Mengenang Evolusi Kreatif Charles Darwin

The Origin of Species karangan Charles Darwin yang terbit tahun 1859 bukanlah sembarang buku karangan semata, namun gaungnya atau tidak hanya sekedar gaung tapi pengaruhnya demikian terasa sampai masa kedua puluh. Ketika saya kuliah dulu terbit pula sebuah buku karangan Harun Yahya yang menyalahkan segala bentuk kekacauan di bumi ini pada seorang insan dengan bukunya di atas. Sungguh naif, alasannya kemudian banyak kalangan umat Islam mengakibatkan pendapat Harun Yahya tersebut menyerupai akidah agama yang kebenarannya tidak sanggup diganggu gugat dan barang siapa yang menggugatnya maka siap-siap disebut kafir. Luar biasa, siapa Harun Yahya?

Banyak ragam tafsir perihal The Origin of Species tersebut, termasuk tafsir sosiologis, hermeneutis maupun tafsir ilmiah lainnya. Mungkin Darwin benar atau pun salah, mungkin benar di satu sisi dan salah disisi lain, atau? Tentunya kita tidak akan ikut arus yang ada, kita tidak akan membenarkan atau menyalahkan namun lebih dari itu, yang dibutuhkan yakni merenungkan manfaat atau faidah ataupun hikmah darinya, tentunya dengan perenungan jenis lain dan keilmuan yang berkehendak mengambil manfaat darinya, untuk kemudian kita sanggup mengenal begitu rumit dan mengagumkannya ciptaan Tuhan.

Untuk mengerti evolusi, data biologi yang dimiliki oleh Darwin harus pula dilengkapi oleh anutan metafisis. Kita yakni salah satu pola istimewa di antara makhluk hidup, dan daya-daya yang bekerja dalam diri kita bekerja juga di alam semesta. Demikian jikalau kita perhatikan di alam semesta ini tidak hanya ada perkembangan yang terus-menerus tapi juga ada yang dinamakan energi hidup atau daya pendorong hidup (elan vital). Elan vital ini meresapi seluruh proses evolusi dan memilih semua cirinya yang penting. Dengan demikian kita sanggup mengerti bahwa perkembangan kehidupan berlangsung secara kreatif dan tidak lagi mekanistis menyerupai konsep natural selection-nya darwin. Bisa jadi teori evolusi yang dikembangkan darwin (the origin of species) tersebut benar, namun terdapat campur tangan sesuatu yang goib (the creations) yang dalam hal ini Bergson* menyebutnya elan vital (daya hidup).

Bergson* menganggap elan vital ini sebagai penyebab yang melalui bermacam-macam variasi kesannya menghasilkan jenis-jenis baru. Dalam pekerjaannya elan vital menjumpai perlawanan dari bahan mati dan gotong royong justru usaha elan vital untuk mengatasi perlawanan bahan mati itu menghasilkan garis-garis dan tahap-tahap gres dalam perkembangan evolusi. Ini mungkin sudah menjadi aturan natural di mana ada tesis di situ ada anti tesis, di mana ada kehidupan di sana ada cobaan atau ujian ataupun bermacam-macam kesulitan yang justru hal tersebut akan menghasilkan perkembangan atau tahap-tahap gres dalam kehidupan kita yang sudah dipersiapkan menuju tahap berikutnya, di dalam kesulitan niscaya ada kemudahan, di mana akomodasi yang diberikan sehabis kesulitan yakni jenis akomodasi yang tentunya lebih baik atau lebih tinggi tingkatannya dari sebelumnya.

Tetapi energi elan vital tidak berhenti di situ dan akan berusaha terus menuju perkembangan gres lagi. Arah evolusi telah mengambil tiga jurusan: kehidupan tumbuhan, kehidupan instingtif, dan kehidupan intelegen. Masing-masing diwujudkan pada taraf tumbuh-tumbuhan, serangga dan vetebrata (binatang bertulang punggung yang mempunyai sistem syaraf dan sistem syaraf pusat). Taraf tumbuh-tumbuhan ditandai oleh immobilitas dan sensibilitas (tidak sanggup bergerak dan tidak merasa). Taraf serangga (semut dan lebah) oleh insting dan taraf vetebrata (yang terakhir dan tertinggi yakni manusia) oleh inteligensi. Insting dan inteligensi dilukiskan oleh Bergson* dalam kekerabatan dengan alat-alat. Insting digambarkan sebagai kemungkinan untuk mengadakan dan memakai alat-alat yang terorganisir, artinya alat-alat yang merupakan sebagian dari organisme (dengan kata lain organ-organ). Inteligensi yakni kemungkinan untuk mengadakan dan memakai alat-alat yang tidak terorganisir, artinya alat-alat buatan yang tidak termasuk organisme itu sendiri. Dengan demikian setiap acara psikis, dalam bentuk insting maupun inteligensi, merupakan suatu usaha untuk menjalankan pengaruhnya atas dunia material.

Jika kita memandang insan berdasarkan asal-usulnya, beliau yakni homo faber (manusia yang bersikap praktis) lebih daripada homo sapiens (manusia yang bersikap teoritis). Pada insan inteligensi mencapai taraf tertinggi, ia sanggup mengadakan alat yang menghasilkan alat lain. Namun betapa pun besarnya prestasi inteligensi insan teristimewa dalam bidang ilmu pengetahuan, orientasi utamanya selalu praktis. Betapa pun hebatnya bicara dan pemahaman mereka perihal agama misalnya, orientasinya tetap saja bahan atau kehidupan-kehidupan praktis. Di sinilah bentuk insan yang sesungguhnya, adapun sebagian orang yang mempunyai kecenderungan orientasi ruhani yang lebih besar barangkali kekecualian dari teori ini. Teori Bergson* tidak betul semua dan juga tidak salah semua.

Sekarang kita memahami kenapa insan membutuhkan agama atau kenapa agama atau sesuatu yang melampaui logika kebijaksanaan insan akan tetap ada dalam kehidupan manusia. Tentunya Anda semua sudah sanggup menangkap kesimpulan tersirat dari pemaparan paragraf terakhir di atas, bahwa logika kebijaksanaan insan memang terutama dirancang untuk suatu hal yang bersifat praksis, nyata dan bersifat material, mereka tidak sanggup menjangkau objek non fisik atau metafisika. Selain itu, inteligensi atau logika kebijaksanaan insan selalu terarah pada benda-benda fisis (konkret). Objek logika kebijaksanaan ialah apa yang tidak kontinu (temporal/sementara), stabil (statis) atau tidak bergerak. Dengan melaksanakan analisanya logika kebijaksanaan memotong-motong suatu objek ke dalam unsur-unsurnya, artinya logika kebijaksanaan insan cenderung menggolong-golongkan atau memotong-motong realitas dan membagi-baginya ke dalam unsur-unsurnya yang terkecil, kemudian dengan mempergunakan atau membentuk konsep-konsep ia membekukan realitas menjadi satu keseluruhan yang statis.


Akal kebijaksanaan insan tentu sanggup memeriksa makhluk-makhluk hidup, tetapi akan cenderung selalu memperlakukannya sama menyerupai objek-objek inorganis (objek mati/statis). Para ilmuwan contohnya akan selalu berusaha untuk mereduksikan makhluk hidup pada unsur fisik atau kimiawi. Dengan kata lain, logika kebijaksanaan insan tidak sanggup menangkap kehidupan itu sendiri dan tidak sanggup memikirkan lamanya (duration;asumsi waktu metafisis) selain dengan menjadikannya waktu objek-fisik (bilangan jam). Kalaupun logika kebijaksanaan insan memandang gerak, ia akan mengambil sejumlah fhoto dan dengan itu menghilangkan gerak yang sebenarnya. Jadi, meskipun sangat cocok untuk berpraksis dan menguasai dunia (termasuk insan sendiri sejauh ia menjadi objek ilmu pengetahuan), logika kebijaksanaan insan tidak sanggup menangkap evolusi, kehidupan, duration, dan kreativitas yang menandai elan vital.

Tetapi selain logika budi, insan juga mempunyai intuisi. Bergson* melukiskan intuisi sebagai insting yang menjadi sadar, yang mencapai taraf refleksi. Jika logika kebijaksanaan berkiblat pada bahan mati, instuisi ini secara istimewa terarah pada kehidupan. Jika logika kebijaksanaan merupakan sumber ilmu pengetahuan alam, intuisi menyediakan dasar bagi filsafat. Tetapi dalam praktek ada kekerabatan timbal balik antara logika kebijaksanaan dan intuisi, alasannya mereka membutuhkan satu sama lain. Instuisi mustahil berada tanpa logika budi, menyerupai ruh mustahil berada tanpa materi.


Download di Sini

Biografi, Pemikiran dan Karya
Henri Bergson

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel