Mendekati Kebenaran Bersama Karl Popper
Kali ini kita akan mencoba menjajagi ajaran Karl Popper, mengenai Karl Popper saya teringat dengan sobat Batak saya yang menjadikannya sebagai judul kiprah akhirnya atau judul skripsinya. Salam untuknya yang tentunya lebih mengerti wacana duduk kasus ini. Salah satu tema pertama yang menarik dalam ajaran Popper ini yaitu pendapatnya wacana duduk kasus induksi dalam ilmu pengetahuan alam yang kemudian dijadikan judul utama goresan pena ini yaitu, mendekati kebenaran. Menolak kemutlakan dan lebih mengedepankan informasi relativitas kebenaran, tidak ada kebenaran mutlak meski dalam ilmu pengetahuan alam yang mengusung kepastian dan keakuratan sekalipun, namun yang ada yaitu 'mendekati kebenaran' menyebabkan diri kita lebih mendekati pada kebenaran, dan bukan kebenaran itu sendiri.
Dalam ajaran modern selalu dikatakan bahwa kiprah ilmu pengetahuan modern ialah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak. Contohnya pernyataan "logam yang dipanaskan akan memuai" merupakan aturan sedemikian. Bagaimana aturan ilmiah tersebut sanggup terbentuk? Jawaban dari teoretisi tradisional ialah bahwa aturan itu dihasilkan oleh suatu proses induksi; artinya, dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam logam yang memuai sehabis dipanaskan) disimpulkan bahwa dalam keadaan yang tertentu tanda-tanda yang sama selalu dan dimana-mana akan terjadi demikian. Dari sejumlah kasus nyata disimpulkan suatu aturan yang bersifat umum. Metode induksi ini dijalankan dengan observasi dan eksperimentasi. Pendek kata, metode ini menurut fakta-fakta. Karena itu metode induktif yaitu ciri khas ilmu pengetahuan dan risikonya memungkinkan untuk membedakan antara ilmu pengetahuan dan setiap pendekatan lain yang tidak ilmiah.
Metode induktif ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf pertama yang menggarisbawahi kesulitan-kesulitan tersebut yaitu orang Skotlandia yang berjulukan David Hume*. Ia menekankan bahwa dari sejumlah fakta, betapa pun besar jumlahnya, secara logis tidak pernah sanggup disimpulkan suatu kebenaran umum. Tidak pernah ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang hingga kini selalu berlangsung dengan cara yang sama, besok juga akan terjadi demikian. Misalnya tidak ada kepastian logis bahwa besok pagi matahari akan terbit. Kita berpikir demikian lebih lantaran suatu kecenderungan psikologis semata, dan bukan lantaran suatu keharusan logis. Dari kejadian-kejadian dimasa lampau secara logis tidak sanggup disimpulkan suatu pun wacana masa depan. Dengan demikian, maka seluruh ilmu pengetahuan yang bertumpu pada prinsip induksi tidak sanggup dibuktikan kebenarannya.
Menghadapi permasalahan tersebut, Karl Popper berhasil mengajukan satu alternatif pemecahan yang bisa mengubah seluruh pandangan teoretisi tradisional wacana ilmu pengetahuan. Menurutnya, suatu teori ilmu pengetahuan tidaklah bisa disebut atau dikatakan ilmiah hanya lantaran sudah dibuktikan kebenarannya, melainkan lantaran sanggup diuji (testable). Teori ilmu pengetahuan menyerupai "semua logam akan memuai kalau dipanaskan" sanggup dikatakan ilmiah jikalau sanggup diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya (bukan untuk membenarkannya). Seandainya kita sanggup mengatakan satu jenis logam yang tidak memuai sehabis dipanaskan, maka teori tersebut ternyata tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih tepat. Jadi, cukuplah mengemukakan satu kasus (dalam pola kita: satu jenis logam yang tidak memuai sehabis dipanaskan) untuk menyatakan salahnya suatu teori ilmiah. Dan jikalau suatu teori sehabis diuji tetap bertahan, maka itu berarti bahwa kebenaran teori ilmiah tersebut kebenarannya diperkukuh (corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori, makin kukuh pula kebenarannya, bila teori tersebut tahan terus, namun bukan berarti merupakan aturan dengan kebenarannya yang bersifat mutlak atau dimutlakan.
Secara singkat itulah yang disebut Popper the thesis of refutability; suatu teori atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, lantaran hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan sanggup maju.
Untuk mencapai pandangannya ini, Popper memakai suatu kebenaran logis yang bersama-sama sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri: "Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapa pun besar jumlahnya, orang tidak sanggup hingga pada teori bahwa semua belibis berwarna putih. Tetapi cukuplah satu observasi terhadap seekor belibis hitam untuk menyangkal teori tadi. Pandangan wacana ilmu pengetahuan yang menurut metode induktif bersama-sama tidak menciptakan kebenaran lain selain daripada berusaha untuk menerangkan bahwa semua belibis berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan harus berusaha mencari satu ekor belibis yang tidak berwarna putih. Selama belibis hitam itu belum ditemukan, pernyataan "semua belibis berwarna putih" sanggup dianggap benar.
Berulang kali Popper telah menjelaskan bahwa terutama fisika gres Einstein menghantar beliau kepada konsepsi wacana ilmu pengetahuan yang dilukiskan di atas. Sebelumnya sudah lebih dari dua periode dunia ilmiah dikuasai oleh fisika Newton. Banyak sekali inovasi ilmiah telah terjadi menurut fisika Newton. Akhirnya semua ilmuwan sudah merasa yakin akan kebenaran fisika Newton. Kebenaran fisika ini sudah dinyatakan dengan seribu satu cara. Namun demikian, pada awal periode ke-20 Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Akibatnya semua fakta yang diterangkan oleh fisika Newton sanggup diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein, ditambah lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa waktu, para hebat setuju mendapatkan fisika Einstein sebagai yang lebih memuaskan daripada fisika usang Newton untuk menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Bagi Popper, perkembangan ini merupakan pola paling terperinci yang menunjukkan bagaimana cara tumbuhnya ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita semakin mendekati kebenaran, lantaran teori-teori ilmiah menjadi semakin terperinci dan bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori ilmiah, jikalau muncul teori ilmiah lain yang ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Karl Raimund Popper. Biografi dan Karya
2. Karl Raimund Popper. Filsafat Politik dan Sosial
3. Karl Raimund Popper. Masalah Demarkasi
4. Karl Raimund Popper. Pandangan wacana Dunia 3
Dalam ajaran modern selalu dikatakan bahwa kiprah ilmu pengetahuan modern ialah merumuskan hukum-hukum yang bersifat umum dan mutlak. Contohnya pernyataan "logam yang dipanaskan akan memuai" merupakan aturan sedemikian. Bagaimana aturan ilmiah tersebut sanggup terbentuk? Jawaban dari teoretisi tradisional ialah bahwa aturan itu dihasilkan oleh suatu proses induksi; artinya, dari sejumlah kasus yang cukup besar (bermacam-macam logam yang memuai sehabis dipanaskan) disimpulkan bahwa dalam keadaan yang tertentu tanda-tanda yang sama selalu dan dimana-mana akan terjadi demikian. Dari sejumlah kasus nyata disimpulkan suatu aturan yang bersifat umum. Metode induksi ini dijalankan dengan observasi dan eksperimentasi. Pendek kata, metode ini menurut fakta-fakta. Karena itu metode induktif yaitu ciri khas ilmu pengetahuan dan risikonya memungkinkan untuk membedakan antara ilmu pengetahuan dan setiap pendekatan lain yang tidak ilmiah.
Metode induktif ini bukan tanpa kesulitan. Filsuf pertama yang menggarisbawahi kesulitan-kesulitan tersebut yaitu orang Skotlandia yang berjulukan David Hume*. Ia menekankan bahwa dari sejumlah fakta, betapa pun besar jumlahnya, secara logis tidak pernah sanggup disimpulkan suatu kebenaran umum. Tidak pernah ada keharusan logis bahwa fakta-fakta yang hingga kini selalu berlangsung dengan cara yang sama, besok juga akan terjadi demikian. Misalnya tidak ada kepastian logis bahwa besok pagi matahari akan terbit. Kita berpikir demikian lebih lantaran suatu kecenderungan psikologis semata, dan bukan lantaran suatu keharusan logis. Dari kejadian-kejadian dimasa lampau secara logis tidak sanggup disimpulkan suatu pun wacana masa depan. Dengan demikian, maka seluruh ilmu pengetahuan yang bertumpu pada prinsip induksi tidak sanggup dibuktikan kebenarannya.
Menghadapi permasalahan tersebut, Karl Popper berhasil mengajukan satu alternatif pemecahan yang bisa mengubah seluruh pandangan teoretisi tradisional wacana ilmu pengetahuan. Menurutnya, suatu teori ilmu pengetahuan tidaklah bisa disebut atau dikatakan ilmiah hanya lantaran sudah dibuktikan kebenarannya, melainkan lantaran sanggup diuji (testable). Teori ilmu pengetahuan menyerupai "semua logam akan memuai kalau dipanaskan" sanggup dikatakan ilmiah jikalau sanggup diuji dengan percobaan-percobaan sistematis untuk menyangkalnya (bukan untuk membenarkannya). Seandainya kita sanggup mengatakan satu jenis logam yang tidak memuai sehabis dipanaskan, maka teori tersebut ternyata tidak benar dan harus diganti dengan teori yang lebih tepat. Jadi, cukuplah mengemukakan satu kasus (dalam pola kita: satu jenis logam yang tidak memuai sehabis dipanaskan) untuk menyatakan salahnya suatu teori ilmiah. Dan jikalau suatu teori sehabis diuji tetap bertahan, maka itu berarti bahwa kebenaran teori ilmiah tersebut kebenarannya diperkukuh (corroboration). Makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori, makin kukuh pula kebenarannya, bila teori tersebut tahan terus, namun bukan berarti merupakan aturan dengan kebenarannya yang bersifat mutlak atau dimutlakan.
Secara singkat itulah yang disebut Popper the thesis of refutability; suatu teori atau hipotesis bersifat ilmiah kalau secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability). Atau dengan perkataan lain, perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Ilmuwan yang sejati tidak akan menakuti kritik. Sebaliknya, ia sangat mengharapkan kritik, lantaran hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan sanggup maju.
Untuk mencapai pandangannya ini, Popper memakai suatu kebenaran logis yang bersama-sama sederhana sekali. Dalam perkataan Popper sendiri: "Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapa pun besar jumlahnya, orang tidak sanggup hingga pada teori bahwa semua belibis berwarna putih. Tetapi cukuplah satu observasi terhadap seekor belibis hitam untuk menyangkal teori tadi. Pandangan wacana ilmu pengetahuan yang menurut metode induktif bersama-sama tidak menciptakan kebenaran lain selain daripada berusaha untuk menerangkan bahwa semua belibis berwarna putih. Sedangkan Popper beranggapan bahwa ilmu pengetahuan harus berusaha mencari satu ekor belibis yang tidak berwarna putih. Selama belibis hitam itu belum ditemukan, pernyataan "semua belibis berwarna putih" sanggup dianggap benar.
Berulang kali Popper telah menjelaskan bahwa terutama fisika gres Einstein menghantar beliau kepada konsepsi wacana ilmu pengetahuan yang dilukiskan di atas. Sebelumnya sudah lebih dari dua periode dunia ilmiah dikuasai oleh fisika Newton. Banyak sekali inovasi ilmiah telah terjadi menurut fisika Newton. Akhirnya semua ilmuwan sudah merasa yakin akan kebenaran fisika Newton. Kebenaran fisika ini sudah dinyatakan dengan seribu satu cara. Namun demikian, pada awal periode ke-20 Einstein mengemukakan suatu fisika baru. Akibatnya semua fakta yang diterangkan oleh fisika Newton sanggup diterangkan pula dalam rangka fisika Einstein, ditambah lagi beberapa fakta yang didiamkan oleh Newton. Sesudah diskusi beberapa waktu, para hebat setuju mendapatkan fisika Einstein sebagai yang lebih memuaskan daripada fisika usang Newton untuk menerangkan gejala-gejala fisis dalam dunia kita. Bagi Popper, perkembangan ini merupakan pola paling terperinci yang menunjukkan bagaimana cara tumbuhnya ilmu pengetahuan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitif. Lebih baik dikatakan kita semakin mendekati kebenaran, lantaran teori-teori ilmiah menjadi semakin terperinci dan bernuansa. Selalu kita harus rela meninggalkan suatu teori ilmiah, jikalau muncul teori ilmiah lain yang ternyata lebih memuaskan untuk mengerti fakta-fakta.
Download di Sini
Sumber.
Bertens, Kees. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta. Gramedia.
Baca Juga
1. Karl Raimund Popper. Biografi dan Karya
2. Karl Raimund Popper. Filsafat Politik dan Sosial
3. Karl Raimund Popper. Masalah Demarkasi
4. Karl Raimund Popper. Pandangan wacana Dunia 3