Memahami Keber-Ada-An Yang Me-Waktu
"Selamat menempuh hidup baru, selamat bertemu kekasih yang kamu rindukan selama ini, kekasih keabadian, kekasih ketenangan, kekasih kedamaian, kekasih kebahagiaan yang sejati
Kau demikian merindukannya, sampai setiap dikala kamu lantunkan kebanggaan untuknya, kamu ajarkan anak-anakmu supaya senantiasa mengasihi dan memujinya, kamu ajarkan setiap orang supaya bisa membaca kata-kata nya, kamu menangis tersedu, kamu bacakan kerinduanmu, kamu lapalkan mimpi-mimpi bila kelak menemuinya
Selamat Jalan, meski di sini kami tersedu, menangis, menjerit melepas kepergianmu.. saya yakin kamu tersenyum di sana.. dunia ini palsu, kebahagiaan pun palsu, kesenangan pun palsu, orang berkubang dalam kepalsuan, dalam ketidakmengertian, dalam kehampaan, dalam kegelisahan... kami menangis semata kehilangan pembimbing langkah kami, kami menjerit semata takut kehilangan pegangan hidup didunia yang serba tidak kami mengerti... selamat jalan ayah, selamat... biarkan kami menangis bila mengenangmu, biarkan kami selalu menyebut nama dan pengorbananmu, biarkan kami merindukanmu... saya yakin kamu di sana mengerti demikian besar rasa cinta dan sayang kami padamu...
Tidak terasa dua tahun sudah kamu pergi meninggalkan kami di sini, didunia ini, di dalam ketidakmengertian ini, di dalam ketidakpastian kami, namun setiap detik yang berlalu bukannya memudarkan ingatan kami tentangmu, tapi makin terasa kehilangan ini, makin pedih dan sakitlah perasaan kami... ya Allah, semoga Kau mengampuni kelemahan jiwa kami, bukannya tidak ikhlas, bukannya tidak ridho.. tapi.. sungguh kamu maha mengerti.. demikian mengertikanlah hati kami.. Sayangilah Ayahanda melebihi rasa sayang kami kepadanya" (Mei 2014)
Being and Time atau sein und zeit atau ada dan waktu ialah salah satu karya filsuf besar Jerman, Martin Heidegger*. Memahami keberadaan yang mewaktu di sini didasarkan pada kajian atas realitas Ada melalui metode fenomenologi yang dilakukan oleh Martin Heidegger*. Melalui Sein und Zeit, Heidegger mengajak kita untuk melihat banyak sekali hal secara mendalam, seolah gres pertama kali dilihat. Melihat dengan cermat fenomena yang biasa-biasa saja dengan cara yang luar biasa, yaitu dari sudut pandang ontologis.
a. Bersikap sebagai pemula
Fenomenologi ialah a science of beginning, untuk bisa menerapkan metode fenomenologi, orang harus bersikap sebagai pemula (beginner). Pemula dalam hal ini ialah suatu perilaku seolah-olah, dan dengan perilaku semacam inilah memungkinkan kita bisa melihat fenomena apa adanya. Seolah-olah fenomena tersebut gres pertama kali kita lihat sehingga kita merasa heran dan bertanya-tanya. Kenapa makan harus pakai tangan kanan, padahal tangan kiri juga bisa, mengapa sopan santun, mengapa norma agama, hukum, akhlak dan lain sebagainya.
Fenomenologi sangat berminat untuk tahu, contohnya bagaimana norma-norma tersebut menjadi objektif, sehingga orang-orang yang mempersoalkannya dianggap gila, aneh, liberal atau bahkan mungkin menyimpang. Dengan kata lain, fenomenologi ingin mencari balasan yang terang perihal segala hal yang sudah dianggap demikian adanya sehingga tidak perlu dijelaskan kembali (taken for grandted).
Bersikap sebagai pemula oleh Husserl* dirumuskan sebagai konsep reduksi fenomenologis atau epoche. Anggapan-anggapan bahwa norma-norma tersebut sudah demikian adanya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi untuk sementara ditangguhkan dulu atau berdasarkan istilah Husserl* diberi "tanda kurung" (eingeklammert), dan norma-norma tersebut dibiarkan menampakan diri apa adanya. Sehingga yang diperoleh oleh aktivitas reduksi fenomenologis ini bukannya konsep norma sebagaimana yang dipahami secara ilmiah oleh sosiologi, psikologi ataupun etnologi, melainkan sebagaimana yang dihayati oleh para pelakunya. Dunia yang dihayati oleh para pemain film sosial inilah yang menjadi objek penelitian fenomenologi. Husserl* menyebut dunia semacam itu dunia kehidupan (lebenswelt). Dunia kehidupan ialah dunia kehidupan sehari-hari sebelum ditafsirkan oleh pendekatan-pendekatan ilmiah akademis. Dunia semacam ini semakin raib dalam timbunan penafsiran ilmiah. Semboyan Husserl* zuruck zu den sachen selbst (kembalilah ke hal-hal itu sendiri) sanggup dimengerti sebagai upaya untuk mendekati fenomena semurni mungkin dan dunia-kehidupan seotentik mungkin.
B. Hubungan fenomenologi dengan ontologi
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai objek yang menjadi wilayah atau bidang kajiannya, objek inilah yang dinamakan realitas atau kenyataan. Misalnya ilmu ekonomi membahas kenyataan-kenyataan atau realitas ekonomi, ilmu psikologi membahas kenyataan-kenyataan psikologi manusia, ilmu sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Namun, belum ada ilmu yang membahas perihal kenyataan itu sendiri. Kenyataan-kenyataan yang terpilah-pilah tersebut di satukan dalam satu kategori atau paket secara umum supaya bisa mewakili semua kenyataan, itulah yang dinamakan ontologi. Kategori yang mencangkup semua kenyataan tersebut dinamakan realitas "Ada", pidato Jokowi, gunung meletus, meja, kursi... dan seterusnya itulah realitas Ada, bisa didekati dengan bermacam-macam macam tafsir ilmiah. Namun untuk sementara kita coba kesampingkan dulu tafsir-tafsir tersebut supaya bisa melihat realitas dalam wujud ontologis. Ilmu yang membahas "Yang Ada" (tetapi juga yang tiada) inilah yang disebut ontologis.
Bagaimana mendekati "Ada" dari sudut fenomenologis? Menurut Heidegger*, terlebih dahulu kita harus membiarkan "Ada" menampakan diri pada dirinya sendiri". Artinya, kita tidak memaksakan penafsiran-penafsiran kita begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan ada terlihat. Sikap yang sempurna terhadap "Ada" ialah membuka diri, bukan sekedar menganalisis. Jadi, bayangkanlah bagaimana seseorang mendekati fenomena Ada. Ia pertama-tama akan heran, mengapa segala sesuatu itu ada dan tidak ada. Keheranan tersebut akan muncul dari sikapnya sebagai pemula dalam melihat Ada. Orang menyerupai ini memang abnormal bagi lingkungannya, tetapi perlu untuk membantu lingkungan supaya tidak sekedar hidup-hidupan tanpa pertanyaan fundamental perihal hidupnya, melainkan mengkajinya. Mengapa "Ada" itu ada? pertanyaan ini memang pelik, mungkin pertanyaan ini pun tidak terjawab, namun menjadi terang kiranya bahwa kita benar-benar seorang manusia, yaitu bisa bertanya perihal Ada nya, alasannya ialah batu, meja, hewan, tumbuhan mustahil mempunyai pertanyaan menyerupai itu.
Mengapa pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan bersifat ontologis itu bisa muncul? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul jikalau kita tidak sedang hanyut dalam denyut kesibukan atau rutinitas sehari-hari, yakni kalau kita sedang merenung, bermenung atau tercenung. Pada momen menyerupai inilah hati kita terbuka terhadap ada (membuka diri), Heidegger mengambil momen keterbukaan hati ini sebagai cara mendekati fenomena Ada.
Ada menampakkan dirinya pada kita pada momen keterbukaan hati tersebut. Namun Penampakan Ada yang sejati tidaklah sederhana dan tidak semudah yang dibayangkan. Heidegger* cukup jeli memilah-milah jenis penampakan. Pertama, sesuatu menampakkan diri seakan-akan menyerupai sesuatu. Kedua, sesuatu bisa juga menampakkan diri sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sesuatu yang lain, sementara dirinya yang sejati tetap tersembunyi dibalik penampilannya.
Download di Sini
Baca Juga
1. Martin Heidegger. Biografi dan Karya
2. Edmund Husserl. Biografi dan Karya
3. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
4. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Pertama
5. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
6. Edmund Husserl dan Fenomenologi
7. Husserl, Schutz, dan Fenomenologi
Kau demikian merindukannya, sampai setiap dikala kamu lantunkan kebanggaan untuknya, kamu ajarkan anak-anakmu supaya senantiasa mengasihi dan memujinya, kamu ajarkan setiap orang supaya bisa membaca kata-kata nya, kamu menangis tersedu, kamu bacakan kerinduanmu, kamu lapalkan mimpi-mimpi bila kelak menemuinya
Selamat Jalan, meski di sini kami tersedu, menangis, menjerit melepas kepergianmu.. saya yakin kamu tersenyum di sana.. dunia ini palsu, kebahagiaan pun palsu, kesenangan pun palsu, orang berkubang dalam kepalsuan, dalam ketidakmengertian, dalam kehampaan, dalam kegelisahan... kami menangis semata kehilangan pembimbing langkah kami, kami menjerit semata takut kehilangan pegangan hidup didunia yang serba tidak kami mengerti... selamat jalan ayah, selamat... biarkan kami menangis bila mengenangmu, biarkan kami selalu menyebut nama dan pengorbananmu, biarkan kami merindukanmu... saya yakin kamu di sana mengerti demikian besar rasa cinta dan sayang kami padamu...
Tidak terasa dua tahun sudah kamu pergi meninggalkan kami di sini, didunia ini, di dalam ketidakmengertian ini, di dalam ketidakpastian kami, namun setiap detik yang berlalu bukannya memudarkan ingatan kami tentangmu, tapi makin terasa kehilangan ini, makin pedih dan sakitlah perasaan kami... ya Allah, semoga Kau mengampuni kelemahan jiwa kami, bukannya tidak ikhlas, bukannya tidak ridho.. tapi.. sungguh kamu maha mengerti.. demikian mengertikanlah hati kami.. Sayangilah Ayahanda melebihi rasa sayang kami kepadanya" (Mei 2014)
Being and Time atau sein und zeit atau ada dan waktu ialah salah satu karya filsuf besar Jerman, Martin Heidegger*. Memahami keberadaan yang mewaktu di sini didasarkan pada kajian atas realitas Ada melalui metode fenomenologi yang dilakukan oleh Martin Heidegger*. Melalui Sein und Zeit, Heidegger mengajak kita untuk melihat banyak sekali hal secara mendalam, seolah gres pertama kali dilihat. Melihat dengan cermat fenomena yang biasa-biasa saja dengan cara yang luar biasa, yaitu dari sudut pandang ontologis.
a. Bersikap sebagai pemula
Fenomenologi ialah a science of beginning, untuk bisa menerapkan metode fenomenologi, orang harus bersikap sebagai pemula (beginner). Pemula dalam hal ini ialah suatu perilaku seolah-olah, dan dengan perilaku semacam inilah memungkinkan kita bisa melihat fenomena apa adanya. Seolah-olah fenomena tersebut gres pertama kali kita lihat sehingga kita merasa heran dan bertanya-tanya. Kenapa makan harus pakai tangan kanan, padahal tangan kiri juga bisa, mengapa sopan santun, mengapa norma agama, hukum, akhlak dan lain sebagainya.
Fenomenologi sangat berminat untuk tahu, contohnya bagaimana norma-norma tersebut menjadi objektif, sehingga orang-orang yang mempersoalkannya dianggap gila, aneh, liberal atau bahkan mungkin menyimpang. Dengan kata lain, fenomenologi ingin mencari balasan yang terang perihal segala hal yang sudah dianggap demikian adanya sehingga tidak perlu dijelaskan kembali (taken for grandted).
Bersikap sebagai pemula oleh Husserl* dirumuskan sebagai konsep reduksi fenomenologis atau epoche. Anggapan-anggapan bahwa norma-norma tersebut sudah demikian adanya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi untuk sementara ditangguhkan dulu atau berdasarkan istilah Husserl* diberi "tanda kurung" (eingeklammert), dan norma-norma tersebut dibiarkan menampakan diri apa adanya. Sehingga yang diperoleh oleh aktivitas reduksi fenomenologis ini bukannya konsep norma sebagaimana yang dipahami secara ilmiah oleh sosiologi, psikologi ataupun etnologi, melainkan sebagaimana yang dihayati oleh para pelakunya. Dunia yang dihayati oleh para pemain film sosial inilah yang menjadi objek penelitian fenomenologi. Husserl* menyebut dunia semacam itu dunia kehidupan (lebenswelt). Dunia kehidupan ialah dunia kehidupan sehari-hari sebelum ditafsirkan oleh pendekatan-pendekatan ilmiah akademis. Dunia semacam ini semakin raib dalam timbunan penafsiran ilmiah. Semboyan Husserl* zuruck zu den sachen selbst (kembalilah ke hal-hal itu sendiri) sanggup dimengerti sebagai upaya untuk mendekati fenomena semurni mungkin dan dunia-kehidupan seotentik mungkin.
B. Hubungan fenomenologi dengan ontologi
Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai objek yang menjadi wilayah atau bidang kajiannya, objek inilah yang dinamakan realitas atau kenyataan. Misalnya ilmu ekonomi membahas kenyataan-kenyataan atau realitas ekonomi, ilmu psikologi membahas kenyataan-kenyataan psikologi manusia, ilmu sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Namun, belum ada ilmu yang membahas perihal kenyataan itu sendiri. Kenyataan-kenyataan yang terpilah-pilah tersebut di satukan dalam satu kategori atau paket secara umum supaya bisa mewakili semua kenyataan, itulah yang dinamakan ontologi. Kategori yang mencangkup semua kenyataan tersebut dinamakan realitas "Ada", pidato Jokowi, gunung meletus, meja, kursi... dan seterusnya itulah realitas Ada, bisa didekati dengan bermacam-macam macam tafsir ilmiah. Namun untuk sementara kita coba kesampingkan dulu tafsir-tafsir tersebut supaya bisa melihat realitas dalam wujud ontologis. Ilmu yang membahas "Yang Ada" (tetapi juga yang tiada) inilah yang disebut ontologis.
Bagaimana mendekati "Ada" dari sudut fenomenologis? Menurut Heidegger*, terlebih dahulu kita harus membiarkan "Ada" menampakan diri pada dirinya sendiri". Artinya, kita tidak memaksakan penafsiran-penafsiran kita begitu saja, melainkan membuka diri, yaitu membiarkan ada terlihat. Sikap yang sempurna terhadap "Ada" ialah membuka diri, bukan sekedar menganalisis. Jadi, bayangkanlah bagaimana seseorang mendekati fenomena Ada. Ia pertama-tama akan heran, mengapa segala sesuatu itu ada dan tidak ada. Keheranan tersebut akan muncul dari sikapnya sebagai pemula dalam melihat Ada. Orang menyerupai ini memang abnormal bagi lingkungannya, tetapi perlu untuk membantu lingkungan supaya tidak sekedar hidup-hidupan tanpa pertanyaan fundamental perihal hidupnya, melainkan mengkajinya. Mengapa "Ada" itu ada? pertanyaan ini memang pelik, mungkin pertanyaan ini pun tidak terjawab, namun menjadi terang kiranya bahwa kita benar-benar seorang manusia, yaitu bisa bertanya perihal Ada nya, alasannya ialah batu, meja, hewan, tumbuhan mustahil mempunyai pertanyaan menyerupai itu.
Mengapa pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dan bersifat ontologis itu bisa muncul? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul jikalau kita tidak sedang hanyut dalam denyut kesibukan atau rutinitas sehari-hari, yakni kalau kita sedang merenung, bermenung atau tercenung. Pada momen menyerupai inilah hati kita terbuka terhadap ada (membuka diri), Heidegger mengambil momen keterbukaan hati ini sebagai cara mendekati fenomena Ada.
Ada menampakkan dirinya pada kita pada momen keterbukaan hati tersebut. Namun Penampakan Ada yang sejati tidaklah sederhana dan tidak semudah yang dibayangkan. Heidegger* cukup jeli memilah-milah jenis penampakan. Pertama, sesuatu menampakkan diri seakan-akan menyerupai sesuatu. Kedua, sesuatu bisa juga menampakkan diri sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sesuatu yang lain, sementara dirinya yang sejati tetap tersembunyi dibalik penampilannya.
Download di Sini
Baca Juga
1. Martin Heidegger. Biografi dan Karya
2. Edmund Husserl. Biografi dan Karya
3. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
4. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Pertama
5. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
6. Edmund Husserl dan Fenomenologi
7. Husserl, Schutz, dan Fenomenologi