Mazhab Frankfurt. Max Horkheimer (1895-1973)
Seperti sudah kita ketahui pada postingan sebelumnya, pandangan filosofis dari Mazhab Frankfurt* dikenal sebagai “teori kritis”. Nama ini diciptakan oleh Horkheimer. Kata “kritis” di sini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial yang terdapat pada ketika itu (termasuk marxisme ortodoks) dan serentak juga dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada ketika itu, yang sangat memerlukan perubahan radikal. Untuk sekedar memperkenalkan pemikiran Max Horkheimer, perhatian kita terutama akan dipusatkan pada artikel populer yang berjudul Traditionalle und kritische (Teori tradisional dan teori kritis) dan dimuat dalam Zeitschrift fur Sozialforschung tahun 1937. Artikel ini sanggup dianggap sebagai semacam acara kerja bagi Institut Penelitian. Maksud Horkheimer dalam artikel ini ialah menganalisis fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam masyarakat. Sehubungan dengan konteks itu ia membedakan antara teori tradisional dan teori kritis. Dengan teori tradisional dimaksudkannya anggapan yang secara umum dianut dalam ilmu pengetahuan.
Menurut anggapan ini dengan teori dimaksudkan suatu keseluruhan ucapan-ucapan wacana bidang keahlian tertentu yang disusun sedemikian rupa sehingga semua ucapan itu sanggup diturunkan dari sejumlah ucapan dasar. Contoh klasik yaitu pandangan wacana susunan ilmu pengetahuan sebagaimana diuraikan oleh Descartes* dalam Discours de la method. Descartes mengemukakan pandangan ini berdasarkan denah deduktif. Tetapi berdasarkan Horkheimer teori tradisional terdapat juga dalam bentuk induktif. Sebagai pola ia menunjuk pada John Stuart Mill. Cita-cita teori tradisional ialah membuat suatu sistem ilmiah menyeluruh yang mencakup semua bidang keahlian, biarpun para penganutnya mengakui bahwa harapan ini kini masih jauh dari terwujudnya. Ilmu-ilmu masih tetap terpecah-pecah atas aneka macam bidang ilmiah yang mempunyai peristilahan dan metode sendiri-sendiri. Dalam konteks ini sanggup dicatat lagi bahwa ilmu pengetahuan wacana insan dan masyarakat menganggap ilmu pengetahuan alam sebagai contohnya, sambil mengakui bahwa sistemasitasnya masih kurang sekali, melihat masalah-masalah kemasyarakatan terlalu kompleks.
Tentu saja, Horkheimer tidak bermaksud menyangkal bahwa ilmu-ilmu modern yang ditandai oleh pengertian tradisional wacana teori mempunyai jasa-jasa besar. Tetapi kelemahannya ialah bahwa mereka memisahkan begitu saja pemikiran dan aksi. Yang dipentingkan oleh teori tradisional hanyalah menyusun suatu sistem prinsip-prinsip—tentu saja, konsisten satu sama lain—yang melukiskan dunia. Mereka menekankan pengetahuan murni, tetapi kurang memperhatikan aksi. Aktivitas dalam konteks teori tradisional dibatasi pada penguasaan teknologis dunia. Tetapi acara serupa itu jauh berbeda dengan praktis. Pemikiran dan agresi dipisahkan begitu saja dalam hal itu selalu dibentuk dalam teori tradisional (artinya seluruh ilmu pengetahuan modern), biarpun rupa-rupa variasi.
Keberatan Horkheimer ialah bahwa teori tradisional mencampuradukkan dua hal, yaitu cara ia sendiri mempraktekan ilmu pengetahuan disamakannya dengan sifat “keilmiahan” begitu saja. Padahal, apa yang dianggap para ilmuwan sebagai hakikat objektif dan tak terubahkan dari ilmu pengetahuan, intinya tidak lain daripada buah hasil suatu keadaan masyarakat tertentu. Para ilmuwan tidak menyadari ketergantungan pada masyarakat konkret. Mereka tidak insaf bahwa kegiatan ilmiah merupakan sebagian daripada keadaan masyarakat tertentu dan turut mempertahankan keadaan itu. Para ilmuwan memisahkan ilmu pengetahuan dan politik, lantaran berkeyakinan bahwa dua acara itu sama sekali berlainan. Padahal, dengan berbuat demikian mereka turut mendukung serta memperkukuh keadaan masyarakat ini (status quo). Inilah suatu tanda bahwa mereka tidak kritis. Dan memang begitu, kata Horkheimer, ilmuwan yang sangat kritis dalam bidang keahlian tidak jarang sama sekali tidak tahu menahu wacana masalah-masalah sosial serta implikasi sosial kegiatannya sendiri.
Dari kritik atas teori tradisional tadi sudah sanggup diperkirakan bagaimana Horkheimer membayangkan teori kritis. Menurut teori kritis, pengenalan tidak pernah merupakan suatu perjuangan yang terlepas dari atau terangkat di atas aksi. Teori kritis senantiasa insaf bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak pada suatu bentuk masyarakat yang tertentu. Maka dari itu teori kritis sendiri ingin memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Tujuannya sama sekali berlainan dengan teori tradisional. Ia tidak bermaksud menambah serta menumpukkan pengetahuan begitu saja, melainkan tujuannya ialah emansipasi insan dari relasi-relasi kemasyarakatan yang memperbudak. Jadi, kiprah dan tanggungan teori kritis oleh Horkheimer dinilai sangat penting. Hanya dengan menjalankan teori kritis ini sanggup diperlukan timbulnya masyarakat yang lebih baik. Unless there is continued theoretical effort, in the interest of a rationally organized future society, to shed critical light of traditional theories elaborated in the special science, the ground is taken from under the hope of radically improving human existence.
Dalam rangka teori kritis terdapat keyakinan pula bahwa sia-sia saja teori tradisional mencita-citakan suatu ilmu pengetahuan tanpa pamrih (disinterested science). “Nilai” tidak sanggup dipandang sebagai suatu wilayah yang terletak di luar ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diusahakan oleh sosiolog Jerman, Max Weber*. Sadar atau tidak, ilmu pengetahuan mengundang nilai-nilai. Suatu ilmu pengetahuan sosial yang bersikap sama sekali netral merupakan delusi belaka. Si ilmuwan sendiri selalu termasuk objek sosial yang dipelajari. Tidak pernah ia bangun otonom di hadapan objek studinya. Karena masyarakat yang diselidikinya tidak (atau belum) merupakan perwujudan suatu pilihan bebas dan rasional oleh manusia, si ilmuwan pun tidak sanggup melepaskan diri dari ketidakbebasan itu. Presepsinya sendiri diresapkan oleh tata susunan masyarakat faktual dan janganlah ia menduga ia sanggup melepaskan diri daripadanya begitu saja. Maka dari itu menekankan terpisahnya fact dan values pada kenyataannya berarti memihak pada status quo.
Menurut Marx*, kaum proletar mempunyai pengetahuan yang benar: artinya, mereka mempunyai kesadaran kritis yang menuju ke praksis revolusioner. Menurut Horkheimer dan pengikut-pengikutnya, dalam masyarakat terindustrialisasi kini ini kaum buruh tidak otomatis lagi mempunyai kesadaran kritis yang menyebabkan mereka subjek praksis. Mengikuti pendirian kaum buruh kini sering kali berarti mengikuti suatu kompromisme saja. Pertentangan antara teori tradisional dengan teori kritis tidak sama begitu saja dengan kontradiksi antara kelas pemilik dan bukan pemilik. Sekarang ini subjek kesadaran kritis yaitu para teoretisi atau para intelektual, tetapi bukan teoretisi sebagai teoretisi melainkan sejauh mereka mewakili umat insan yang tertindas. Dalam konteks ini ia mengkritik sosiolog Jerman, Karl Manheim*, yang memandang kaum intelektual sebagai free floating, sebagai tidak terikat dengan pertentangan-pertentangan yang melanda masyarakat. Tetapi di lain pihak ia menolak pula pendapat marxisme popular yang menganggap bahwa seorang intelektual selalu berakar dalam kebudayaan dan kelasnya, sehingga tidak sanggup dilepaskan daripadanya. Horkheimer mengakui bahwa teoretikus juga termasuk masyarakatnya, tetapi sekali-kali ia sanggup mengatasinya. Dan tugasnya ialah memberi bunyi kepada tendensi-tendensi dan kekuatan-kekuatan negative yang tersembunyi dalam masyarakat dan menunjuk kepada suatu perkembangan baru. Tetapi justru keterlibatannya dengan masyarakat harus disadari untuk sanggup melakukan kiprah itu.
Tidak mengherankan kalau teori kritis dengan tegas menolak positivism. Positivism mementingkan fakta-fakta, tetapi perlu ditekankan bahwa fakta-fakta itu merupakan produk masyarakat yang tertentu. Suatu pendapat yang mengikuti prinsip-prinsip positivism dengan sendirinya akan mendukung status quo. Bagi teori kritis mustahillah suatu verifikasi atau faksifikasi, lantaran teori ini tidak sanggup diverifikasi dengan menunjuk pada tatanan masyarakat kini ini. Teori kritis tidak memperoleh hak eksistensinya dari fakta-fakta objektif, tetapi dari kemungkinan-kemungkinan bagi suatu tatanan masyarakat yang baru.
Teori kritis harus diwujudkan dengan “praktis yang tepat” dan dengan demikian memperkembangkan kekuatan-kekuatan negative yang terdapat kini ini. Salah satu hal yang sangat merawankan bagi Horkheimer ialah bahwa masyarakat liberal semakin menuju ke arah tata susunan diktatorial dan—akhirnya—fasistis. Salah satu objek studi yang menerima banyak perhatian dalam Institut Penelitian Sosial yaitu justru fenomena otoritarianisme (authoritarianism).
Dalam buku Eclipse of Reason terdapat suatu pendirian lebih pesimistis. Pesimisme ini disebabkan lantaran ia kecewa baik wacana rezim kejam Stalin di Uni Soviet maupun kultur kapitalistis di Amerika Serikat. Dalam buku ini ia mengkritik apa yang disebutnya “rasio instrumental”, yaitu suatu pendapat sempit wacana rasio, di mana rasio disamakan dengan kemungkinan untuk memperalat dunia. Kalau begitu, hanya tinggal satu otoritas saja: ilmu pengetahuan yang tugasnya yaitu mengklasifikasi fakta-fakta dan menghitung probabilitas-probabilitas. “Pernyataan bahwa keadilan dan kebebasan itu lebih baik daripada ketidakadilan dan penindasan tidak sanggup diverifikasi secara ilmiah dan dianggap tidak berguna. Bagi rasio instrumental, pernyataan serupa itu tidak relevan; kira-kira sama bunyinya dengan ucapan bahwa warna merah lebih anggun daripada warna biru, atau sebutir telur lebih baik daripada susu”. Pandangan Horkheimer wacana rasio instrumental ini mengingatkan kita pada kritik atas masyarakat teknologis modern yang sanggup dibaca pada begitu banyak filsuf zaman kita ini, contohnya Heidegger*, biarpun konteksnya tentu sama sekali beda.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris Jerman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Baca Juga
1. Max Horkheimer. Biografi dan Karya
2. Dialektika Pencerahan (Dialektika der Aufklarung)
3. Mazhab Frankfurt
Tentu saja, Horkheimer tidak bermaksud menyangkal bahwa ilmu-ilmu modern yang ditandai oleh pengertian tradisional wacana teori mempunyai jasa-jasa besar. Tetapi kelemahannya ialah bahwa mereka memisahkan begitu saja pemikiran dan aksi. Yang dipentingkan oleh teori tradisional hanyalah menyusun suatu sistem prinsip-prinsip—tentu saja, konsisten satu sama lain—yang melukiskan dunia. Mereka menekankan pengetahuan murni, tetapi kurang memperhatikan aksi. Aktivitas dalam konteks teori tradisional dibatasi pada penguasaan teknologis dunia. Tetapi acara serupa itu jauh berbeda dengan praktis. Pemikiran dan agresi dipisahkan begitu saja dalam hal itu selalu dibentuk dalam teori tradisional (artinya seluruh ilmu pengetahuan modern), biarpun rupa-rupa variasi.
Keberatan Horkheimer ialah bahwa teori tradisional mencampuradukkan dua hal, yaitu cara ia sendiri mempraktekan ilmu pengetahuan disamakannya dengan sifat “keilmiahan” begitu saja. Padahal, apa yang dianggap para ilmuwan sebagai hakikat objektif dan tak terubahkan dari ilmu pengetahuan, intinya tidak lain daripada buah hasil suatu keadaan masyarakat tertentu. Para ilmuwan tidak menyadari ketergantungan pada masyarakat konkret. Mereka tidak insaf bahwa kegiatan ilmiah merupakan sebagian daripada keadaan masyarakat tertentu dan turut mempertahankan keadaan itu. Para ilmuwan memisahkan ilmu pengetahuan dan politik, lantaran berkeyakinan bahwa dua acara itu sama sekali berlainan. Padahal, dengan berbuat demikian mereka turut mendukung serta memperkukuh keadaan masyarakat ini (status quo). Inilah suatu tanda bahwa mereka tidak kritis. Dan memang begitu, kata Horkheimer, ilmuwan yang sangat kritis dalam bidang keahlian tidak jarang sama sekali tidak tahu menahu wacana masalah-masalah sosial serta implikasi sosial kegiatannya sendiri.
Dari kritik atas teori tradisional tadi sudah sanggup diperkirakan bagaimana Horkheimer membayangkan teori kritis. Menurut teori kritis, pengenalan tidak pernah merupakan suatu perjuangan yang terlepas dari atau terangkat di atas aksi. Teori kritis senantiasa insaf bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak pada suatu bentuk masyarakat yang tertentu. Maka dari itu teori kritis sendiri ingin memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Tujuannya sama sekali berlainan dengan teori tradisional. Ia tidak bermaksud menambah serta menumpukkan pengetahuan begitu saja, melainkan tujuannya ialah emansipasi insan dari relasi-relasi kemasyarakatan yang memperbudak. Jadi, kiprah dan tanggungan teori kritis oleh Horkheimer dinilai sangat penting. Hanya dengan menjalankan teori kritis ini sanggup diperlukan timbulnya masyarakat yang lebih baik. Unless there is continued theoretical effort, in the interest of a rationally organized future society, to shed critical light of traditional theories elaborated in the special science, the ground is taken from under the hope of radically improving human existence.
Dalam rangka teori kritis terdapat keyakinan pula bahwa sia-sia saja teori tradisional mencita-citakan suatu ilmu pengetahuan tanpa pamrih (disinterested science). “Nilai” tidak sanggup dipandang sebagai suatu wilayah yang terletak di luar ilmu pengetahuan, sebagaimana telah diusahakan oleh sosiolog Jerman, Max Weber*. Sadar atau tidak, ilmu pengetahuan mengundang nilai-nilai. Suatu ilmu pengetahuan sosial yang bersikap sama sekali netral merupakan delusi belaka. Si ilmuwan sendiri selalu termasuk objek sosial yang dipelajari. Tidak pernah ia bangun otonom di hadapan objek studinya. Karena masyarakat yang diselidikinya tidak (atau belum) merupakan perwujudan suatu pilihan bebas dan rasional oleh manusia, si ilmuwan pun tidak sanggup melepaskan diri dari ketidakbebasan itu. Presepsinya sendiri diresapkan oleh tata susunan masyarakat faktual dan janganlah ia menduga ia sanggup melepaskan diri daripadanya begitu saja. Maka dari itu menekankan terpisahnya fact dan values pada kenyataannya berarti memihak pada status quo.
Menurut Marx*, kaum proletar mempunyai pengetahuan yang benar: artinya, mereka mempunyai kesadaran kritis yang menuju ke praksis revolusioner. Menurut Horkheimer dan pengikut-pengikutnya, dalam masyarakat terindustrialisasi kini ini kaum buruh tidak otomatis lagi mempunyai kesadaran kritis yang menyebabkan mereka subjek praksis. Mengikuti pendirian kaum buruh kini sering kali berarti mengikuti suatu kompromisme saja. Pertentangan antara teori tradisional dengan teori kritis tidak sama begitu saja dengan kontradiksi antara kelas pemilik dan bukan pemilik. Sekarang ini subjek kesadaran kritis yaitu para teoretisi atau para intelektual, tetapi bukan teoretisi sebagai teoretisi melainkan sejauh mereka mewakili umat insan yang tertindas. Dalam konteks ini ia mengkritik sosiolog Jerman, Karl Manheim*, yang memandang kaum intelektual sebagai free floating, sebagai tidak terikat dengan pertentangan-pertentangan yang melanda masyarakat. Tetapi di lain pihak ia menolak pula pendapat marxisme popular yang menganggap bahwa seorang intelektual selalu berakar dalam kebudayaan dan kelasnya, sehingga tidak sanggup dilepaskan daripadanya. Horkheimer mengakui bahwa teoretikus juga termasuk masyarakatnya, tetapi sekali-kali ia sanggup mengatasinya. Dan tugasnya ialah memberi bunyi kepada tendensi-tendensi dan kekuatan-kekuatan negative yang tersembunyi dalam masyarakat dan menunjuk kepada suatu perkembangan baru. Tetapi justru keterlibatannya dengan masyarakat harus disadari untuk sanggup melakukan kiprah itu.
Tidak mengherankan kalau teori kritis dengan tegas menolak positivism. Positivism mementingkan fakta-fakta, tetapi perlu ditekankan bahwa fakta-fakta itu merupakan produk masyarakat yang tertentu. Suatu pendapat yang mengikuti prinsip-prinsip positivism dengan sendirinya akan mendukung status quo. Bagi teori kritis mustahillah suatu verifikasi atau faksifikasi, lantaran teori ini tidak sanggup diverifikasi dengan menunjuk pada tatanan masyarakat kini ini. Teori kritis tidak memperoleh hak eksistensinya dari fakta-fakta objektif, tetapi dari kemungkinan-kemungkinan bagi suatu tatanan masyarakat yang baru.
Dalam buku Eclipse of Reason terdapat suatu pendirian lebih pesimistis. Pesimisme ini disebabkan lantaran ia kecewa baik wacana rezim kejam Stalin di Uni Soviet maupun kultur kapitalistis di Amerika Serikat. Dalam buku ini ia mengkritik apa yang disebutnya “rasio instrumental”, yaitu suatu pendapat sempit wacana rasio, di mana rasio disamakan dengan kemungkinan untuk memperalat dunia. Kalau begitu, hanya tinggal satu otoritas saja: ilmu pengetahuan yang tugasnya yaitu mengklasifikasi fakta-fakta dan menghitung probabilitas-probabilitas. “Pernyataan bahwa keadilan dan kebebasan itu lebih baik daripada ketidakadilan dan penindasan tidak sanggup diverifikasi secara ilmiah dan dianggap tidak berguna. Bagi rasio instrumental, pernyataan serupa itu tidak relevan; kira-kira sama bunyinya dengan ucapan bahwa warna merah lebih anggun daripada warna biru, atau sebutir telur lebih baik daripada susu”. Pandangan Horkheimer wacana rasio instrumental ini mengingatkan kita pada kritik atas masyarakat teknologis modern yang sanggup dibaca pada begitu banyak filsuf zaman kita ini, contohnya Heidegger*, biarpun konteksnya tentu sama sekali beda.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris Jerman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Baca Juga
1. Max Horkheimer. Biografi dan Karya
2. Dialektika Pencerahan (Dialektika der Aufklarung)
3. Mazhab Frankfurt