Ludwig Wittgenstein. Philosophical Investigations

Dari buku-buku yang diterbitkan sehabis meninggalnya, Philosophical Investigations yakni satu-satunya karya yang dimaksudkan Wittgenstein untuk diterbitkan. Tetapi hanya belahan pertama bukunya (dan itu memang belahan yang paling luas) diselesaikan oleh Wittgenstein sendiri, kecuali halaman-halaman terakhir; belahan kedua diberi bentuk definitifnya oleh G. Anscombe dan R. Rhees, dua murid Wittgenstein yang menerbitkan bukunya. Philosophical Investigations terdiri dari banyak pasal pendek (sering kali tidak melebihi beberapa kalimat saja; seluruh belahan pertama dibagi atas 693 nomor), yang kekerabatan satu sama lain umumnya tidak begitu erat. Banyak pokok dibicarakan di dalamnya. Pengarang sendiri menyebut bukunya "sebuah album". Untuk kita yang paling penting ialah pendapat gres wacana bahasa yang dikemukakan di sini; dengan itu ia mengkritik pendapatnya dalam Tractatus.
Sebagaimana sudah kita lihat, "teori gambar" yang diuraikan dalam Tractatus sanggup dianggap sebagai suatu perjuangan untuk memilih hakikat bahasa. Apa yang diterangkan dalam teori ini nampaknya tidak terlalu terang dalam bahasa sehari-hari, tetapi kebenarannya harus diakui, jikalau kita menggali di bawah permukaan hingga pada dasar bahasa.

Supaya makna bahasa kita sanggup dimengerti, kita harus mendapatkan adanya proposisi-proposisi elementer yang menunjuk kepada state affairs dalam realitas. Di kemudian hari Wittgenstein menginsafi bahwa dalam teori pertama itu sebenarnya ia tidak memperhatikan struktur tersembunyi dari segala macam bahasa, melainkan hanya melukiskan jenis bahasa tertentu. Dalam Philosophical Investigations ia menolak terutama tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama yaitu (1) bahwa bahasa digunakan hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state affairs (keadaan-keadaan faktual), (2) bahwa kalimat-kalimat menerima maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual, dan (3) bahwa setiap jenis bahasa sanggup dirumuskan dalam bahasa budi yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.

Kata-kata digunakan dengan banyak cara. Dapat dibandingkan dengan alat-alat, kata Wittgenstein. Tidak ada gunanya dan agaknya mustahil pula untuk merumuskan berfungsinya alat-alat dengan satu cara saja. Ada macam-macam alat yang memiliki macam-macam fungsi. Demikian halnya juga dengan bahasa, artinya kata-kata dan kalimat-kalimat yang kita pakai. Ada banyak sekali cara untuk memakai bahasa, bahkan berdasarkan perkataan Wittgenstein sendiri banyak cara yang tak terbilang jumlahnya, sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh para hebat logika. It is interesting to compare the multiplicity of the tools in language and of the ways they are used, the multiplicity of kinds of word and sentence; with what logiciand have said about the structure of language. (Including the author of the "Tractatus logico-philosophicus"). Apa sebabnya orang hingga menuntut bahwa bahasa digunakan dengan satu cara saja? Kalau begitu, orang bertolak dari suatu prasangka. Wittgenstein mengundang kita untuk melihat kenyataan dan tidak bertolak dari salah satu keadaan ideal. Don't think, but look (no.66).

Bagaimana mungkin Wittgenstein dulu tidak memperhatikan bahwa bahasa digunakan dengan banyak cara? Bukan lantaran suatu kekeliruan logis dalam jalan pikirannya atau lantaran ia melupakan salah satu hal yang penting. Pikirannya seolah-olah dihantui. Akal budi begitu terpesona sehingga ia tidak bisa memandang fakta-fakta dengan cara yang wajar. Sumber yang menjadikan bahasa salah dimengerti yakni bahasa sendiri. Dalam bahasa sendiri terletak suatu godaan untuk salah mengerti bahasa itu. Pertanyaan-pertanyaan "apakah maknanya suatu kata" atau "apakah maknanya suatu kalimat" gampang menyesatkan. Praktis diandaikan bahwa kata berarti dengan cara yang sama ibarat "Nero" yang kita berikan kepada anjing kita; atau dengan kata lain, bahwa kata selalu membuktikan kepada sesuatu. Dalam Philosophical Investigations Wittgenstein menyampaikan wacana teorinya mengenai makna dalam Tractatus: "kita terkurung dalam suatu gambaran". Gambaran (picture) di sini sanggup dimengerti sebagai model. Dalam Tractatus, Wittgenstein mendapatkan begitu saja suatu bahasa tertentu sebagai bahasa model atau bahasa standar. Dan ini mengandaikan bahwa bahasa pada umumnya sanggup dipahami dengan mempelajari model itu. Yang menjadi bahasa model ialah apa yang sanggup disebut "bahasa deskriptif": bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual. Pendapat ini terang sekali dirumuskan dalam perkataan Tractatus berikut ini, umpamanya: The general form of propositions is: this is how things are (4.5). Dalam Philosophical Investigations perkataan ini dikutip dan dikritik oleh Wittgenstein sendiri.

Untuk menjelaskan bahwa bahasa digunakan dengan rupa-rupa cara, dalam Philosophical Investigations Wittgenstein mengintrodusir istilah language games (permainan-permainan bahasa). Suatu permainan sanggup dilukiskan sebagai acara yang dilakukan berdasarkan aturan. Tetapi ada banyak sekali macam permainan. Ada permainan yang pakai bola atau kartu atau alat lain. Ada yang bisa dimainkan sendiri; ada yang memerlukan dua orang atau dua regu. Dan juga norma atau hukum yang digunakan untuk memilih kemenangan sangat berbeda satu sama lain. Malah, menang atau kalah tidak berperan dalam semua permainan. Tidak ada gunanya mencari persamaan dalam semua permainan. Tidak ada gunanya dan mustahil menunjukkan satu permainan sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain. Sebagaimana terdapat banyak permainan, demikian juga terdapat banyak "permainan bahasa", banyak cara untuk memakai bahasa. Wittgenstein memberi beberapa contoh: memberi perintah, melukiskan suatu objek, melaporkan suatu kejadian, main sandiwara, bersenda gurau, bertanya, berterima kasih, mengutuki, memberi salam, berdoa. Seperti tiap permainan merupakan suatu aktivitas, demikian pun bahasa kita. Dan kata-kata  yang digunakan menerima maknanya dalam acara itu. Karena itu makna suatu kalimat selalu tergantung pada cara dipakainya kalimat tersebut. Dengan perkataan lain, makna suatu kalimat sanggup dimengerti sebagai penggunaan kalimat itu.

Apakah kiprah filsafat dalam pandangan ini? Filsafat harus menilik permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya. Dengan menerangkan cara bahasa digunakan sering kali masalah-masalah filosofis sanggup dipecahkan. Wittgenstein sendiri membandingkan kiprah filsafat dengan terapi atau pengobatan. Ia juga membandingkan tujuan filsafat dengan menunjuk kepada lalat jalan keluar dari botol lalat. Atau dengan cara lain lagi ia menyampaikan bahwa filsafat tidak berbuat lain daripada mengganti pemakaian metafisis kata-kata kita dengan pemakaiannya sehari-hari.


***
Dalam dua karya yang dibicarakan di atas Wittgenstein mengemukakan dua pandangan filosofis yang sangat berbeda. Oleh lantaran itu sudah menjadi kebiasaan untuk membedakan Wittgenstein I dengan Wittgenstein II. Dengan dua pandangan ini ia menjadi sumber ide bagi dua anutan filosofis yang cukup penting, biarpun kedua-duanya tidak disetujui oleh Wittgenstein sendiri. Di satu pihak Lingkungan Wina yang memegang peranan penting kira-kira satu dasawarsa sebelum Perang Dunia II. Di lain pihak gerakan filosofis yang ditunjukkan dengan aneka macam nama, antara lain "filsafat analitis". Gerakan ini mulai berkembang di Cambridge, tetapi setelah Perang Dunia II terutama berpusat di Oxford. Terpengaruh oleh Wittgenstein II, mereka beropini bahwa filsafat harus berpegang pada prinsip Don't ask for the meaning, ask for the use (jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa). Analisis bahasa bagi mereka berarti menunjukkan bagaimana bahasa secara konkret dipakai. Dan objek analisis ialah terutama bahasa sehari-hari. Filsuf-filsuf yang mempraktekan filsafat dengan cara ini dikenal juga dengan nama ordinary language philosophers


Download di Sini


Sumber.

Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia

Baca Juga
1. Ludwig Wittgenstein. Biografi dan Karya
2. Ludwig Wittgenstein. Tractatus logico-philosophicus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel