Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979); Menganalisis Masyarakat Industri Maju
Tidak sanggup diragukan, di antara semua karangan Marcuse tidak ada buku yang mengalami sukses besar daripada One-Dimensional Man (1964). Malah perlu diakui, dalam masa ke-20 tidak banyak buku filsafat yang menjadi best-seller ibarat buku tersebut. Dan Marcuse sendiri menjadi filsuf kenamaan internasional terutama lantaran buku ini. Judul bukunya memperlihatkan kesimpulan umum yang sanggup ditarik dari seluruh uraiannya: insan cukup umur ini berdimensi satu saja; dan anak judul menyatakan apa yang menjadi objek studinya, yaitu Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society.
Maksudnya ialah secara kritis menganalisis masyarakat industri modern (Amerika Serikat, Eropa Barat, Uni Soviet), tetapi itu tidak berarti bahwa uraian-uraiannya tidak mempunyai relevansi juga bagi kawasan-kawasan lain di dunia. Pemikirannya bertautan dengan suasana filsafat Hegelian dan Marxistis, alasannya yakni Hegel* dan Marx* pun memandang filsafat sebagai suatu perjuangan untuk mengerti masyarakat dan periode sejarah di mana mereka hidup. Konsepsi perihal filsafat ini pada Marx* disertai dengan semangat revolusioner, artinya impian supaya dengan fatwa filosofisnya ia sanggup menyumbang kepada terjadinya perubahan radikal dalam masyarakat. Seperti akan kita lihat lagi, pada Marcuse pun tampak semangat revolusioner yang sama.
Penindasan insan dalam masyarakat industri modern
Pendirian pokok Marcuse dalam One-Dimensional Man sanggup disingkatkan sebagai berikut. Manusia yakni makhluk yang berdasarkan kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak juga atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagiaan sama sekali bergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, zaman modern ini mempunyai kemungkinan objektif untuk merealisasikan pemuasan ini; antara lain lantaran pekerjaan—berkat otomatisasi—sudah hampir tidak lagi bersifat menghinakan martabat manusia. Walaupun demikian, insan modern tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya lantaran suasana represif (menindas) yang menandai masyarakat di mana ia hidup. Untuk sebagian terbesar buku Marcuse tidak berbuat lain daripada menganalisis masyarakat itu dan memperlihatkan sifat represifnya.
Ciri khas yang menonjolkan diri dalam masyarakat industri modern yakni peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam zaman kita ini yakni rasionalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan dihargai sejauh sanggup dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasikan, ditangani. Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula cara berpikir dan bertindak ini hanya dipraktekan dalam korelasi dengan alam saja, tetapi usang kelamaan diterapkan juga pada insan dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda, alam dan, mesin-mesin diperalat dan dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, dan kultural. Kita ingat saja akan istilah ibarat social engineering. Manusia dan masyarakat tidak terkecuali dari penguasaan dan manipulasi teknologis.
Selain oleh instrumentalisasi, ilmu pengetahuan modern ditandai juga oleh operasionalisasi. Dengan operasionalisasi dimaksudkan bahwa konsep-konsep ilmu pengetahuan hanya berkhasiat sejauh sanggup diterapkan, sejauh bersifat operabel. Hal ini tampak dengan terang dalam bidang penelitian sosial. Tetapi konsekuensinya ialah bahwa dengan demikian setiap perubahan kualitatif disingkirkan. Perbaikan sosial hanya dibiarkan sejauh sanggup dicocokkan dengan sistem sebagai keseluruhan. Dari sudut ini Marcuse meneropongi beberapa studi di bidang penelitian sosial, antara lain sebuah studi populer perihal relasi-relasi kerja dalam pabrik-pabrik “Western Electric Company” di Hawthorne. Suatu pola dari penyelidikan ini; para penyelidik mendengar karyawan-karyawan dalam pabrik mengeluh bahwa honor mereka tidak cukup. Tetapi keluhan semacam itu terlalu kabur dan lantaran itu perlu dioperasionalisasikan, artinya perlu diterjemahkan ke dalam tingkah laris dan situasi yang konkret. Misalnya, saudara X mengeluh gajinya tidak cukup. Itu berarti bahwa ia tidak sanggup membayar rekening-rekening dokter (istrinya sakit) atau pemanasan rumah (tahun ini ekspresi dominan hambar berkepanjangan) atau pakaian bagi belum dewasa (mereka dalam masa pertumbuhan). Kesulitan-kesulitan faktual ini sanggup ditanggulangi: dibuat dana khusus bagi kasus-kasus serupa itu, didirikan suatu dinas kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Pendeknya, kesukaran disingkirkan tanpa mengubah struktur masyarakat sendiri. Sistem tetap dipertahankan. Tetapi Marcuse beropini bahwa dengan demikian ucapan “gaji tidak” sama sekali tidak berubah artinya.
Perlu ditekankan bahwa cukup umur ini bukan insan yang menindas manusia; bukan golongan tertentu yang menindas golongan lain. Tetapi terdapat suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang. Dahulu kala pada zaman prateknis dan juga pada awal industrialisasi insan menindas insan (misalnya, budak—tuan; serf—tuan feodal; kaum buruh—pemilik pabrik). Tetapi kini ini tidak lagi terdapat orang atau golongan yang sanggup ditunjuk sebagai penindas, tetapi sistem teknologis seluruhnya merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial dalam cengkeramannya dan tidak ada orang yang sanggup mensugesti sistem anonim tersebut. Sistem ini memang bersifat totaliter. Totaliter dalam banyak sekali arti. Sistem ini berlaku untuk semua orang dan semua lapisan masyarakat. Pengaruhnya tampak di segala bidang. Sistem ini menonjolkan diri di negara-negara maju, tetapi semakin dirasakan juga di negara-negara berkembang. Sistem ini menguasai semua bentuk ekonomi-politik; kapitalisme maupun komunisme.
Teknologi sekali-kali tidak merupakan sesuatu yang netral; tidak merupakan suatu wilayah-bebas-nilai. Tidak sanggup dikatakan bahwa sistem teknologis modern hanya menghidangkan sarana-sarana saja dan terserah pada manusialah bagaimana instrumentarium itu akan dipakai. Bukan begitu. Technological rationality has become political rationalty, demikian pendapat Marcuse. Sistem teknologis sendiri membangkitkan pada insan keinginan-keinginan yang diharapkan supaya sistem sanggup mempertahankan diri dan berkembang terus. Di bidang material insan cukup umur ini sesuka hatinya sanggup memperoleh apa saja yang diinginkannya, tetapi ia hanya menginginkan apa yang dikehendaki oleh sistem supaya ia inginkan. Dalam masyarakat industri yang sudah maju insan seakan terjepit dalam sebuah lingkaran: di satu pihak produktivitas semakin besar untuk memungkinkan konsumsi semakin besar pula dan di lain pihak satu-satunya alasan bagi konsumsi ialah menjamin berlangsungnya produktivitas. Dengan menekankan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, dan kemakmuran, maka sistem kemasyarakatan industrial memberi kesan mau memajukan pembebasan manusia, tetapi pada kenyataannya ia hanya tertuju kepada perbudakan dan keterasingan. Manusia modern menduga bahwa ia bebas sama sekali dan bahwa ia hidup dalam dunia yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan berlimpah-limpah untuk dipilih serta direalisasikannya, namun apa yang dikehendaki insan bekerjsama didiktekan kepadanya. Pada kenyataannya ia dijuruskan saja oleh apa yang ditentukan abdnegara produksi dan konsumsi, media masa dan publikasi periklanan, kelompok militer-industrial dan pengelolaan teknokratis. Manusia berpikir bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang dikehendakinya, tetapi pada kenyataannya ia tidak menciptakan lain daripada menginginkan apa yang dianggap perlu oleh sistem teknologis yang totaliter itu untuk mempertahankan dirinya.
Manusia modern merasa bebas juga (sekurang-kurangnya di dunia Barat: di Uni Soviet tidak), lantaran ia sanggup menyampaikan dan menulis apa saja. Terdapat kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkumpul, hampir tanpa batas. Namun demikian, massa besar tidak bersikap kritis. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, dengan mengisi perut, menggiurkan mata, meringankan dan mengurangi pekerjaan, sejauh itu pula perilaku kritis insan menciut. Kritik ditolerir dengan leluasa, tetapi dengan segera dilumpuhkan juga, lantaran dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam hiburan kultural atau sensasi. Terdapat privacy tetapi serentak juga privacy itu ditiadakan dengan televisi dan majalah-majalah bergambar. Terdapat waktu luang amat banyak—hari-hari libur memang bertambah banyak dalam masyarakat industri yang sudah maju dan hari-hari kerja sangat diperpendek—tetapi waktu terluang itu digunakan dan diberi tempat dalam proses konsumsi (biro-biro perjalanan; industri pariwisata; industri hobby). Setiap tahun semakin banyak orang pergi bertamasya ke luar negeri (juga buruh biasa), tetapi di sini berlaku pula bahwa mereka mempunyai kesan mereka sama sekali bebas untuk menentukan tempat pariwisata kesayangan mereka, tetapi pada kenyataannya mereka tidak berbuat lain daripada pergi ke tempat mereka disuruh pergi oleh publisitas periklanan.
Ada satu bidang di mana insan modern merasa bebas dan di bebaskan secara istimewa, yaitu seksualitas (tentu juga tidak berlaku untuk Uni Soviet). Tidak jarang orang berbicara perihal revolusi seksual. Tetapi hal ini pun sanggup dipandang sebagai “tipu muslihat” sistem totaliter. Jika insan sudah mencapai emansipasi, kebebasan dan pemuasan yang sanggup dialami secara eksklusif pada suatu wilayah terbatas (seperti dibidang seks dan juga dibidang comfort), maka ia tidak akan memberontak sistem sebagai keseluruhan. Lebih gampang ia akan beradaptasi dengan sistem totaliter. Kebebasan itu (di salah satu bidang yang terbatas) dijadikan kesempatan untuk menguasai. This society turns everything it touches into a potential source of progress and exploitation, of drudgery and satisfaction, of freedom and oppression. Sexuality is no exception. Dalam karangan ini Marcuse memperlihatkan fenomena ini dengan istilah “toleransi represif” (repressive tolerance); artinya suatu toleransi yang memperlihatkan kesan seolah-olah menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja. Demikian sifatnya toleransi yang—menurut Marcuse—menandai masyarakat industri yang sudah maju.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta
Baca Juga
1. Herbert Marcuse. Biografi dan Karya
2. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menafsirkan Freud
3. Manusia Satu Dimensi (One Dimensional Man)
4. Mazhab Frankfurt
Penindasan insan dalam masyarakat industri modern
Pendirian pokok Marcuse dalam One-Dimensional Man sanggup disingkatkan sebagai berikut. Manusia yakni makhluk yang berdasarkan kodratnya mendambakan kebahagiaan dan berhak juga atas kebahagiaan. Perwujudan kebahagiaan sama sekali bergantung pada pemuasan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, zaman modern ini mempunyai kemungkinan objektif untuk merealisasikan pemuasan ini; antara lain lantaran pekerjaan—berkat otomatisasi—sudah hampir tidak lagi bersifat menghinakan martabat manusia. Walaupun demikian, insan modern tetap terhalang dalam merealisasikan kebutuhannya lantaran suasana represif (menindas) yang menandai masyarakat di mana ia hidup. Untuk sebagian terbesar buku Marcuse tidak berbuat lain daripada menganalisis masyarakat itu dan memperlihatkan sifat represifnya.
Ciri khas yang menonjolkan diri dalam masyarakat industri modern yakni peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam zaman kita ini yakni rasionalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan dihargai sejauh sanggup dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasikan, ditangani. Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi merupakan suatu istilah kunci. Mula-mula cara berpikir dan bertindak ini hanya dipraktekan dalam korelasi dengan alam saja, tetapi usang kelamaan diterapkan juga pada insan dan seluruh lapangan sosial. Bukan saja benda-benda, alam dan, mesin-mesin diperalat dan dimanipulasikan, tetapi hal yang sama berlangsung juga di seluruh wilayah politik, dan kultural. Kita ingat saja akan istilah ibarat social engineering. Manusia dan masyarakat tidak terkecuali dari penguasaan dan manipulasi teknologis.
Selain oleh instrumentalisasi, ilmu pengetahuan modern ditandai juga oleh operasionalisasi. Dengan operasionalisasi dimaksudkan bahwa konsep-konsep ilmu pengetahuan hanya berkhasiat sejauh sanggup diterapkan, sejauh bersifat operabel. Hal ini tampak dengan terang dalam bidang penelitian sosial. Tetapi konsekuensinya ialah bahwa dengan demikian setiap perubahan kualitatif disingkirkan. Perbaikan sosial hanya dibiarkan sejauh sanggup dicocokkan dengan sistem sebagai keseluruhan. Dari sudut ini Marcuse meneropongi beberapa studi di bidang penelitian sosial, antara lain sebuah studi populer perihal relasi-relasi kerja dalam pabrik-pabrik “Western Electric Company” di Hawthorne. Suatu pola dari penyelidikan ini; para penyelidik mendengar karyawan-karyawan dalam pabrik mengeluh bahwa honor mereka tidak cukup. Tetapi keluhan semacam itu terlalu kabur dan lantaran itu perlu dioperasionalisasikan, artinya perlu diterjemahkan ke dalam tingkah laris dan situasi yang konkret. Misalnya, saudara X mengeluh gajinya tidak cukup. Itu berarti bahwa ia tidak sanggup membayar rekening-rekening dokter (istrinya sakit) atau pemanasan rumah (tahun ini ekspresi dominan hambar berkepanjangan) atau pakaian bagi belum dewasa (mereka dalam masa pertumbuhan). Kesulitan-kesulitan faktual ini sanggup ditanggulangi: dibuat dana khusus bagi kasus-kasus serupa itu, didirikan suatu dinas kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya. Pendeknya, kesukaran disingkirkan tanpa mengubah struktur masyarakat sendiri. Sistem tetap dipertahankan. Tetapi Marcuse beropini bahwa dengan demikian ucapan “gaji tidak” sama sekali tidak berubah artinya.
Perlu ditekankan bahwa cukup umur ini bukan insan yang menindas manusia; bukan golongan tertentu yang menindas golongan lain. Tetapi terdapat suatu sistem totaliter yang menguasai semua orang. Dahulu kala pada zaman prateknis dan juga pada awal industrialisasi insan menindas insan (misalnya, budak—tuan; serf—tuan feodal; kaum buruh—pemilik pabrik). Tetapi kini ini tidak lagi terdapat orang atau golongan yang sanggup ditunjuk sebagai penindas, tetapi sistem teknologis seluruhnya merangkum seluruh realitas alamiah dan sosial dalam cengkeramannya dan tidak ada orang yang sanggup mensugesti sistem anonim tersebut. Sistem ini memang bersifat totaliter. Totaliter dalam banyak sekali arti. Sistem ini berlaku untuk semua orang dan semua lapisan masyarakat. Pengaruhnya tampak di segala bidang. Sistem ini menonjolkan diri di negara-negara maju, tetapi semakin dirasakan juga di negara-negara berkembang. Sistem ini menguasai semua bentuk ekonomi-politik; kapitalisme maupun komunisme.
Teknologi sekali-kali tidak merupakan sesuatu yang netral; tidak merupakan suatu wilayah-bebas-nilai. Tidak sanggup dikatakan bahwa sistem teknologis modern hanya menghidangkan sarana-sarana saja dan terserah pada manusialah bagaimana instrumentarium itu akan dipakai. Bukan begitu. Technological rationality has become political rationalty, demikian pendapat Marcuse. Sistem teknologis sendiri membangkitkan pada insan keinginan-keinginan yang diharapkan supaya sistem sanggup mempertahankan diri dan berkembang terus. Di bidang material insan cukup umur ini sesuka hatinya sanggup memperoleh apa saja yang diinginkannya, tetapi ia hanya menginginkan apa yang dikehendaki oleh sistem supaya ia inginkan. Dalam masyarakat industri yang sudah maju insan seakan terjepit dalam sebuah lingkaran: di satu pihak produktivitas semakin besar untuk memungkinkan konsumsi semakin besar pula dan di lain pihak satu-satunya alasan bagi konsumsi ialah menjamin berlangsungnya produktivitas. Dengan menekankan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, dan kemakmuran, maka sistem kemasyarakatan industrial memberi kesan mau memajukan pembebasan manusia, tetapi pada kenyataannya ia hanya tertuju kepada perbudakan dan keterasingan. Manusia modern menduga bahwa ia bebas sama sekali dan bahwa ia hidup dalam dunia yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan berlimpah-limpah untuk dipilih serta direalisasikannya, namun apa yang dikehendaki insan bekerjsama didiktekan kepadanya. Pada kenyataannya ia dijuruskan saja oleh apa yang ditentukan abdnegara produksi dan konsumsi, media masa dan publikasi periklanan, kelompok militer-industrial dan pengelolaan teknokratis. Manusia berpikir bahwa ia mempunyai segala sesuatu yang dikehendakinya, tetapi pada kenyataannya ia tidak menciptakan lain daripada menginginkan apa yang dianggap perlu oleh sistem teknologis yang totaliter itu untuk mempertahankan dirinya.
Manusia modern merasa bebas juga (sekurang-kurangnya di dunia Barat: di Uni Soviet tidak), lantaran ia sanggup menyampaikan dan menulis apa saja. Terdapat kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berkumpul, hampir tanpa batas. Namun demikian, massa besar tidak bersikap kritis. Sejauh teknologi memungkinkan kemajuan di bidang sosial-ekonomis, dengan mengisi perut, menggiurkan mata, meringankan dan mengurangi pekerjaan, sejauh itu pula perilaku kritis insan menciut. Kritik ditolerir dengan leluasa, tetapi dengan segera dilumpuhkan juga, lantaran dijadikan barang konsumsi yang menarik dalam hiburan kultural atau sensasi. Terdapat privacy tetapi serentak juga privacy itu ditiadakan dengan televisi dan majalah-majalah bergambar. Terdapat waktu luang amat banyak—hari-hari libur memang bertambah banyak dalam masyarakat industri yang sudah maju dan hari-hari kerja sangat diperpendek—tetapi waktu terluang itu digunakan dan diberi tempat dalam proses konsumsi (biro-biro perjalanan; industri pariwisata; industri hobby). Setiap tahun semakin banyak orang pergi bertamasya ke luar negeri (juga buruh biasa), tetapi di sini berlaku pula bahwa mereka mempunyai kesan mereka sama sekali bebas untuk menentukan tempat pariwisata kesayangan mereka, tetapi pada kenyataannya mereka tidak berbuat lain daripada pergi ke tempat mereka disuruh pergi oleh publisitas periklanan.
Ada satu bidang di mana insan modern merasa bebas dan di bebaskan secara istimewa, yaitu seksualitas (tentu juga tidak berlaku untuk Uni Soviet). Tidak jarang orang berbicara perihal revolusi seksual. Tetapi hal ini pun sanggup dipandang sebagai “tipu muslihat” sistem totaliter. Jika insan sudah mencapai emansipasi, kebebasan dan pemuasan yang sanggup dialami secara eksklusif pada suatu wilayah terbatas (seperti dibidang seks dan juga dibidang comfort), maka ia tidak akan memberontak sistem sebagai keseluruhan. Lebih gampang ia akan beradaptasi dengan sistem totaliter. Kebebasan itu (di salah satu bidang yang terbatas) dijadikan kesempatan untuk menguasai. This society turns everything it touches into a potential source of progress and exploitation, of drudgery and satisfaction, of freedom and oppression. Sexuality is no exception. Dalam karangan ini Marcuse memperlihatkan fenomena ini dengan istilah “toleransi represif” (repressive tolerance); artinya suatu toleransi yang memperlihatkan kesan seolah-olah menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja. Demikian sifatnya toleransi yang—menurut Marcuse—menandai masyarakat industri yang sudah maju.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta
Baca Juga
1. Herbert Marcuse. Biografi dan Karya
2. Mazhab Frankfurt. Herbert Marcuse (1898-1979): Menafsirkan Freud
3. Manusia Satu Dimensi (One Dimensional Man)
4. Mazhab Frankfurt