John Austin. Membelah Makna Dalam Bahasa Keseharian
Dalam kerangka memperoleh pemahaman mengenai konsepsi Rasio Komunikatif yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas* menyerupai yang telah direncanakan maka harus terlebih dahulu memahami anutan John Austin dan John Searle di mana pemikiran-pemikiran Habermas* mengenai permasalahan bahasa sangat dipengaruhi oleh dua filsuf tersebut. Untuk memahami anutan Austin, maka harus pula kita memahami anutan George Moore*, namun sebab keterbatasan, kita hanya akan sedikit mengulas anutan Austin itu pun dibatasi hanya lingkup teori perbuatan tutur dalam bahasa sehari-hari. Namun demikian, teori perbuatan tutur dalam bahasa sehari-hari yang dikembangkan oleh John Austin inilah yang kemudian menjadi kerangka mendasar teori komunikasinya Jurgen Habermas*.
Sumbangan Austin yang termasyur bagi studi bahasa ialah perbedaan yang dibuatnya antara performative utterances (ucapan-ucapan performatif) dan constantive utterances (ucapan konstantif). Ucapan menyerupai contohnya "Di kamar saya terdapat tiga kursi". Ucapan semacam ini melukiskan suatu keadaan faktual. Ada sesuatu yang dinyatakan atau dikonstatasi di dalamnya. Oleh sebab itu, ucapan-ucapan semacam itu disebut ucapan konstantif. Tetapi terdapat juga ucapan-ucapan jenis lain.
Misalnya "Saya berjanji mengirim uang". Sekali-kali kita tidak sanggup menyatakan kalimat semacam ini benar atau pun salah dengan alasan bahwa di dalam kalimat tersebut tidak terdapat fakta, namun dengan mengucapkan kalimat tersebut saya melaksanakan sesuatu. Ada sesuatu yang terjadi oleh kalimat ini. Lain halnya kalau saya berkata "ia berjanji mengirim uang" atau "kemarin saya telah berjanji mengirim uang"
Dengan menyampaikan "saya berjanji..." saya tidak memperlihatkan suatu perbuatan, tetapi dengan mengucapkan kalimat tersebut saya sungguh-sungguh melaksanakan sesuatu, yaitu mengadakan perjanjian. Oleh sebab itu Austin menamai ucapan serupa itu sebagai ucapan performatif (performative utterance). Contoh lain "saya menunjuk Anda sebagai kepala rombongan", "saya mengangkat Anda sebagai ketua kelas", "kami mengucapkan selamat tiba kepada hadirin sekalian", "kapal ini saya beri nama bintang kejora", "aku mengambil Anda sebagai istriku yang sah". Demikian, kalimat performatif hanya mungkin kalau kalimat yang bersangkutan menggunakan persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang, aktif. Tetapi bukan berarti semua kalimat yang digunakan dengan cara tersebut merupakan kalimat performatif, misal "saya melihat bapak dani duduk di kendaraan beroda empat itu" terang merupakan kalimat konstantif, sebab melukiskan suatu fakta.
Demikian, ucapan-ucapan performatif mempunyai beberapa syarat dan aturan-aturan khusus yang tidak berlaku begitu saja untuk ucapan-ucapan jenis lain. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa cara untuk melanggar aturan-aturan yang berlaku bagi ucapan performatif.
Pertama, suatu ucapan performatif niscaya tidak sah adanya jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi dalam hal tertentu dan kalau keadaan tidak mengizinkan ucapan tersebut diucapkan. Misalnya "saya mengangkat saudara sebagai menteri luar negeri", tidak sah jikalau tidak diucapkan oleh kepala negara yang berwenang. Dan "saya mengambil Anda sebagai istriku yang sah" tidak sah jikalau diucapkan oleh seorang pria yang sudah beristri di suatu kawasan yang tidak memperbolehkan polygami.
Kedua, sanggup terjadi juga bahwa orang yang mengucapkan kalimat performatif tidak bonafide atau tidak bersikap jujur. Ia berjanji, misalnya, tetapi tidak mau menepati perjanjiannya. Kalau begitu, kemungkinan yang disajikan oleh bahasa ternyata disalahgunakan.
Ketiga, tingkah laris orang yang berbicara sanggup menyimpang dari apa yang diucapkannya. Ia menyampaikan "saya mengangkat saudara sebagai bendahara organisasi kita", tetapi kemudian ia sendiri masih tetap memegang kas. Kalau begitu, terjadi suatu inkonsistensi atau ketidaksetiaan.
Perlu dicatat lagi bahwa tiga cara untuk melanggar syarat-syarat yang berlaku untuk ucapan performatif tersebut tidak mengakibatkan kalimat performatif menjadi salah. Ucapan performatif tidak sanggup benar dan tidak sanggup salah, tetapi sanggup happy atau unhappy, artinya, pada tempatnya atau tidak, masuk akal atau tidak. Austin menyampaikan bahwa bahasa performatif hanya sanggup mengalami infelicities (kegagalan-kegagalan). Demikian halnya tidak ada norma-norma terang yang mengizinkan kita memilih ucapan-ucapan performatif menurut bentuk bahasa saja. Misalnya, tidak betul bahwa ucapan-ucapan performatif selalu menggunakan persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang, aktif. Ada juga ucapan performatif yang dirumuskan sebagai contohnya "hadirin sekalian dipersilahkan berdiri", "dilarang merokok", "bersama ini saudara diangkat sebagai eksekutif utama" dan lain sebagainya.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ucapan performatif di atas ternyata sanggup pula terjadi pada ucapan atau kalimat konstantif,
Pertama, di atas disebutkan bahwa suatu ucapan performatif tidaklah sah jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi tertentu dan kalau keadaan tidak mengizinkan ucapan tersebut diucapkan. Artinya ucapan tersebut tidak sah sebab tidak adanya salah satu faktor yang bergotong-royong perlu biar ucapan tersebut sanggup dikatakan. Misalnya ucapan performatif "saya menghadiahkan koleksi lukisan saya pada musium nasional" tidak sah kalau saya tidak mempunyai sama sekali lukisan-lukisan. Hal yang sama juga berlaku untuk ucapan konstantif "semua anak Bapak X bakir berenang" tidak sah kalau ternyata Bapak X tidak mempunyai anak sama sekali. Alasannya terang bahwa dua kalimat tersebut menunjuk pada suatu hal yang tidak ada. Demikian, halnya ucapan performatif tidak sah pula jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai wewenang atau kompetensi dalam hal tertentu berlaku juga untuk jenis kalimat atau ucapan konstantif, saya tidak sanggup menyampaikan apa saja jikalau saya tidak mempunyai pengetahuan atau pengalaman wacana hal tersebut.
Kedua, hal yang sama benar juga wacana kejujuran sebagai syarat bagi ucapan performatif. Kalau orang menggunakan kalimat konstantif, boleh diandaikan bahwa ia tidak berbohong. Dengan kata lain, di sini juga harus dipenuhi syarat bahwa orang yang berbicara yakin wacana apa yang dikatakannya.
Ketiga, sama halnya dengan konsekuensi-konsekuensi yang menyusul suatu ucapan performatif. Ucapan konstantif juga mempunyai rupa-rupa konsekuensi untuk tingkah laris kemudian. Orang yang mengucapkan suatu kalimat (performatif ataupun konstantif) seolah-olah bertanggungjawab atas ucapannya dalam perbuatan-perbuatan selanjutnya. Jika orang memberitahukan, contohnya bahwa ia mengerti bahasa inggris, jangan lah terjadi ia tidak sanggup membaca teks inggris. Dengan kata lain, setiap ucapan mempunyai konsekuensi-konsekuensi dalam hidup selanjutnya.
Tentunya kita akan menyimpulkan bahwa yang tinggal hanya satu kriteria yang memilih perbedaan antara ucapan performatif dan ucapan konstantif, yaitu suatu ucapan konstantif sanggup dinyatakan benar atau salah, sedangkan hal ini mustahil dilakukan dengan ucapan performatif. Dan memang itulah perbedaan yang paling mencolok. Tapi Austin mengakui bahwa dalam hal perbedaan tersebut pun tidaklah selalu jelas. Suatu vonis, contohnya niscaya merupakan ucapan performatif "saya menjatuhkan eksekusi atas saudara enam bulan kurungan". Di sini sebutan benar atau tidak benar mustahil diterapkan. Namun demikian, ucapan tersebut niscaya bekerjasama dengan fakta-fakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau kemudian hakim menjatuhkan eksekusi atas orang-orang yang tidak bersalah, maka tidak sanggup dikatakan bahwa vonis itu tidak benar, sebab toh ada hubungannya dengan kebenaran fakta-fakta. Austin menyatakan ucapan semacam itu ialah fair or unfair to fact. Karena alasan ini pula perlu disimpulkan bahwa perbedaan antara ucapan performatif dan ucapan konstantif tidaklah bersifat mutlak.
Dalam how to do things with words, Austin menyimpulkan bahwa mengucapkan suatu kalimat selalu merupakan suatu perbuatan, suatu speech act. Orang yang berkata "saya memberitahukan bahwa beras di gudang sudah habis" tidaklah melukiskan suatu pemberitahuan melainkan melaksanakan suatu pemberitahuan. Tentu saja, isi pemberitahuannya sanggup benar atau salah, akan tetapi kualifikasi benar atau salah tidak sanggup diterapkan pada pemberitahuan sebagai perbuatan.
Demikian, dalam usahanya mempelajari speech act, Austin membedakan tiga macam act atau perbuatan yang sanggup memainkan peranan kalau kita mengucapkan suatu kalimat, yaitu locutionary act, illocutoinary act dan perlocutionary act. Maksudnya,
Pertama, locutionary act, kita memberikan suatu makna tertentu. Suatu ucapan memberikan suatu isi bahasa yang bermakna pada dirinya. Contoh "ada anjing di kebun"
Kedua, illocutionary act, dengan mengucapkan suatu kalimat kita menggunakan suatu daya (force) yang khas. Karena kita menggunkan illocutionary force itu ucapan kita menjadi, perjanjian, perintah, pernyataan, vonis dan lain sebagainya.
Ketiga, Perlocutionary act, ucapan kita sanggup mengakibatkan suatu imbas psikologis pada para pendengar, mereka setuju, merasa puas, takut dan lain sebagainya.
Demikian, kiranya sudah terang bahwa dalam hal ini pemakaian bahasa performatif dan konstantif harus dianggap sebagai perwujudan suatu illocionary act. Terakhir, John Searle ialah salah satu muridnya Austin yang paling menonjol, bukunya Searle yang paling utama ialah speech act. an essay in the philosophy of language merupakan percobaan untuk secara kritis melanjutkan anutan Austin. Searle berusaha merancang suatu teori wacana perbuatan tutur dalam rangka perbuatan-perbuatan institusional, artinya perbuatan-perbuatan yang mematuhi aturan-aturan yang berlaku bagi suatu kelompok manusia.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Sumbangan Austin yang termasyur bagi studi bahasa ialah perbedaan yang dibuatnya antara performative utterances (ucapan-ucapan performatif) dan constantive utterances (ucapan konstantif). Ucapan menyerupai contohnya "Di kamar saya terdapat tiga kursi". Ucapan semacam ini melukiskan suatu keadaan faktual. Ada sesuatu yang dinyatakan atau dikonstatasi di dalamnya. Oleh sebab itu, ucapan-ucapan semacam itu disebut ucapan konstantif. Tetapi terdapat juga ucapan-ucapan jenis lain.
Dengan menyampaikan "saya berjanji..." saya tidak memperlihatkan suatu perbuatan, tetapi dengan mengucapkan kalimat tersebut saya sungguh-sungguh melaksanakan sesuatu, yaitu mengadakan perjanjian. Oleh sebab itu Austin menamai ucapan serupa itu sebagai ucapan performatif (performative utterance). Contoh lain "saya menunjuk Anda sebagai kepala rombongan", "saya mengangkat Anda sebagai ketua kelas", "kami mengucapkan selamat tiba kepada hadirin sekalian", "kapal ini saya beri nama bintang kejora", "aku mengambil Anda sebagai istriku yang sah". Demikian, kalimat performatif hanya mungkin kalau kalimat yang bersangkutan menggunakan persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang, aktif. Tetapi bukan berarti semua kalimat yang digunakan dengan cara tersebut merupakan kalimat performatif, misal "saya melihat bapak dani duduk di kendaraan beroda empat itu" terang merupakan kalimat konstantif, sebab melukiskan suatu fakta.
Demikian, ucapan-ucapan performatif mempunyai beberapa syarat dan aturan-aturan khusus yang tidak berlaku begitu saja untuk ucapan-ucapan jenis lain. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa cara untuk melanggar aturan-aturan yang berlaku bagi ucapan performatif.
Pertama, suatu ucapan performatif niscaya tidak sah adanya jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi dalam hal tertentu dan kalau keadaan tidak mengizinkan ucapan tersebut diucapkan. Misalnya "saya mengangkat saudara sebagai menteri luar negeri", tidak sah jikalau tidak diucapkan oleh kepala negara yang berwenang. Dan "saya mengambil Anda sebagai istriku yang sah" tidak sah jikalau diucapkan oleh seorang pria yang sudah beristri di suatu kawasan yang tidak memperbolehkan polygami.
Kedua, sanggup terjadi juga bahwa orang yang mengucapkan kalimat performatif tidak bonafide atau tidak bersikap jujur. Ia berjanji, misalnya, tetapi tidak mau menepati perjanjiannya. Kalau begitu, kemungkinan yang disajikan oleh bahasa ternyata disalahgunakan.
Ketiga, tingkah laris orang yang berbicara sanggup menyimpang dari apa yang diucapkannya. Ia menyampaikan "saya mengangkat saudara sebagai bendahara organisasi kita", tetapi kemudian ia sendiri masih tetap memegang kas. Kalau begitu, terjadi suatu inkonsistensi atau ketidaksetiaan.
Perlu dicatat lagi bahwa tiga cara untuk melanggar syarat-syarat yang berlaku untuk ucapan performatif tersebut tidak mengakibatkan kalimat performatif menjadi salah. Ucapan performatif tidak sanggup benar dan tidak sanggup salah, tetapi sanggup happy atau unhappy, artinya, pada tempatnya atau tidak, masuk akal atau tidak. Austin menyampaikan bahwa bahasa performatif hanya sanggup mengalami infelicities (kegagalan-kegagalan). Demikian halnya tidak ada norma-norma terang yang mengizinkan kita memilih ucapan-ucapan performatif menurut bentuk bahasa saja. Misalnya, tidak betul bahwa ucapan-ucapan performatif selalu menggunakan persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang, aktif. Ada juga ucapan performatif yang dirumuskan sebagai contohnya "hadirin sekalian dipersilahkan berdiri", "dilarang merokok", "bersama ini saudara diangkat sebagai eksekutif utama" dan lain sebagainya.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ucapan performatif di atas ternyata sanggup pula terjadi pada ucapan atau kalimat konstantif,
Pertama, di atas disebutkan bahwa suatu ucapan performatif tidaklah sah jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi tertentu dan kalau keadaan tidak mengizinkan ucapan tersebut diucapkan. Artinya ucapan tersebut tidak sah sebab tidak adanya salah satu faktor yang bergotong-royong perlu biar ucapan tersebut sanggup dikatakan. Misalnya ucapan performatif "saya menghadiahkan koleksi lukisan saya pada musium nasional" tidak sah kalau saya tidak mempunyai sama sekali lukisan-lukisan. Hal yang sama juga berlaku untuk ucapan konstantif "semua anak Bapak X bakir berenang" tidak sah kalau ternyata Bapak X tidak mempunyai anak sama sekali. Alasannya terang bahwa dua kalimat tersebut menunjuk pada suatu hal yang tidak ada. Demikian, halnya ucapan performatif tidak sah pula jikalau diucapkan oleh orang yang tidak mempunyai wewenang atau kompetensi dalam hal tertentu berlaku juga untuk jenis kalimat atau ucapan konstantif, saya tidak sanggup menyampaikan apa saja jikalau saya tidak mempunyai pengetahuan atau pengalaman wacana hal tersebut.
Kedua, hal yang sama benar juga wacana kejujuran sebagai syarat bagi ucapan performatif. Kalau orang menggunakan kalimat konstantif, boleh diandaikan bahwa ia tidak berbohong. Dengan kata lain, di sini juga harus dipenuhi syarat bahwa orang yang berbicara yakin wacana apa yang dikatakannya.
Ketiga, sama halnya dengan konsekuensi-konsekuensi yang menyusul suatu ucapan performatif. Ucapan konstantif juga mempunyai rupa-rupa konsekuensi untuk tingkah laris kemudian. Orang yang mengucapkan suatu kalimat (performatif ataupun konstantif) seolah-olah bertanggungjawab atas ucapannya dalam perbuatan-perbuatan selanjutnya. Jika orang memberitahukan, contohnya bahwa ia mengerti bahasa inggris, jangan lah terjadi ia tidak sanggup membaca teks inggris. Dengan kata lain, setiap ucapan mempunyai konsekuensi-konsekuensi dalam hidup selanjutnya.
Tentunya kita akan menyimpulkan bahwa yang tinggal hanya satu kriteria yang memilih perbedaan antara ucapan performatif dan ucapan konstantif, yaitu suatu ucapan konstantif sanggup dinyatakan benar atau salah, sedangkan hal ini mustahil dilakukan dengan ucapan performatif. Dan memang itulah perbedaan yang paling mencolok. Tapi Austin mengakui bahwa dalam hal perbedaan tersebut pun tidaklah selalu jelas. Suatu vonis, contohnya niscaya merupakan ucapan performatif "saya menjatuhkan eksekusi atas saudara enam bulan kurungan". Di sini sebutan benar atau tidak benar mustahil diterapkan. Namun demikian, ucapan tersebut niscaya bekerjasama dengan fakta-fakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau kemudian hakim menjatuhkan eksekusi atas orang-orang yang tidak bersalah, maka tidak sanggup dikatakan bahwa vonis itu tidak benar, sebab toh ada hubungannya dengan kebenaran fakta-fakta. Austin menyatakan ucapan semacam itu ialah fair or unfair to fact. Karena alasan ini pula perlu disimpulkan bahwa perbedaan antara ucapan performatif dan ucapan konstantif tidaklah bersifat mutlak.
Dalam how to do things with words, Austin menyimpulkan bahwa mengucapkan suatu kalimat selalu merupakan suatu perbuatan, suatu speech act. Orang yang berkata "saya memberitahukan bahwa beras di gudang sudah habis" tidaklah melukiskan suatu pemberitahuan melainkan melaksanakan suatu pemberitahuan. Tentu saja, isi pemberitahuannya sanggup benar atau salah, akan tetapi kualifikasi benar atau salah tidak sanggup diterapkan pada pemberitahuan sebagai perbuatan.
Demikian, dalam usahanya mempelajari speech act, Austin membedakan tiga macam act atau perbuatan yang sanggup memainkan peranan kalau kita mengucapkan suatu kalimat, yaitu locutionary act, illocutoinary act dan perlocutionary act. Maksudnya,
Pertama, locutionary act, kita memberikan suatu makna tertentu. Suatu ucapan memberikan suatu isi bahasa yang bermakna pada dirinya. Contoh "ada anjing di kebun"
Kedua, illocutionary act, dengan mengucapkan suatu kalimat kita menggunakan suatu daya (force) yang khas. Karena kita menggunkan illocutionary force itu ucapan kita menjadi, perjanjian, perintah, pernyataan, vonis dan lain sebagainya.
Ketiga, Perlocutionary act, ucapan kita sanggup mengakibatkan suatu imbas psikologis pada para pendengar, mereka setuju, merasa puas, takut dan lain sebagainya.
Demikian, kiranya sudah terang bahwa dalam hal ini pemakaian bahasa performatif dan konstantif harus dianggap sebagai perwujudan suatu illocionary act. Terakhir, John Searle ialah salah satu muridnya Austin yang paling menonjol, bukunya Searle yang paling utama ialah speech act. an essay in the philosophy of language merupakan percobaan untuk secara kritis melanjutkan anutan Austin. Searle berusaha merancang suatu teori wacana perbuatan tutur dalam rangka perbuatan-perbuatan institusional, artinya perbuatan-perbuatan yang mematuhi aturan-aturan yang berlaku bagi suatu kelompok manusia.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.