Pemikiran Filosofis Gaston Bachelard
Dalam ajaran Bachelard terdapat dua jalur yang sangat berbeda dan selalu ia bedakan sendiri, tetapi tentu tidak sanggup dipisahkan begitu saja. Satu jalur ialah soal-soal yang menyangkut sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan; sedangkan jalur kedua ialah penelitian perihal poetika atau imajinasi puitis. Pada pandangan yang pertama orang sanggup heran bahwa tema-tema yang begitu berbeda--malah hampir bertentangan--digarap dan dibahas oleh orang yang sama. Dan perhatian yang dwiganda itu memang menjadikan Bachelard seorang filsuf yang unik dalam sejarah filsafat periode ke-20.
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan Bachelard harus dimengerti dalam kerangka perubahan-perubahan besar yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern. Filsafat ilmu pengetahuan tradisional, ibarat contohnya karya-karya E. Meyerson, dalam hal ini tidak memadai lagi. Sudah dalam disertasinya Percobaan untuk Melukiskan Pengetahuan yang Semakin Dekat dengan Tujuannya (1928) Bachelard berusaha untuk menjalankan suatu refleksi filosofis yang gres atas dasar perubahan-perubahan dalam ilmu alam. Refleksi atas perkembangan dalam ilmu pengetahuan modern sanggup menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak terwujud atas dasar hukum-hukum awet yang menguasai ajaran manusia, sebagaimana dipikirkan dalam tradisi Kantian. Bagi Bachelard ilmu pengetahuan tidak merupakan salah satu pola atau konfirmasi perihal cara berfungsinya roh manusiawi yang sesungguhnya sudah kita ketahui dari sumber-sumber lain. "Ilmu pengetahuan sungguh-sungguh membuat filsafat" kata Bachelard. Filsafat harus berguru dari ilmu pengetahuan dan dilarang berusaha untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan mengeluarkan petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan.
Dengan tajam ia mengecam perilaku besar kepala filsuf-filsuf, ibarat contohnya Sartre*, yang mengabaikan ilmu pengetahuan. Bachelard tidak melihat masa depan lagi untuk filsafat, seandainya ajaran filosofis itu menutup diri terhadap perkembangan-perkembangan yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan.
Dengan demikian sanggup dimengerti juga bahwa dalam pandangan ini terdapat korelasi erat antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagi Bachelard tidak ada suatu norma umum dan transhistoris untuk memilih kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Kebenaran pengetahuan ilmiah tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya problem suatu ilmu pada dikala tertentu dalam perkembangan historisnya. Norma-norma untuk memilih benar tidaknya ucapan-ucapan ilmiah tidak tiba dari luar, melainkan termasuk suatu bidang ilmiah tertentu; setiap ilmu membuat aturan-aturannya sendiri yang berlaku untuk menyusun dan mengecek teori-teorinya. Pengetahuan ilmiah merupakan buah hasil suatu proses yang bersifat historis dan regional (dalam arti: menyangkut suatu bidang penelitian tertentu). Pertanyaan akan pendasaran pengetahuan ilmiah dan perjuangan untuk menarik garis pemisah antara ucapan-ucapan ilmiah dan ucapan-ucapan non-ilmiah (masalah demarkasi), yang begitu ramai dibicarakan oleh lingkungan Wina dan Karl Popper*, bagi Bachelard tidak relevan.
Sifat historis dan regional kebenaran ilmiah mengakibatkan juga bahwa pengetahuan ilmiah diperoleh dalam suatu proses yang tidak kontinu. Sejarah ilmu pengetahuan ditandai dengan diskontinuitas. Dalam sejarah ilmu pengetahuan kita menjumpai pembaruan terus-menerus. Teori relativitas Einstein, misalnya, mustahil diturunkan dari mekanika Newton. Sia-sia saja orang mencari kontinuitas antara dua teori ini. Terdapat suatu keretakan antara fisika Einstein dan fisika Newton. Dalam konteks ini Bachelard membuat istilah rupture epistemologique (keretakan epistemologis). Dalam sejarah ilmu pengetahuan terdapat banyak keretakan epistemologis serupa itu dan terjadinya keretakan-keretakan epistemologis sering kali merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
Pandangan ini memungkinkan Bachelard memberi suatu peranan positif kepada kesalahan-kesalahan dalam ilmu pengetahuan. Suatu teori gres merupakan pembetulan terhadap suatu teori lama. Dengan nada sedikit ekstrim, ibarat sering disukai Bachelard, ia menyampaikan bahwa dalam ilmu pengetahuan "kebenaran itu tidak lain daripada kesalahan yang dibetulkan". Kalau kita memandang perkembangan ilmu pengetahuan modern, harus kita katakan bahwa kesalahan-kesalahan (berarti apa yang kemudian diakui sebagai "kesalahan") memungkinkan tercapainya kebenaran. Kritik ialah perilaku dasar ilmu pengetahuan modern. Kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan-pandangan dan teori-teori lama. Suatu hipotesa ilmiah gres dirumuskan, karena--berdasarkan suatu eksperimen--harus dikatakan "tidak" terhadap hipotesa yang diterima selama itu.
Dengan demikian sudah sanggup kita duga sedikit maksud judul bukunya Filsafat perihal Tidak (1940). Fisika Einstein sanggup dipandang sebagai fisika non-Newtonian, sama ibarat ilmu ukur non-Euklidis (ilmu ukur dari Riemann) telah mengganti ilmu ukur Euklidis. Jadi, "tidak" di sini tidak menyampaikan suatu pengingkaran begitu saja, tetapi suatu keretakan epistemologis yang menunjukan peralihan kepada teori yang baru. Dalam disertasinya dari tahun 1928 ia mengungkapkan pikiran yang sama dengan menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan modern maju melalui approximations, artinya selalu lebih erat dengan kebenaran tanpa pernah mencapai kebenaran itu sepenuhnya dan definitif.
Zaman kita kini berdasarkan Bachelard ditandai oleh le nouvel esprit scientifique (suasana ilmiah yang baru), ibarat dikatakan dalam judul salah satu bukunya. Karena itu kini kita mengalami fase ketiga dalam perkembangan ajaran ilmiah, sekurang-kurangnya sejauh menyangkut ilmu pengetahuan alam. Dua fase sebelumnya ialah fase pra-ilmiah dan fase ilmiah. Fase pra-ilmiah mencakup zaman purba dan Renaissance; fase ini ditandai oleh bentuk-bentuk pengenalan yang konkret. Fase ilmiah mulai pada selesai periode ke-18, ketika berdasarkan penggunaan ilmu ukur timbul bentuk-bentuk abstraksi yang pertama. Bachelard menyampaikan bahwa dalam fase kedua ini pengenalan masih bersifat "konkret-abstrak". Baru dalam fase ketiga, yaitu dalam suasana ilmiah yang baru, ilmu pengetahuan menerima sifatnya yang sungguh-sungguh abstrak. Banyak karangan Bachelard mempelajari keretakan antara konsep-konsep serta teori-teori ilmiah di satu pihak dan konsep-konsep serta teori-teori ilmiah yang tradisional di lain pihak. Dalam hal itu teori relativitas ialah pola yang banyak dipergunakan dan Bachelard beropini pula bahwa inovasi Einstein itu merupakan permulaan fase ketiga.
Marilah kita memandang beberapa detail yang menyangkut suasana ilmiah yang gres itu. Salah satu ciri yang paling menonjol ialah bahwa praktek ilmiah modern secara radikal terpisah dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, dalam fisika atau kimia modern "objek" tidak lagi merupakan suatu data yang terjangkau oleh pengalaman inderawi. Ilmu pengetahuan modern tidak "menemukan" objek-objeknya, tetapi objek-objeknya dikontruksikan--jadi merupakan buah hasil suatu konstruksi oleh kegiatan ilmiah yang teknis maupun teoretis. Bagian-bagian atom umpamanya hanya berada sebagai "objek" berkat teknik dan teori ilmiah. Ilmu pengetahuan tidak lagi mempelajari fenomena-fenomena, tetapi menghasilkan fenomena-fenomena, lantaran yang disebut "fenomena" itu merupakan pengaruh dari acara teknis-teoretis. Akibatnya, suatu ciri lain ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi melukiskan atau mencerminkan realitas, tetapi memproduksi dan mengoperasionalkan realitas. Dalam hal ini matematika memainkan peranan yang amat penting. Objek-objek ilmiah sebetulnya tidak lain daripada konstruksi-konstruksi matematis atau relasi-relasi serta kombinasi-kombinasi yang dirumuskan secara matematis. Dan semuanya itu memiliki konsekuensi juga dari segi sosial. Ilmuwan periode ke-18 masih menulis buku-bukunya untuk suatu publik luas; uraiannya ditujukan kepada setiap pembaca terpelajar. Ilmuwan modern kini ini hanya menulis untuk segelintir mahir yang menguasai bidang yang sama.
Untuk menjelaskan suasana ilmiah yang gres itu, kita tidak memakai lagi teori-teori usang yang diberikan dalam filsafat ilmu pengetahuan tradisional (empirisme, positivisme, formalisme, rasionalisme). Teori-teori itu semua berat sebelah dan menutup jalan untuk perkembangan-perkembangan baru. Cara bekerja ilmu pengetahuan modern harus dimengerti secara dialektis, kata Bachelard. Dalam ilmu pengetahuan modern tidak ada metode-metode induktif belaka dan metode-metode deduktif belaka, tidak ada verifikasi; yang ada hanya lah dialektika. Konsep-konsep ilmiah harus didialektisasikan, kata Bachelard. Tidak ada korelasi yang tetap serta mantap antara teori dan eksperimen, antara apriori dan aposteriori. Konsep-konsep serupa itu selalu harus dimengerti dan ditentukan dalam kaitan satu sama lain. Rasionalisme membutuhkan penerapan (bandingkan judul bukunya Rasionalisme yang Diterapkan), ibarat dari segi empirisme membutuhkan pengertian.
Untuk mempertanggungjawabkan apa yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern kita dilarang membatasi pada satu pandangan filosofis saja. Dari segi filosofis, ilmu pengetahuan modern bersifat pluriform dan filsafat yang ingin memikirkan ilmu pengetahuan modern itu harus menjadi polyphilosopie, polifilsafat (awalan "poli-" berasal dari kata Yunani yang berarti "banyak"), atau--dengan kata lain--filsafat dialektis. Paham "dialektika" memegang peranan penting dalam ajaran Bachelard. Ia tidak memakai paham itu dalam arti Hegelian atau Marxistis, tetapi dalam arti yang agak umum. Ia melihat dialektika sebagai dinamika intern dari ilmu pengetahuan yang ditandai oleh korelasi timbal balik antara dua kutub, seperti: ilham dan pengalaman, koherensi teoretis dan ketelitian eksperimental.
Sebagaimana sudah kita lihat, sejarah ilmu pengetahuan tidak ditandai dengan suatu evolusi yang kontinu. Tetapi di samping revolusi-revolusi yang sering menggoncangkan dan agak mendadak, sejarah ilmu pengetahuan mengalami juga periode-periode yang mandul dan penuh kemacetan. Jika Bachelard memakai istilah "Keretakan epistemologis" untuk menjelaskan revolusi-revolusi itu, ia memakai istilah "hambatan epistemologis" untuk menganalisa periode-periode yang ditandai kemacetan itu.
Yang dimaksudkan dengan hambatan-hambatan epistemologis itu bukan hambatan-hambatan lahiriah ibarat rumitnya materi yang diselidiki atau kesukaran untuk menangkap fenomena-fenomena tertentu. Juga tidak dimaksudkan kelemahan indera insan atau keterbatasan ajaran manusiawi. Suatu kendala epistemologis terjadi, jikalau insan "buta" terhadap kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang secara objektif sudah tersedia bagi ilmu pengetahuan. Hambatan-hambatan epistemologis ialah pola-pola pikiran yang merintangi proses pengenalan untuk berjalan terus menuju konsekuensi yang tolong-menolong sudah sanggup dilihat. Hambatan-hambatan epistemologis ialah contre-pensees, kontra-pikiran, kata Bachelard.
Buku yang ditulis khusus perihal tema ini ialah Pembentukan Suasana Ilmiah (1938). Di situ ia memeriksa sejumlah kendala epistemologis dari ilmu fisika periode ke-17 dan ke-18. Dalam konteks ini sanggup dimengerti pula mengapa untuk Bachelard ajaran ilmiah selalu terjadi "melawan arus", selalu harus bersedia menyampaikan "tidak". Ini disebabkan lantaran adanya hambatan-hambatan epistemologis dan salah satu kendala epistemologis yang terbesar bagi ilmu pengetahuan modern ialah pengalaman spontan.
Kiranya sudah terperinci bahwa suatu kendala epistemologis gres tampak sebagai hambatan, jikalau sanggup ditempatkan dalam suatu kerangka historis yang agak luas, bila--dengan kata lain--periode bersangkutan sudah lewat sebagai periode. Suatu kendala epistemologis jauh lebih sulit dan malah hampir mustahil untuk ditemukan, jikalau orang masih sedang mengalami dan menjalani periode tertentu. Tetapi prinsip itu berlaku lebih umum. Periode-periode dari sejarah ilmu pengetahuan hanya sanggup dianalisa dengan bertitik tolak dari dan berdasar pada duduk problem yang faktual dalam suatu ilmu pengetahuan. Suatu periode dengan segala kekhususannya hanya tampak jikalau kita sanggup "menoleh ke belakang". Cara menoleh ke belakang ini oleh Bachelard disebut recurrence, suatu istilah yang tidak gampang diterjemahkan, tetapi barangkali maksudnya didekati sedikit dengan kata "retrospeksi". Setiap inovasi ilmiah yang gres akan mengakibatkan bahwa pandangan ilmiah sebelumnya tampak dalam cahaya yang baru. Sesudah teori relativitas Einstein, mekanika klasik Newton tampak dengan cara lain. Jika kita mempraktekan sejarah ilmu pengetahuan, tidak cukuplah kita memandang teori-teori ilmiah dari masa lampau sebagai fakta-fakta yang tidak berubah. Teori-teori masa lampau selalu harus dikaitkan dan dibandingkan dengan duduk problem yang mutakhir dalam ilmu pengetahuan. Boleh ditambah lagi bahwa cara epistemologis untuk memandang masa lampau ilmu pengetahuan itu sanggup memiliki manfaat untuk ilmuwan kini ini. Studi epistemologis perihal sejarah ilmu pengetahuan sanggup meningkatkan kesiapsiagaan ilmuwan remaja ini dalam mengatasi hambatan-hambatan epistemologis yang merintangi penelitiannya sekarang.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Gaston Bachelard. Biografi dan Karya
2. Gaston Bachelard. Poetika
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan Bachelard harus dimengerti dalam kerangka perubahan-perubahan besar yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern. Filsafat ilmu pengetahuan tradisional, ibarat contohnya karya-karya E. Meyerson, dalam hal ini tidak memadai lagi. Sudah dalam disertasinya Percobaan untuk Melukiskan Pengetahuan yang Semakin Dekat dengan Tujuannya (1928) Bachelard berusaha untuk menjalankan suatu refleksi filosofis yang gres atas dasar perubahan-perubahan dalam ilmu alam. Refleksi atas perkembangan dalam ilmu pengetahuan modern sanggup menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak terwujud atas dasar hukum-hukum awet yang menguasai ajaran manusia, sebagaimana dipikirkan dalam tradisi Kantian. Bagi Bachelard ilmu pengetahuan tidak merupakan salah satu pola atau konfirmasi perihal cara berfungsinya roh manusiawi yang sesungguhnya sudah kita ketahui dari sumber-sumber lain. "Ilmu pengetahuan sungguh-sungguh membuat filsafat" kata Bachelard. Filsafat harus berguru dari ilmu pengetahuan dan dilarang berusaha untuk menguasai ilmu pengetahuan dengan mengeluarkan petunjuk-petunjuk atau aturan-aturan.
Dengan demikian sanggup dimengerti juga bahwa dalam pandangan ini terdapat korelasi erat antara sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagi Bachelard tidak ada suatu norma umum dan transhistoris untuk memilih kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Kebenaran pengetahuan ilmiah tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya problem suatu ilmu pada dikala tertentu dalam perkembangan historisnya. Norma-norma untuk memilih benar tidaknya ucapan-ucapan ilmiah tidak tiba dari luar, melainkan termasuk suatu bidang ilmiah tertentu; setiap ilmu membuat aturan-aturannya sendiri yang berlaku untuk menyusun dan mengecek teori-teorinya. Pengetahuan ilmiah merupakan buah hasil suatu proses yang bersifat historis dan regional (dalam arti: menyangkut suatu bidang penelitian tertentu). Pertanyaan akan pendasaran pengetahuan ilmiah dan perjuangan untuk menarik garis pemisah antara ucapan-ucapan ilmiah dan ucapan-ucapan non-ilmiah (masalah demarkasi), yang begitu ramai dibicarakan oleh lingkungan Wina dan Karl Popper*, bagi Bachelard tidak relevan.
Sifat historis dan regional kebenaran ilmiah mengakibatkan juga bahwa pengetahuan ilmiah diperoleh dalam suatu proses yang tidak kontinu. Sejarah ilmu pengetahuan ditandai dengan diskontinuitas. Dalam sejarah ilmu pengetahuan kita menjumpai pembaruan terus-menerus. Teori relativitas Einstein, misalnya, mustahil diturunkan dari mekanika Newton. Sia-sia saja orang mencari kontinuitas antara dua teori ini. Terdapat suatu keretakan antara fisika Einstein dan fisika Newton. Dalam konteks ini Bachelard membuat istilah rupture epistemologique (keretakan epistemologis). Dalam sejarah ilmu pengetahuan terdapat banyak keretakan epistemologis serupa itu dan terjadinya keretakan-keretakan epistemologis sering kali merupakan prasyarat untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
Pandangan ini memungkinkan Bachelard memberi suatu peranan positif kepada kesalahan-kesalahan dalam ilmu pengetahuan. Suatu teori gres merupakan pembetulan terhadap suatu teori lama. Dengan nada sedikit ekstrim, ibarat sering disukai Bachelard, ia menyampaikan bahwa dalam ilmu pengetahuan "kebenaran itu tidak lain daripada kesalahan yang dibetulkan". Kalau kita memandang perkembangan ilmu pengetahuan modern, harus kita katakan bahwa kesalahan-kesalahan (berarti apa yang kemudian diakui sebagai "kesalahan") memungkinkan tercapainya kebenaran. Kritik ialah perilaku dasar ilmu pengetahuan modern. Kemajuan diperoleh dengan mengingkari pandangan-pandangan dan teori-teori lama. Suatu hipotesa ilmiah gres dirumuskan, karena--berdasarkan suatu eksperimen--harus dikatakan "tidak" terhadap hipotesa yang diterima selama itu.
Dengan demikian sudah sanggup kita duga sedikit maksud judul bukunya Filsafat perihal Tidak (1940). Fisika Einstein sanggup dipandang sebagai fisika non-Newtonian, sama ibarat ilmu ukur non-Euklidis (ilmu ukur dari Riemann) telah mengganti ilmu ukur Euklidis. Jadi, "tidak" di sini tidak menyampaikan suatu pengingkaran begitu saja, tetapi suatu keretakan epistemologis yang menunjukan peralihan kepada teori yang baru. Dalam disertasinya dari tahun 1928 ia mengungkapkan pikiran yang sama dengan menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan modern maju melalui approximations, artinya selalu lebih erat dengan kebenaran tanpa pernah mencapai kebenaran itu sepenuhnya dan definitif.
Zaman kita kini berdasarkan Bachelard ditandai oleh le nouvel esprit scientifique (suasana ilmiah yang baru), ibarat dikatakan dalam judul salah satu bukunya. Karena itu kini kita mengalami fase ketiga dalam perkembangan ajaran ilmiah, sekurang-kurangnya sejauh menyangkut ilmu pengetahuan alam. Dua fase sebelumnya ialah fase pra-ilmiah dan fase ilmiah. Fase pra-ilmiah mencakup zaman purba dan Renaissance; fase ini ditandai oleh bentuk-bentuk pengenalan yang konkret. Fase ilmiah mulai pada selesai periode ke-18, ketika berdasarkan penggunaan ilmu ukur timbul bentuk-bentuk abstraksi yang pertama. Bachelard menyampaikan bahwa dalam fase kedua ini pengenalan masih bersifat "konkret-abstrak". Baru dalam fase ketiga, yaitu dalam suasana ilmiah yang baru, ilmu pengetahuan menerima sifatnya yang sungguh-sungguh abstrak. Banyak karangan Bachelard mempelajari keretakan antara konsep-konsep serta teori-teori ilmiah di satu pihak dan konsep-konsep serta teori-teori ilmiah yang tradisional di lain pihak. Dalam hal itu teori relativitas ialah pola yang banyak dipergunakan dan Bachelard beropini pula bahwa inovasi Einstein itu merupakan permulaan fase ketiga.
Marilah kita memandang beberapa detail yang menyangkut suasana ilmiah yang gres itu. Salah satu ciri yang paling menonjol ialah bahwa praktek ilmiah modern secara radikal terpisah dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, dalam fisika atau kimia modern "objek" tidak lagi merupakan suatu data yang terjangkau oleh pengalaman inderawi. Ilmu pengetahuan modern tidak "menemukan" objek-objeknya, tetapi objek-objeknya dikontruksikan--jadi merupakan buah hasil suatu konstruksi oleh kegiatan ilmiah yang teknis maupun teoretis. Bagian-bagian atom umpamanya hanya berada sebagai "objek" berkat teknik dan teori ilmiah. Ilmu pengetahuan tidak lagi mempelajari fenomena-fenomena, tetapi menghasilkan fenomena-fenomena, lantaran yang disebut "fenomena" itu merupakan pengaruh dari acara teknis-teoretis. Akibatnya, suatu ciri lain ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak lagi melukiskan atau mencerminkan realitas, tetapi memproduksi dan mengoperasionalkan realitas. Dalam hal ini matematika memainkan peranan yang amat penting. Objek-objek ilmiah sebetulnya tidak lain daripada konstruksi-konstruksi matematis atau relasi-relasi serta kombinasi-kombinasi yang dirumuskan secara matematis. Dan semuanya itu memiliki konsekuensi juga dari segi sosial. Ilmuwan periode ke-18 masih menulis buku-bukunya untuk suatu publik luas; uraiannya ditujukan kepada setiap pembaca terpelajar. Ilmuwan modern kini ini hanya menulis untuk segelintir mahir yang menguasai bidang yang sama.
Untuk menjelaskan suasana ilmiah yang gres itu, kita tidak memakai lagi teori-teori usang yang diberikan dalam filsafat ilmu pengetahuan tradisional (empirisme, positivisme, formalisme, rasionalisme). Teori-teori itu semua berat sebelah dan menutup jalan untuk perkembangan-perkembangan baru. Cara bekerja ilmu pengetahuan modern harus dimengerti secara dialektis, kata Bachelard. Dalam ilmu pengetahuan modern tidak ada metode-metode induktif belaka dan metode-metode deduktif belaka, tidak ada verifikasi; yang ada hanya lah dialektika. Konsep-konsep ilmiah harus didialektisasikan, kata Bachelard. Tidak ada korelasi yang tetap serta mantap antara teori dan eksperimen, antara apriori dan aposteriori. Konsep-konsep serupa itu selalu harus dimengerti dan ditentukan dalam kaitan satu sama lain. Rasionalisme membutuhkan penerapan (bandingkan judul bukunya Rasionalisme yang Diterapkan), ibarat dari segi empirisme membutuhkan pengertian.
Untuk mempertanggungjawabkan apa yang berlangsung dalam ilmu pengetahuan modern kita dilarang membatasi pada satu pandangan filosofis saja. Dari segi filosofis, ilmu pengetahuan modern bersifat pluriform dan filsafat yang ingin memikirkan ilmu pengetahuan modern itu harus menjadi polyphilosopie, polifilsafat (awalan "poli-" berasal dari kata Yunani yang berarti "banyak"), atau--dengan kata lain--filsafat dialektis. Paham "dialektika" memegang peranan penting dalam ajaran Bachelard. Ia tidak memakai paham itu dalam arti Hegelian atau Marxistis, tetapi dalam arti yang agak umum. Ia melihat dialektika sebagai dinamika intern dari ilmu pengetahuan yang ditandai oleh korelasi timbal balik antara dua kutub, seperti: ilham dan pengalaman, koherensi teoretis dan ketelitian eksperimental.
Sebagaimana sudah kita lihat, sejarah ilmu pengetahuan tidak ditandai dengan suatu evolusi yang kontinu. Tetapi di samping revolusi-revolusi yang sering menggoncangkan dan agak mendadak, sejarah ilmu pengetahuan mengalami juga periode-periode yang mandul dan penuh kemacetan. Jika Bachelard memakai istilah "Keretakan epistemologis" untuk menjelaskan revolusi-revolusi itu, ia memakai istilah "hambatan epistemologis" untuk menganalisa periode-periode yang ditandai kemacetan itu.
Yang dimaksudkan dengan hambatan-hambatan epistemologis itu bukan hambatan-hambatan lahiriah ibarat rumitnya materi yang diselidiki atau kesukaran untuk menangkap fenomena-fenomena tertentu. Juga tidak dimaksudkan kelemahan indera insan atau keterbatasan ajaran manusiawi. Suatu kendala epistemologis terjadi, jikalau insan "buta" terhadap kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan yang secara objektif sudah tersedia bagi ilmu pengetahuan. Hambatan-hambatan epistemologis ialah pola-pola pikiran yang merintangi proses pengenalan untuk berjalan terus menuju konsekuensi yang tolong-menolong sudah sanggup dilihat. Hambatan-hambatan epistemologis ialah contre-pensees, kontra-pikiran, kata Bachelard.
Buku yang ditulis khusus perihal tema ini ialah Pembentukan Suasana Ilmiah (1938). Di situ ia memeriksa sejumlah kendala epistemologis dari ilmu fisika periode ke-17 dan ke-18. Dalam konteks ini sanggup dimengerti pula mengapa untuk Bachelard ajaran ilmiah selalu terjadi "melawan arus", selalu harus bersedia menyampaikan "tidak". Ini disebabkan lantaran adanya hambatan-hambatan epistemologis dan salah satu kendala epistemologis yang terbesar bagi ilmu pengetahuan modern ialah pengalaman spontan.
Kiranya sudah terperinci bahwa suatu kendala epistemologis gres tampak sebagai hambatan, jikalau sanggup ditempatkan dalam suatu kerangka historis yang agak luas, bila--dengan kata lain--periode bersangkutan sudah lewat sebagai periode. Suatu kendala epistemologis jauh lebih sulit dan malah hampir mustahil untuk ditemukan, jikalau orang masih sedang mengalami dan menjalani periode tertentu. Tetapi prinsip itu berlaku lebih umum. Periode-periode dari sejarah ilmu pengetahuan hanya sanggup dianalisa dengan bertitik tolak dari dan berdasar pada duduk problem yang faktual dalam suatu ilmu pengetahuan. Suatu periode dengan segala kekhususannya hanya tampak jikalau kita sanggup "menoleh ke belakang". Cara menoleh ke belakang ini oleh Bachelard disebut recurrence, suatu istilah yang tidak gampang diterjemahkan, tetapi barangkali maksudnya didekati sedikit dengan kata "retrospeksi". Setiap inovasi ilmiah yang gres akan mengakibatkan bahwa pandangan ilmiah sebelumnya tampak dalam cahaya yang baru. Sesudah teori relativitas Einstein, mekanika klasik Newton tampak dengan cara lain. Jika kita mempraktekan sejarah ilmu pengetahuan, tidak cukuplah kita memandang teori-teori ilmiah dari masa lampau sebagai fakta-fakta yang tidak berubah. Teori-teori masa lampau selalu harus dikaitkan dan dibandingkan dengan duduk problem yang mutakhir dalam ilmu pengetahuan. Boleh ditambah lagi bahwa cara epistemologis untuk memandang masa lampau ilmu pengetahuan itu sanggup memiliki manfaat untuk ilmuwan kini ini. Studi epistemologis perihal sejarah ilmu pengetahuan sanggup meningkatkan kesiapsiagaan ilmuwan remaja ini dalam mengatasi hambatan-hambatan epistemologis yang merintangi penelitiannya sekarang.
Download di Sini
Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.
Baca Juga
1. Gaston Bachelard. Biografi dan Karya
2. Gaston Bachelard. Poetika