Max Scheler. Fatwa Wacana Etika

Bukunya yang paling populer di bidang moral dan mungkin yang paling penting dari semua buku yang ditulisnya berjudul Formalisme dalam moral dan etika-nilai yang bersifat material. Buku ini terdiri dari dua kepingan yang masing-masing membicarakan wacana duduk masalah nilai dan duduk masalah persona.
1. Tentang Etika
Ia ingin menyampaikan bahwa moralitas perbuatan-perbuatan insan berdasar pada berlakunya nilai-nilai objektif, yang tidak tergantung pada manusia. Itulah yang ia maksud dengan etika-nilai material, yang dipertentangkan dengan moral Kant* yang bersifat formal saja. Kant* beranggapan bahwa suatu perbuatan sanggup dianggap baik dari sudut moral, yang penting yakni bentuknya (formal), bukan isinya (material). Jadi, kiranya sudah terperinci bahwa buku Scheler merupakan kritik mendasar atas moral Kant*.


Kant telah merancang etikanya untuk menghindari relativisme. Kalau suatu perbuatan menerima predikat “baik” lantaran sesuatu yang menggerakkan perbuatan itu dari luar (suatu tujuan atau barang tertentu), berdasarkan Kant* kita jatuh dalam relativisme dan “yang baik” sudah kehilangan sifat absolutnya. Scheler untuk sebagian besar menyetujui pendapat Kant* tersebut. Kalau menyangkut tujuan atau barang tertentu, pendapat Kant sanggup diterima. Tetapi Kant* keliru dalam menerapkan pada nilai-nilai juga. Suatu analisis fenomenologis sanggup menyampaikan hal itu. Nilai-nilai tidak berubah-ubah dan tidak bersifat subjektif. Nilai-nilai (seperti “indah”, “luhur”, dan lain sebagainya) ditangkap secara pribadi berdasarkan intuisi. Nilai-nilai tidak tergantung pada subjek, tetapi sebaliknya subjek tergantung pada nilai-nilai dan hierarki yang berlaku antara nilai-nilai itu. Tidak sanggup dikatakan pula bahwa lebih dulu suatu benda diamati dan gres melalui suatu proses abstraksi sifat “indah” dilepaskan dari benda itu. Kita secara pribadi melihat benda itu (lukisan, umpamanya) sebagai indah. Bahkan, dikatakan Scheler, pengenalan wacana nilai mendahului pengalaman wacana benda. Melihat suatu lukisan yang indah berarti “menerapkan” padanya nilai “indah”. Tidak sanggup dihindarkan kesimpulan bahwa nilai-nilai berlaku secara objektif dan apriori.

Ada banyak sekali nilai. Berdasarkan penelitian fenomenologisnya, Scheler menggolongkan nilai-nilai dalam empat kelompok berikut ini: [1] Nilai-nilai yang menyangkut kesenangan dan ketidaksenangan terdapat dalam objek-objek yang berpadanan dengan makhluk-makhluk yang mempunyai indera. Karena indera-indera ini berbeda-beda, banyak sekali benda sanggup nampak sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan kepada banyak sekali individu, tetapi nilai-nilai itu sendiri tetap sama. [2] Nilai-nilai lain berkaitan dengan vitalitas: nilai-nilai vital. Di sini contoh-contoh utama yakni “yang halus” (the noble) dan “yang biasa” (the vulgar), ibarat tampak pada keturunan-keturunan lebih tinggi atau lebih rendah dari tumbuh-tumbuhan atau binatang-binatang, berdasarkan vitalitas, kesehatan, dan lain-lain. Dengan mendapatkan nilai-nilai ini, Scheler niscaya dipengaruhi oleh Nietzsche*. [3] Nilai-nilai rohani tidak tergantung dari hubungan timbal balik antara organisme dengan dunia sekitarnya. Nilai-nilai ini mencakup antara lain: nilai-nilai estetis (bagus dan jelek), nilai-nilai yang menyangkut benar dan salah, nilai-nilai bekerjasama dengan pengetahuan murni (pengetahuan yang dijalankan tanpa pamrih). [4] “Yang kudus” dan “yang tidak kudus” merupakan nilai-nilai yang menyangkut “objek-objek absolut”.

Jika kita memandang daftar nilai yang disusun Scheler, yang menarik perhatian ialah bahwa ia hampir tidak menyebut nilai-nilai moral yang khas. Alasannya ialah bahwa berdasarkan ia perbuatan-perbuatan moral kita terarah kepada nilai-nilai non moral. Nilai moral gres tampak bila kita mewujudkan nilai non moral dengan cara semestinya. Scheler menyampaikan bahwa nilai-nilai moral “membonceng” pada perbuatan-perbuatan yang merealisasikan nilai-nilai non moral.

Scheler beropini bahwa di antara nilai-nilai terdapat suatu hirarki. Nilai-nilai vital harus dianggap lebih penting daripada nilai-nilai kesenangan, nilai-nilai rohani lebih tinggi daripada nilai-nilai vital, dan nilai-nilai religius harus ditempatkan di atas nilai-nilai rohani. Hirarki ini diterapkan juga berdasarkan intuisi. Scheler menyebutkan lima kriteria untuk memilih hirarki tersebut. [1] Kriterium pertama yakni lamanya suatu nilai, dalam arti: kecenderungan intern untuk bertahan terus. Sebagai pola sanggup disebut kebahagiaan, bila dibanding dengan kesenangan yang cepat berlalu; atau cinta bila dibandingkan dengan rasa simpati yang gampang hilang. [2] Kriterium kedua ialah bahwa nilai-nilai yang lebih rendah sanggup dibagi-bagi di antara banyak sekali orang, sedangkan nilai-nilai yang lebih tinggi mustahil dibagi-bagi (misalnya, materi makanan dibanding dengan barang seni). Namun demikian, lebih banyak orang sanggup mengambil kepingan dalam nilai-nilai lebih tinggi daripada dalam nilai-nilai lebih rendah. [3] Kriterium ketiga yakni bahwa makin tinggi suatu nilai makin kurang pula ia didasarkan pada nilai-nilai lain dan makin rendah suatu nilai makin banyak pula ia didasarkan pada nilai-nilai lain. Misalnya, “yang berguna” sebagai nilai didasarkan pada “yang menyenangkan”, tetapi “yang menyenangkan” didasarkan pada nilai-nilai vital yang terakhir ini didasarkan lagi pada nilai-nilai rohani. [4] Kriterium keempat ialah bahwa nilai lebih tinggi menghasilkan rasa puas yang lebih mendalam pula. [5] Dan kriterium terakhir ialah nilai-nilai lebih tinggi kurang dialami dalam organisme subjek bersangkutan. Demikian, misalnya, “yang menyenangkan” bekerjasama dekat dengan indera dan perasaan-perasaan inderawi, sedangkan perasaan-perasaan itu kurang penting (malah jadinya sama sekali tidak penting) bagi nilai-nilai yang lebih tinggi.

Barangkali orang merasa heran, lantaran dengan cara begitu mendetail Scheler memilih susunan nilai-nilai. Tetapi bagi ia duduk masalah ini sangat penting, alasannya yakni dalam setiap situasi nyata kita harus mewujudkan nilai-nilai yang lebih penting. Karena itu perlu kita sanggup memilih tinggi rendahnya suatu nilai.


2. Tentang Persona
Menurut Scheler kualitas moral merupakan ciri yang menempel pada perbuatan atau lebih sempurna lagi menempel pada aktus kehendak yang dijalankan dalam perbuatan. Dalam kepingan kedua bukunya, Scheler menyebarkan teorinya wacana persona dalam hubungan dekat dengan pendapatnya wacana perbuatan-perbuatan. Ia menolak pendirian wacana persona yang terdapat dalam kalangan skolastik maupun pada Kant. Dalam kalangan skolastik persona dimengerti sebagai substansi dan bagi Kant persona merupakan suatu X yang tidak sanggup ditentukan lebih lanjut dan harus diterima sebagai subjek acara rasional. Bagi Scheler persona yakni dasar kesatuan banyak sekali aktus yang berlainan jenisnya. Unsur yang terakhir ini sangat penting. Menurut Scheler, suatu individu yang hanya menjalankan aktus-aktus yang sejenis, tidak sanggup disebut persona. Misalnya, Allah ibarat dimengerti oleh Aristoteles* sebagai “pemikiran yang memandang pemikirannya” bagi Scheler tidak sanggup dianggap sebagai persona. Persona tidak merupakan suatu hal di atas atau di belakang aktus-aktus konkret, tetapi hanya ada dan menghayati diri dalam perwujudan aktus-aktus. Jadi, dari aktus ke aktus persona tidak pernah sama begitu saja, tetapi selalu berubah. Pengertian Scheler wacana persona terperinci sekali bersifat dinamis.

Scheler menekankan bahwa persona mustahil dijadikan objek. Itulah sebabnya mengapa persona dihentikan disamakan dengan “aku” yang tentu sanggup dialami dalam persepsi batin. Karena alasan yang sama saya juga tidak sanggup menetapkan persona-persona lain secara langsung, tetapi hanya dengan turut mewujudkan aktus-aktus mereka. Suatu ilmu pengetahuan wacana persona tidak mungkin. Persona itu secara prinsipil tertutup bagi penelitian psikologis.

Yang membedakan persona-persona satu sama lain ialah Sosein setiap persona yang tidak sanggup dipikirkan secara umum atau dengan kata lain tidak sanggup dikonseptualisasikan. Sosein itu harus dimengerti sebagai semacam hakikat pribadi yang memilih persona ini sebagai Napoleon, misalnya. Sejak Plato*, hakikat selalu dimengerti sebagai sesuatu yang bersifat umum, tetapi bagi Scheler menciptakan persona menjadi persona ini (berbeda dengan semua persona lain) yakni suatu “hakikat pribadi”. Kodrat rasional, misalnya, terdapat pada semua insan dengan cara persis sama. Tetapi persona bersifat sama sekali individual dan tidak sanggup diulangi. Tidak pernah ada dua persona yang persis sama.


Download di Sini


Sumber

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta

Baca Juga
1. Max Scheler. Biografi dan Karya
2. Max Scheler. Fenomenologi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel