Ludwig Wittgenstein. Tractatus Logico-Philosophicus
Ketika Russel menerbitkan artikel-artikelnya wacana atomisme logis dalam majalah The Monist pada tahun 1918 ia menambah suatu catatan di mana dijelaskannya bahwa maksudnya tidak lain daripada menguraikan beberapa gagasan yang diterimanya dari Ludwig Wittgenstein, murid dan sahabatnya. Tetapi lantaran semenjak bulan Agustus 1914 ia tidak lagi mendengar gosip wacana sahabatnya, bahkan tidak tahu entah beliau masih hidup, seluruh pertanggungjawabannya untuk gagasan-gagasan itu—katanya—menjadi beban Russell* sendiri.
Jadi, pada waktu yang sama Russell* memperlihatkan serangkaian ceramah (yang kemudian diterbitkan dalam bentuk artikel) dan Wittgenstein menuntaskan buku Tractatus. Ditempat-tempat yang jauh satu sama lain, terpisah lantaran keadaan perang, mereka membuatkan pikiran-pikiran yang sama. Jika Russell* berkata bahwa ia mengambil begitu saja sejumlah gagasan dari sahabatnya, ia tentu terlalu modest. Pasti terjadi efek timbal-balik antara guru dan murid. Tetapi ia juga terlalu optimis dengan mengandaikan begitu saja bahwa uraiannya sama dengan pendirian Wittgenstein. Kemudian menjadi kentara adanya perbedaan cukup mendalam antara pikiran Russell* dan Wittgenstein. Selama hidupnya Wittgenstein acap kali menyampaikan bahwa filsafatnya tidak dimengerti, bahkan tidak oleh sahabat-sahabat dan murid-muridnya.
Tractatus tentunya tidak panjang, tidak lebih dari 75 halaman saja. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang agak pendek. Susunannya diatur demikian rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi berdasarkan system decimal. Menginterpretasikan buku ini niscaya tidak mudah. Wittgenstein memperlihatkan buah hasil pemikirannya, tetapi sering kali tidak menyebut alasan-alasan dan argumentasi-argumentasi yang menghantar beliau kepada kesimpulan-kesimpulan pemikirannya. Syukurlah bahwa kini sudah ada beberapa komentar yang memudahkan untuk mengerti Tractatus dengan lebih baik, sebagiannya berdasarkan catatan-catatan Wittgenstein sendiri: Notebooks 1914-1916 (1961; edisi yang diperbaiki: 1979). Sulit sekali juga untuk membedakan buku Wittgenstein dengan anutan Russell*. Kedua-duanya menganut atomisme logis (biarpun Wittgenstein tidak memakai istilah itu), tetapi ada perbedaan mendalam yang tidak menyangkut detail-detail saja. Di sini kami mencoba melukiskan garis-garis besar buku Witgenstein, tanpa banyak memperhatikan perbedaan-perbedaan dengan Russell*.
Dalam pendahuluan bukunya Witgenstein sendiri menyingkirkan usahanya dengan berkata: The Whole sense of the book might be summed up in the following words: What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence. Jadi, buku ini berbicara wacana Bahasa, atau lebih sempurna lagi bila dikatakan buku ini berbicara wacana logika bahasa. Salah satu unsur yang penting sekali dalam uraiannya yakni apa yang disebutnya picture theory atau “teori gambar” yang dianggap sebagai teori wacana makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein beropini bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Rupanya wangsit ini terkilas dalam pikiran Wittgenstein saat ia membaca dalam surat kabar wacana suatu sidang di mana direkonstruksikan suatu kecelakaan kemudian lintas. Katakan saja, orang memakai sebungkus rokok untuk melambangkan suatu kendaraan beroda empat dan sekotak korek api untuk melambangkan kendaraan beroda empat lain. Menurut Wittgenstein hal semacam itu berlangsung juga dalam bahasa. Suatu proposisi yakni gambar bukan dalam arti kiasan (maksudnya bukan bahwa proposisi dibandingkan dengan gambar), melainkan secara harfiah. Memang benar, dalam bahasa sehari-hari tidak begitu kelihatan bahwa ucapan-ucapan menggambarkan dunia, tetapi kalimat-kalimat yang kita pakai sanggup dianalisis menjadi sejumlah proposisi lebih sederhana. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak sanggup dianalisis lagi. Perlu ditambahkan dengan proposisi elementer dimaksudkannya suatu bentuk logis, bukan suatu ucapan konkret. Latar belakang dari teori Wittgenstein yakni logika modern sebagaimana dirumuskan oleh Russell* dan Whitehead.
Inti pemikiran Wittgenstein yakni bahwa suatu proposisi elementer menunjuk kepada suatu state of affair (Bahasa Jerman: Sacherhalt) dalam realitas. Suatu proposisi elemen terdiri dari nama-nama. Suatu nama menunjuk kepada suatu objek dalam realitas. Tetapi nama-nama tersendiri tidak memiliki makna. Nama-nama tersendiri tidak menyampaikan sesuatu dan kesannya mustahil bersifat benar atau tidak benar. Hanyalah proporsisi memiliki makna. Kalau ditanyakan apakah yang dimaksud Wittgenstein dengan nama, kita tidak mendapat balasan yang jelas. Para komentator tidak baiklah apakah dengan nama dimaksudkannya term-term primitif menyerupai contohnya “warna”, “benda material”, dan sebagainya atau kah apa yang disebut logical proper names oleh Russell* menyerupai “ini” dan “itu”. Wittgenstein sendiri tidak memberi pola wacana nama atau proporsisi elementer, menyerupai ia juga tidak memberi pola wacana “objek tunggal” (simple object) dan state of affairs. Dari Notebooks 1914-1916 kita tahu bahwa ia senantiasa berusaha untuk mendapat contoh-contoh yang tepat, tetapi akhirnya ia menghentikan usaha-usaha itu. Ia berkeyakinan bahwa ia memiliki alasan-alasan baik untuk menuntut adanya nama-nama dan proposisi-proposisi elementer biarpun contohnya mustahil diberikan.
Kalau Wittgenstein menyampaikan bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan duduk suatu kasus (state of affairs) dalam realitas, maksudnya ialah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur realitas sepadan satu sama lain. Dengan perkataan lain, struktur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Persesuaian itu sebaiknya tidak dibandingkan dengan hubungan antara lukisan atau foto dengan apa yang dipotret, tetapi lebih sempurna dibandingkan dengan hubungan antara peta kota dan kota itu sendiri atau antara partitur, piringan hitam dan musik yang didengar: pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur itu secara formal sama, biarpun secara material sama sekali berlainan. Wittgenstein beropini bahwa hanya “teori gambar” ini sanggup menjelaskan bahwa kita sanggup menyampaikan sesuatu wacana realitas. Hanya dengan teori ini sanggup diterangkan bahwa bahasa kita bermakna.
Suatu proposisi beragam terdiri dari proposisi-proposisi elementer. Suatu proposisi beragam yakni truth-function, artinya kebenarannya tergantung dari proposisi-proposisi elementer yang membentuknya. Wittgenstein menekankan bahwa apa yang disebut logical constanst (“tidak”, “dan”, “atau”, “kalau—maka”) tidak memperlihatkan objek-objek dalam realitas. Dalam realitas tidak ada sesuatu yang sesuai dengannya. Seandainya tidak, maka p akan merupakan sesuatu yang lain daripada—p (p mengacu ke proposisi tanda—mengacu ke pengingkaran).
Ada dua proposisi yang tidak sanggup ditangani dengan cara yang sama menyerupai proposisi-proposisi yang menggambarkan realitas, yaitu di satu pihak tautology-tautologi dan di lain pihak kontradiksi-kontradiksi. Tautology-tautologi itu selalu benar (misalnya “John berada di kawasan A dan ia tidak berada di kawasan A). Dalam pandangan Wittgenstein tautology dan pertentangan tolong-menolong tidak merupakan pertentangan yang sejati, lantaran tidak menggambarkan sesuatu. Yang penting ialah bahwa berdasarkan beliau proposisi-proposisi logika (berarti kebenaran-kebenaran dan prinsip-prinsip logis) harus digolongkan dalam tautology. Proposisi-proposisi ini tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak menyampaikan sesuatu, lantaran tidak merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi proposisi-proposisi ini bukan tidak bermakna.
Salah satu konsekuensi yang harus ditarik dari “teori gambar” Wittgenstein ialah bahwa proposisi-proposisi metafisis tidak bermakna. Oleh lantaran itu Wittgenstein sanggup dianggap sebagai filusuf yang berorientasi anti metafisis. Tentu saja menolak metafisika bukanlah hal yang gres dalam sejarah filsafat. Kant sudah membuatnya dan sesudahnya lagi positivisme. Yang gres pada Wittgenstein ialah bahwa ia menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna atas nama suatu “logika bahasa”. Menurut beliau filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat yakni menjelaskan kepada orang apa yang sanggup dikatakan dan apa yang tidak sanggup dikatakan.
Metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mau menyampaikan apa yang tidak sanggup dikatakan. Tetapi Wittgenstein beropini juga memang ada hal-hal yang tidak sanggup dikatakan. There are, indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest. They are what ia mystical. Pada akhirnya bukunya ia memandang beberapa aspek dari “yang mistis”. Antara hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa disebutnya: subjek, kematian, Allah, dan bahasa sendiri. Marilah kita memandang empat pokok ini dari lebih dekat.
(1) Karena bahasa merupakan citra dunia, subjek yang memakai bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata kita tidak sanggup diarahkan kepada diri sendiri, demikian juga subjek yang memakai bahasa tidak sanggup mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
(2) Tidak mungkin juga berbicara wacana kematiannya sendiri, lantaran kematian tidak merupakan suatu insiden yang sanggup digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seolah-olah memagari dunia kita, tetapi kita tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak sanggup dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.
(3) Juga Allah tidak sanggup dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak sanggup dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu insiden dalam dunia sanggup dipandang sebagai “campur tangan” Allah. Sebab, kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak sanggup bicara wacana Allah dengan cara yang bermakna.
(4) Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak sanggup bicara wacana dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa si pembaca dihantar ke suatu titik di mana beliau mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seolah-olah harus membuang tangga setelah memanjat dengannya. Ini menjelaskan juga apa sebabnya Tractatus merupakan buku yang begitu sulit. Bahasa tidak sanggup melukiskan secara pribadi apakah itu bahasa, sedangkan tanpa kesulitan apa pun bahasa sanggup melukiskan hukum-hukum fisis dan biologis, umpamanya. Oleh karenanya Wittgenstein memakai metafora dan analogi untuk menjelaskan apa yang tolong-menolong tidak sanggup dikatakan. Sekarang kita sanggup mengerti juga dalil 7 dan terakhir bukunya: What we cannot speak about we must pass over in silence. Dengan itu tidak dikatakan sesuatu sepele saja, lantaran kita sudah melihat bahwa memang ada hal-hal yang tidak sanggup dikatakan.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Ludwig Wittgenstein. Biografi dan Karya
2. Ludwig Wittgenstein. Philosophical Investigations
Tractatus tentunya tidak panjang, tidak lebih dari 75 halaman saja. Buku ini terdiri dari pernyataan-pernyataan yang agak pendek. Susunannya diatur demikian rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi berdasarkan system decimal. Menginterpretasikan buku ini niscaya tidak mudah. Wittgenstein memperlihatkan buah hasil pemikirannya, tetapi sering kali tidak menyebut alasan-alasan dan argumentasi-argumentasi yang menghantar beliau kepada kesimpulan-kesimpulan pemikirannya. Syukurlah bahwa kini sudah ada beberapa komentar yang memudahkan untuk mengerti Tractatus dengan lebih baik, sebagiannya berdasarkan catatan-catatan Wittgenstein sendiri: Notebooks 1914-1916 (1961; edisi yang diperbaiki: 1979). Sulit sekali juga untuk membedakan buku Wittgenstein dengan anutan Russell*. Kedua-duanya menganut atomisme logis (biarpun Wittgenstein tidak memakai istilah itu), tetapi ada perbedaan mendalam yang tidak menyangkut detail-detail saja. Di sini kami mencoba melukiskan garis-garis besar buku Witgenstein, tanpa banyak memperhatikan perbedaan-perbedaan dengan Russell*.
Dalam pendahuluan bukunya Witgenstein sendiri menyingkirkan usahanya dengan berkata: The Whole sense of the book might be summed up in the following words: What can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence. Jadi, buku ini berbicara wacana Bahasa, atau lebih sempurna lagi bila dikatakan buku ini berbicara wacana logika bahasa. Salah satu unsur yang penting sekali dalam uraiannya yakni apa yang disebutnya picture theory atau “teori gambar” yang dianggap sebagai teori wacana makna. Sebagaimana tersirat dalam buku ini, Wittgenstein beropini bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa. Rupanya wangsit ini terkilas dalam pikiran Wittgenstein saat ia membaca dalam surat kabar wacana suatu sidang di mana direkonstruksikan suatu kecelakaan kemudian lintas. Katakan saja, orang memakai sebungkus rokok untuk melambangkan suatu kendaraan beroda empat dan sekotak korek api untuk melambangkan kendaraan beroda empat lain. Menurut Wittgenstein hal semacam itu berlangsung juga dalam bahasa. Suatu proposisi yakni gambar bukan dalam arti kiasan (maksudnya bukan bahwa proposisi dibandingkan dengan gambar), melainkan secara harfiah. Memang benar, dalam bahasa sehari-hari tidak begitu kelihatan bahwa ucapan-ucapan menggambarkan dunia, tetapi kalimat-kalimat yang kita pakai sanggup dianalisis menjadi sejumlah proposisi lebih sederhana. Wittgenstein berkeyakinan bahwa semua ucapan kita mengandung satu atau lebih proposisi elementer, artinya proposisi yang tidak sanggup dianalisis lagi. Perlu ditambahkan dengan proposisi elementer dimaksudkannya suatu bentuk logis, bukan suatu ucapan konkret. Latar belakang dari teori Wittgenstein yakni logika modern sebagaimana dirumuskan oleh Russell* dan Whitehead.
Inti pemikiran Wittgenstein yakni bahwa suatu proposisi elementer menunjuk kepada suatu state of affair (Bahasa Jerman: Sacherhalt) dalam realitas. Suatu proposisi elemen terdiri dari nama-nama. Suatu nama menunjuk kepada suatu objek dalam realitas. Tetapi nama-nama tersendiri tidak memiliki makna. Nama-nama tersendiri tidak menyampaikan sesuatu dan kesannya mustahil bersifat benar atau tidak benar. Hanyalah proporsisi memiliki makna. Kalau ditanyakan apakah yang dimaksud Wittgenstein dengan nama, kita tidak mendapat balasan yang jelas. Para komentator tidak baiklah apakah dengan nama dimaksudkannya term-term primitif menyerupai contohnya “warna”, “benda material”, dan sebagainya atau kah apa yang disebut logical proper names oleh Russell* menyerupai “ini” dan “itu”. Wittgenstein sendiri tidak memberi pola wacana nama atau proporsisi elementer, menyerupai ia juga tidak memberi pola wacana “objek tunggal” (simple object) dan state of affairs. Dari Notebooks 1914-1916 kita tahu bahwa ia senantiasa berusaha untuk mendapat contoh-contoh yang tepat, tetapi akhirnya ia menghentikan usaha-usaha itu. Ia berkeyakinan bahwa ia memiliki alasan-alasan baik untuk menuntut adanya nama-nama dan proposisi-proposisi elementer biarpun contohnya mustahil diberikan.
Kalau Wittgenstein menyampaikan bahwa dalam suatu proposisi elementer digambarkan duduk suatu kasus (state of affairs) dalam realitas, maksudnya ialah bahwa unsur-unsur dalam proposisi dan unsur-unsur realitas sepadan satu sama lain. Dengan perkataan lain, struktur proposisi sesuai dengan struktur yang terdapat dalam realitas. Persesuaian itu sebaiknya tidak dibandingkan dengan hubungan antara lukisan atau foto dengan apa yang dipotret, tetapi lebih sempurna dibandingkan dengan hubungan antara peta kota dan kota itu sendiri atau antara partitur, piringan hitam dan musik yang didengar: pada taraf yang berbeda-beda pola-pola hubungan antara unsur-unsur itu secara formal sama, biarpun secara material sama sekali berlainan. Wittgenstein beropini bahwa hanya “teori gambar” ini sanggup menjelaskan bahwa kita sanggup menyampaikan sesuatu wacana realitas. Hanya dengan teori ini sanggup diterangkan bahwa bahasa kita bermakna.
Suatu proposisi beragam terdiri dari proposisi-proposisi elementer. Suatu proposisi beragam yakni truth-function, artinya kebenarannya tergantung dari proposisi-proposisi elementer yang membentuknya. Wittgenstein menekankan bahwa apa yang disebut logical constanst (“tidak”, “dan”, “atau”, “kalau—maka”) tidak memperlihatkan objek-objek dalam realitas. Dalam realitas tidak ada sesuatu yang sesuai dengannya. Seandainya tidak, maka p akan merupakan sesuatu yang lain daripada—p (p mengacu ke proposisi tanda—mengacu ke pengingkaran).
Ada dua proposisi yang tidak sanggup ditangani dengan cara yang sama menyerupai proposisi-proposisi yang menggambarkan realitas, yaitu di satu pihak tautology-tautologi dan di lain pihak kontradiksi-kontradiksi. Tautology-tautologi itu selalu benar (misalnya “John berada di kawasan A dan ia tidak berada di kawasan A). Dalam pandangan Wittgenstein tautology dan pertentangan tolong-menolong tidak merupakan pertentangan yang sejati, lantaran tidak menggambarkan sesuatu. Yang penting ialah bahwa berdasarkan beliau proposisi-proposisi logika (berarti kebenaran-kebenaran dan prinsip-prinsip logis) harus digolongkan dalam tautology. Proposisi-proposisi ini tidak mengungkapkan suatu pikiran, tidak menyampaikan sesuatu, lantaran tidak merupakan suatu picture (gambar) dari sesuatu. Tetapi proposisi-proposisi ini bukan tidak bermakna.
Salah satu konsekuensi yang harus ditarik dari “teori gambar” Wittgenstein ialah bahwa proposisi-proposisi metafisis tidak bermakna. Oleh lantaran itu Wittgenstein sanggup dianggap sebagai filusuf yang berorientasi anti metafisis. Tentu saja menolak metafisika bukanlah hal yang gres dalam sejarah filsafat. Kant sudah membuatnya dan sesudahnya lagi positivisme. Yang gres pada Wittgenstein ialah bahwa ia menyatakan bahwa metafisika tidak bermakna atas nama suatu “logika bahasa”. Menurut beliau filsafat tidak merupakan suatu ajaran, melainkan suatu aktivitas. Tugas filsafat yakni menjelaskan kepada orang apa yang sanggup dikatakan dan apa yang tidak sanggup dikatakan.
Metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika mau menyampaikan apa yang tidak sanggup dikatakan. Tetapi Wittgenstein beropini juga memang ada hal-hal yang tidak sanggup dikatakan. There are, indeed, things that cannot be put into words. They make themselves manifest. They are what ia mystical. Pada akhirnya bukunya ia memandang beberapa aspek dari “yang mistis”. Antara hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa disebutnya: subjek, kematian, Allah, dan bahasa sendiri. Marilah kita memandang empat pokok ini dari lebih dekat.
(1) Karena bahasa merupakan citra dunia, subjek yang memakai bahasa, tidak termasuk dunia. Seperti mata kita tidak sanggup diarahkan kepada diri sendiri, demikian juga subjek yang memakai bahasa tidak sanggup mengarahkan bahasa kepada dirinya sendiri.
(2) Tidak mungkin juga berbicara wacana kematiannya sendiri, lantaran kematian tidak merupakan suatu insiden yang sanggup digolongkan antara kejadian-kejadian lain. Kematian kita seolah-olah memagari dunia kita, tetapi kita tidak termasuk di dalamnya. Kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak sanggup dibicarakan sebagai suatu unsur dunia.
(3) Juga Allah tidak sanggup dipandang sebagai sesuatu dalam dunia. Tidak sanggup dikatakan pula bahwa Allah menyatakan diri dalam dunia. Wittgenstein bermaksud bahwa tidak pernah suatu insiden dalam dunia sanggup dipandang sebagai “campur tangan” Allah. Sebab, kalau demikian, Allah bekerja sebagai sesuatu dalam dunia. Akibatnya kita tidak sanggup bicara wacana Allah dengan cara yang bermakna.
(4) Yang paling paradoksal ialah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak sanggup bicara wacana dirinya sendiri. Bahasa mencerminkan dunia, tetapi suatu cermin tidak memantulkan dirinya sendiri. Karena itu Wittgenstein berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa si pembaca dihantar ke suatu titik di mana beliau mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidak bermakna. Ia seolah-olah harus membuang tangga setelah memanjat dengannya. Ini menjelaskan juga apa sebabnya Tractatus merupakan buku yang begitu sulit. Bahasa tidak sanggup melukiskan secara pribadi apakah itu bahasa, sedangkan tanpa kesulitan apa pun bahasa sanggup melukiskan hukum-hukum fisis dan biologis, umpamanya. Oleh karenanya Wittgenstein memakai metafora dan analogi untuk menjelaskan apa yang tolong-menolong tidak sanggup dikatakan. Sekarang kita sanggup mengerti juga dalil 7 dan terakhir bukunya: What we cannot speak about we must pass over in silence. Dengan itu tidak dikatakan sesuatu sepele saja, lantaran kita sudah melihat bahwa memang ada hal-hal yang tidak sanggup dikatakan.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia
Baca Juga
1. Ludwig Wittgenstein. Biografi dan Karya
2. Ludwig Wittgenstein. Philosophical Investigations