya tulis yang mengkritik relativisme yang terus bertumbuh di dalam studi-studi manusia. Meskipun ada segudang bukti untuk hal yang sebaliknya, saya percaya bahwa kemajuan sanggup dicapai bukan hanya di dalam masyarakat tetapi juga di dalam sosiologi. Kemajuan tersebut sanggup dicapai hanya melalui pandangan multidimensional dan sintesis atas masyarakat.
Download di Sini
Baca Juga
Neofungsionalisme
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sejak hari-hari intelektual saya yang paling awal, saya telah menggeluti masalah-masalah tindakan sosial dan ketertiban sosial dan kemungkinan-kemungkinan untuk menyebarkan banyak sekali pendekatan kepada masalah-masalah itu yang menghindari ekstrim ajaran berdimensi satu. Saya selalu yakin bahwa dikotomi-dikotomi yang keras, sementara vital sebagai arus ideologis di dalam suatu masyarakat demokratis, sanggup diatasi di ranah teoritis.
Pengalaman teoritis saya terbentuk pertama kali selama 1960-an dan awal 1970-an, saat saya berpartisipasi di dalam gerakan-gerakan protes mahasiswa sebagai seorang mahasiswa sarjana muda di Harvard College dan sebagai mahasiswa tingkat sarjana di Universitas California Berkeley. Marxisme Sayap Kiri menggambarkan suatu perjuangan yang canggih untuk mengatasi ekonomisme Marxisme yang vulgar, saat mencoba menyisipka kembali pemain film ke dalam sejarah. Karena menggambarkan cara struktur-struktur materil saling meresapi dengan kebudayaan, kepribadian, dan kehidupan sehari-hari, Marxisme Sayap Kiri memperlihatkan training pertama yang penting bagi saya di jalur sintesis teoritis, yang telah menandai karier intelektual saya.
Pada awal 1970-an, saya tidak puas lagi dengan Marxisme Sayap Kiri, sebagian alasannya alasan-alasan politis dan empiris. Pembalikan Sayap Kiri Baru ke arah sekteranianisme dan kekerasan membuat saya taku dan tertekan, sedangkan krisis watergate memperlihatkan kemampuan Amerika untuk mengkritik diri sendiri. Saya tetapkan bahwa masyarakat demokratis kapitalis memperlihatkan peluang untuk inklusi, pluralisme, dan pembaruan yang tidak sanggup diremehkan bahkan dalam versi Kiri Baru ajaran Marxian.
Ada lagi alasan-alasan teoritis yang lebih aneh untuk meninggalkan pendekatan Marxian menuju sintesis yang ada di belakangnya. Ketika saya terlibat semakin penuh dalam teori klasik dan kontemporer, saya menyadari bahwa sintesis tersebut dicapai dengan cara menghubungkan—Marxisme-psikoanalitis, Marxisme-kultural, Marxisme-fenomenologis—daripada dengan cara menyingkapkan kategori-kategori sentral tindakan dan ketertiban. Dalam kenyataannya, kategori-kategori neo-Marxis mengenai kesadaran, tindakan, komunitas, dan kebudayaan yaitu kotak-kotak hitam. Kesadaran itu membawa saya ke tradisi-tradisi yang menyediakan sumber-sumber daya teoritis yang telah menarik Marxisme Sayap Kiri. Saya beruntung dalam perjuangan penelitian tingkat sarjana dibimbing oleh Robert N. Bellah dan Neil Smelser. Ide-ide mereka ihwal kebudayaan, struktur sosial, dan teori sosiologis meninggalkan kesan yang tidak terhapuskan bagi saya dan terus menjadi sumber daya intelektual di masa kini.
Dalam Theoretical Logic in Sociology (1982-1983), saya menerbitkan hasil-hasil perjuangan tersebut. Ide untuk karya multivolume itu mulai berkembang pada 1972, sesudah perjumpaan luarbiasa dengan adikarya Talcott Parson*, The Structure of Social Action*, yang mengizinkan saya melihat masalah-masalah saya dengan Marxisme dengan cara yang baru. Belakangan di bawah pengawasan Bellah, Smelser, dan Leo Lowenthal, saya membahas teori klasik dan kontemporer dengan menggunakan kerangka kerja yang gres itu.
Ambisi saya di dalam Theoretical Logic adalah memperlihatkan bahwa Durkheim* dan Weber* menyediakan teori-teori luas mengenai budaya yang di abaikan oleh Marx* dan bahwa Weber* betul-betul menyebarkan sintesis sosiologis kasatmata yang pertama. Akan tetapi, saya menyimpulkan bahwa pada kesudahannya Durkheim* bergerak ke arah idealistik dan Weber* menyebarkan pandangan mekanistik terhadap masyarakat modern. Saya menganjurkan biar karya Parsons* dilihat sebagai perjuangan modern yang mengagumkan di bidang sintesis ketimbang sebagai teori di dalam cara fungsionalis. Namun, Parson* pun gagal mengupayakan sintesis itu di dalam cara yang benar-benar serius, alasannya beliau mengizinkan teorinya terlalu formal dan berbasis normatif.
Di dalam karya saya selama dasawarsa terakhir, saya telah berusaha membuat kembali kerangka kerja untuk melaksanakan sintesis, yang saya anggap sebagai komitmen karya yang lebih awal yang tidak terpenuhi. Di dalam Twenty Lectures: Sosiological Theory Since World War II (1987b), saya menyatakan bahwa pembagian-pembagian di dalam sosiologi post-Parsonsian—di antara teori konflik dan ketertiban, pendekatan mikro dan makro, pandangan-pandangan struktural dan kultural—tidak bermanfaat. Pengelompokan-pengelompokan tersebut mengaburkan proses-proses sosial dasar, ibarat pertandingan ketertiban dan konflik yang terus berlanjut dan dimensi-dimensi masyarakat yang didikotomi, yang selalu berkelindan.
Jawaban saya kepada final yang mematikan ini ialah kembali ke perhatian Parsons* semula (Alexander dan Colomy, 1990a) dan kepada karya-karya klasik yang lebih awal.
Akan tetapi, di dalam perjuangan mendorong teori memasuki suatu fase “pos-parsonsian” baru, saya juga mencoba untuk melampaui teori klasik dan modern. Perjumpaan saya dengan kelompok fenomenolog yang berpengaruh di jurusan yang ada di kampus saya di UCLA, khususnya dengan orang-orang ibarat Harold Garfinkel*, yaitu rangsangan yang penting.
Saya juga berkonsentrasi pada pengembangan suatu teori budaya yang baru. Pembacaan awal atas Clifford Geertz* membuat saya yakin bahwa pendekatan-pendekatan ilmu sosial tradisional terhadap kebudayaan terlalu terbatas. Sejak itu, pendekatan saya sangat dipengaruhi oleh semiotika, hermeneutika, dan ajaran postrukturalis. Memadukan banyak sekali teori dari luar sosiologi, saya berusaha menteorikan bermacam-macam cara instruksi dan makna simbolik meresapi sturktur sosial.
Saya percaya pergerakan menuju sintesis teoritis ini sedang didorong lebih jauh oleh peristiwa-peristiwa di dunia pada umumnya. Di dunia pos komunis, tampak penting untuk menyebarkan model-model yang akan membantu kita memahami demarkasi kita yang rumit dan inklusif, tetapi sangat rapuh. Sekarang ini saya sedang menggarap teori demokrasi yang menekankan dimensi komunal, yang saya sebut masyarakat sipil. Saya juga menerbitkan himpunan esai yang telah saya tulis yang mengkritik relativisme yang terus bertumbuh di dalam studi-studi manusia. Meskipun ada segudang bukti untuk hal yang sebaliknya, saya percaya bahwa kemajuan sanggup dicapai bukan hanya di dalam masyarakat tetapi juga di dalam sosiologi. Kemajuan tersebut sanggup dicapai hanya melalui pandangan multidimensional dan sintesis atas masyarakat.
Download di Sini
Baca Juga
Neofungsionalisme
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.