Strukturalisme Dan Antropologi Budaya. Claude Levi-Strauss

Di antara pemikir-pemikir Prancis tidak ada nama yang begitu erat kaitannya dengan strukturalisme menyerupai Claude Levi-Strauss. Terutama lantaran karya-karya orang ini, strukturalisme menjadi suatu pedoman yang menerima identitas tersendiri. Nama “bapak strukturalisme Prancis” yang kadang kala dipergunakan untuk memperlihatkan Levi-Strauss, memang mempunyai dasarnya.

Dalam biografinya Levi-Stratuss bercerita bahwa ada tiga “guru” yang mensugesti ia dimasa mudanya dan dengan demikian memilih kehidupannya sebagai sarjana kemudian, yakni filsafat Karl Marx*, psikoanalisa Sigmund freud*, dan ilmu geologi. Ketiga-tiganya memperlihatkan bahwa realitas yang impulsif tampak bagi kita, harus dipahami dengan mengasalkan dari suatu taraf lebih mendalam. Dan ia sendiri merasa terpanggil untuk melaksanakan hal yang serupa dalam bidang antropologi. Tetapi kemudian niscaya ada banyak faktor lain yang telah mensugesti dia.

Ahli ilmu sosial Prancis yang menjalankan efek paling mendalam atas ia yaitu Marcel Mause (1872-1950). Hal itu tampak antara lain dalam kata pengantar yang ditulisnya, saat sebuah buku Mauss diterbitkan kembali. Tetapi kita sudah melihat bahwa faktor yang paling memilih bagi prestasi ilmiahnya yaitu perkenalannya dengan linguistik modern, khususnya fonologi Trubetzkoy dan Jacobson. Sekitar tahun 1920-an Mauss sudah menyampaikan bahwa sosiologi niscaya akan lebih maju, seandainya di segala bidang diturutinya pola ilmu bahasa. Levi-Strauss berikhtiar merealisasikan acara ini secara sistematis dalam antropologi. Fonologi terutama ditandai tiga ciri yang ketiga-tiganya sanggup dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. Pertama, sebagaimana Bahasa seluruhnya merupakan suatu sistem tanda, demikian pun unsur-unsur Bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Kedua, sistem itu harus dipelajari secara sinkronis, sebelum orang menyelami masalah-masalah diakronis. Ketiga, hukum-hukum linguistik memperlihatkan suatu taraf tak sadar. Hukum-hukum tata Bahasa umpamanya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal orang tidak mengenal hukum-hukum itu secara sadar. Baru ahli-ahli linguistik memperlihatkan hukum-hukum mana yang diikuti orang dalam Bahasa tertentu. Itu berarti bahwa sistem Bahasa dibuat oleh “psike manusiawi” yang tidak refleksif dan tidak sadar.

Dengan bukunya yang besar, Struktur-struktur elementer kekerabatan, Levi-Strauss untuk pertama kali menarik perhatian dunia bakir internasional. Di situ ia berikhtiar menganalisa dan menjelaskan sistem-sistem kekerabatan primitif (kinship sistem) dengan menggunakan metode strukturalistis. Ada alasan berpengaruh yang memungkinkan untuk menyetarafkan kekerabatan dengan objek linguistik. Atau dengan lain perkataan, kekerabatan sanggup dianggap sebagai semacam bahasa. Apa sebabnya? Aturan-aturan yang diikuti oleh klen-klen primitif di bidang kekerabatan dan perkawinan memang merupakan suatu sistem. Dan sistem itu terdiri atas relasi-relasi dan oposisi-oposisi, menyerupai contohnya suami-istri, bapak-anak, saudara lelaki-saudara perempuan, the mother’s brothers-the sister’s son. Titik singgung lain yaitu sama menyerupai Bahasa, kekerabatan pun merupakan suatu sistem komunikasi. Bahasa yaitu sistem komunikasi, lantaran informasi atau pesan-pesan disampaikan oleh satu individu kepada individu lain. Kekerabatan yaitu sistem komunikasi, lantaran klen-klen atau family-famili atau grup-grup sosial lain tukar menukar wanita-wanita mereka. Sebagaimana bahasa merupakan pertukaran, komunikasi, dialog, demikianpun kekerabatan. Dan lantaran bahasa serta kekerabatan boleh dianggap sebagai dua fenomena yang sanggup disetarafkan, maka kedua-duanya sanggup diselidiki berdasarkan metode yang sama. Boleh ditambah lagi bahwa—seperti halnya dalam bahasa—sistem kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak disadari.

Di sini mustahil dan tidak mempunyai kegunaan pula membicarakan karya yang sangat teknis ini. Cukuplah kiranya, kalau kita membatasi diri pada satu aspek. Dengan menerapkan metode struktural dalam penyelidikan relasi-relasi kekerabatan, Levi-Strauss beranggapan sanggup mencurahkan cahaya gres atas suatu perkara yang sudah usang dipersoalkan dalam antropologi, yaitu larangan incest. Dalam semua kebudayaan terdapat larangan incest ini, tetapi isinya sering berbeda-beda. Kata Levi-Strauss: larangan incest adalah sama universal menyerupai Bahasa. Ilmu antropologi telah berusaha menandakan larangan itu dengan rupa-rupa cara: terdapat teori biologis/eugenetis (larangan itu mempunyai dasar alamiah, lantaran orang bau tanah kerabat akan melahirkan keturunan yang tidak sehat), teori psikologis (orang yang dibesarkan bersama tidak merasa daya Tarik seksual satu sama lain) dan beberapa teori sosiologis (antara lain dari Durkheim*). Semua teori itu tidak memuaskan untuk menjelaskan sifat universal larangan incest ini. Menurut Levi-Straus larangan itu merupakan aspek negatif dari suatu fenomena positif: orang wajib menikah di luar klennya sendiri. Perintah mengenai “eksogami” (menikah dengan perempuan dari klen lain) mempunyai sebagai akhir negatif dari larangan terhadap “endogamy” (menikah dengan perempuan dari klen yang sama). Itu berarti bahwa larangan untuk menikahi wanita-wanita di antara kaum kerabat aku melingkupi juga kewajiban untuk “menyampaikan” wanita-wanita itu kepada orang lain, semoga mereka pada gilirannya akan memperlihatkan wanita-wanita mereka kepada saya. Dasar hubungan-hubungan sosial dan dasar kultur pada umumnya ialah pertukaran (l’echange). Dan ijab kabul merupakan l’archetype de l’echange, model pokok di bidang pertukaran. Incest atau “endogamy” ditolak dengan keras dan universal, lantaran mengingkari larangan itu berarti menumbangkan tiang-tiang masyarakat. Pertukaran merupakan semacam “hukum alam” bagi kehidupan sosial; sebagaimana tak urung jagat raya akan hancur, kalau planet-planet, matahari dan bintang-bintang tidak tunduk pada hukum-hukum yang mengaturnya, demikian pun masyarakat akan hancur awut-awutan kalau tidak didasarkan pada “hukum pertukaran”. Sedangkan dengan menikah di luar klennya sendiri, orang membenarkan prinsip yang memungkinkan kehidupan sosial. Dengan larangan incest lahirlah kultur. Atau sebagaimana dikatakan Levi-Strauss sendiri: The prohibilition of incest is… the mendasar step because of which, by which, but above all in which, the transition from nature to culture is accomplished [Larangan incest yaitu langkah yang fundamental; karena, dengan, dan terutama dalam langkah itu terjadilah peralihan dari alam ke kultur). Dengan demikian, Levi-Strauss sanggup menandakan larangan incest—yang dalam grup-grup sosial positif tampak dalam macam-macam bentuk—sebagai perwujudan yang berlain-lainan dari struktur yang identik dan universal. Sudah nyata kiranya bahwa proses ini berlangsung pada taraf tak sadar dan karenanya berasal dari suatu acara tak sadar dari psike manusiawi.

Buku di mana Levi-Straus paling erat dengan filsafat yaitu Pemikiran Liar (1962). Di situ—menurut kesaksiannya sendiri—ia tidak bermaksud merancang suatu filsafat yang lengkap; ia hanya ingin memperlihatkan beberapa kesimpulan yang sanggup ditarik dari antropologi strukturalnya. Dan belahan terakhir seluruhnya digunakan untuk merumuskan kritik tajam atas buku Sartre* Kritik atas Rasio Dialektis yang terbit dua tahun sebelumnya. Itu juga suatu alasan mengapa buku ini menjadikan banyak diskusi dalam kalangan filsuf-filsuf Prancis.

Setiap percobaan untuk menyingkat dalam beberapa baris saja suatu buku yang begitu berisi dan sulit menyerupai Pemikiran Liar niscaya harus gagal. Namun demikian, di sini akan diusahakan untuk melukiskan beberapa pandangannya yang paling mencolok mata. Salah satu pendirian Levi-Strauss yang tampak sepanjang buku ini ialah bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara “Pemikiran Liar” dan “Pemikiran Jinak”, antara pemikiran dalam masyarakat primitif dan pemikiran kita kini ini. Pemikiran pada bangsa-bangsa yang disebut primitif tidak bersifat pra-logis, kalau dibandingkan dengan pemikiran modern. Lucien Levy-Bruhl, seorang filsuf dan sosiologi Prancis, memang pernah beropini demikian; dan berdasarkan Levi-Strauss, Sartre* sebetulnya masih menganut pendapat itu. Tetapi harus ditekankan, pemikiran primitif maupun pemikiran ilmiah yang modern kedua-duanya berpikir logis. Hanya caranya berlainan. “Pemikiran liar” bekerja pada taraf inderawi. Pemikiran liar merupakan pemikiran konkret. Suatu perbandingan sanggup menjelaskan maksudnya. Berhitung dengan menggunakan sempoa dengan berhitung di luar kepala kedua-duanya patut disebut “berhitung”. Tetapi caranya berlainan. Berhitung dengan menggunakan sempoa bersifat konkret, sedangkan berhitung di luar kepala bersifat abstrak. Dengan panjang lebar Levi-Strauss memperlihatkan klasifikasi-klasifikasi luas yang tersusun dalam masyarakat-masyarakat primitif (menyangkut tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan lain-lain). Pemikiran ini mengatur (dan bagi Levi-Strauss inti pemikiran ialah membuat orde atau tata susunan), tetapi pemikiran ini tidak memikirkan dirinya sendiri; pemikiran ini tidak refleksif. Sudah nyata kiranya bahwa pemikiran semacam itu cocok sekali untuk penyelidikan struktural: taraf tak sadar, pembagian terstruktur mengenai yang merupakan sistem yang terdiri dari oposisi-oposisi dan perbedaan-perbedaan, kemungkinan untuk penyelidikan objektif—tanpa hadirnya seorang observator.

Dalam konteks ini Levi-Strauss beranggapan juga sanggup memecahkan problem yang sudah begitu usang menghantui para hebat antropologi budaya, yaitu totemisme. Banyak teori telah dikemukakan untuk menjelaskan asal-usul totemisme sebagai sistem-religius yang terdapat di tempat-tempat yang sangat berbeda (Australia, Afrika, dan Amerika) tanpa perkaitan satu sama lain. Menurut Levi-Strauss problem totemisme itu sebetulnya merupakan sesuatu pseudo-problem, suatu problem semu. Totemisme hanya merupakan salah satu penerapan dari pemikiran positif yang dijalankan oleh masyarakat-masyarakat primitif. Totemisme merupakan suatu pendekatan teoretis yang pertama terhadap realitas di mana relasi-relasi positif yang diamati diterapkan pada realitas itu sendiri. Sia-sia saja orang akan mencari asal mula teori totemisme selain dalam harkat “pemikiran liar” itu sendiri yang mengadakan klasifikasi-klasifikasi dengan berpegang pada data konkret.

Karena dua cara pemikiran itu intinya sama dan lantaran “pemikiran liar” membawa manfaat bagi penyelidikan struktural tersebut tadi, maka dengan mempelajari pemikiran terakhir ini Levi-Strauss menerka sanggup memilih bagaimana kerjanya psike manusiawi pada umumnya. Dengan demikian ia datang pada pendiriannya mengenai une pense sans sujet (pemikiran tanpa subjek). Pemikiran tidak berasal dari suatu “subjek”. Berpikir yaitu mengklasifikasi. Dan lantaran peraturan-peraturan yang diikuti dalam hal itu tidak disadari, bagi Levi-Strauss sudah terperinci bahwa suatu subjek (sebagaimana diterima dalam seluruh tradisi filsafat barat: dari Descartes* hingga Sartre*) di sini tidak mempunyai peranan. Ia menolak setiap macam cogito. Dengan berpikir insan hanya mempraktekkan struktur yang terdapat dalam realitas, struktur yang terdapat dalam benda-benda. Dan apa yang disebut “psike” (l’esprit, kata Levi-Straus) tidak mempunyai status lain daripada benda juga: As the mind too is a thing, the functioning of this thing teaches us something about the nature of things: even pure reflection is in the last analysis an internalization of the cosmos [karena psike juga merupakan suatu benda, maka berfungsinya benda ini memberitahukan kita sesuatu perihal hakikat benda-benda: malah refleksi murni pada akhirnya tidak sesuatu yang lain daripada suatu internalisasi kosmos]. Maka Levi-Strauss hingga pada suatu pandangan materialistis yang ekstrim perihal hidup psikis manusia. Psike insan merupakan sebagian dari kosmos atau realitas material yang tidak membuat lain daripada mencerminkan kosmos itu sendiri (yang berlangsung—ia jelaskan di kawasan lain—dalam sistem saraf). Sebagaimana sebuah cermin yang memantulkan benda-benda lain tetap termasuk kosmos, demikian halnya juga dengan psike. Akibatnya, bagi Levi-Strauss pada akhirnya tidak ada perbedaan prinsipil lagi antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia: dua-duanya mempelajari hal yang sama. Sejauh masih ada kiprah khusus bagi ilmu pengetahuan manusia, maka kiprah itu tidak lain daripada “meleburkan” insan dan memperlihatkan bahwa psike manusiawi tidak merupakan sesuatu yang istimewa di tengah makhluk-makhluk lain.

Karya raksasa yang diberi judul umum Mythologiques tidak berbuat lain daripada memperlihatkan gagasan yang sudah terurai dalam Pemikiran liar. Sepintas kemudian rupanya cerita-cerita dari mitologi itu asing dan tidak punya arti. Rupanya mitos-mitos merupakan hasil dari kreativitas psike insan yang sama sekali bebas. Kalau kiranya sanggup dibuktikan bahwa di bidang itu pun psike insan tetap taat pada hukum-hukum tertentu, maka kesimpulannya ialah bahwa psike selalu dideterminasi oleh struktur-struktur tak sadar dalam segala pekerjaannya. Dan dalam interpretasinya perihal mitologi itu Levi-Strauss memang memperlihatkan bahwa mitos juga terdiri atas relasi-relasi serta oposisi-oposisi dan bahwa dengan cara demikian “pemikiran liar” berhasil membuat keteraturan dalam dunianya.


Dalam karyanya perihal mitologi Levi-Strauss menyidik dan menafsirkan sekitar delapan ratus mitos dari suku-suku Indian Amerika, baik Amerika Selatan maupun Amerika Utara. Keempat jilid dari karya besar itu mempunyai nama-nama yang cukup puitis: I. Le cru et le cuit (1964) (Yang Mentah dan Yang Dimasak), II. Du miel aux cendres (1967) (Dari Madu Sampai Abu), III. L’orgine des manieres  de table (1968) (Asal-usul Sopan Santun di Meja Makan), IV. L’home nu (1971) (Manusia Telanjang). Menurut evaluasi para kritisi, mutu sastranya pun sungguh-sungguh tinggi. Dalam perjuangan interpretasinya, Levi-Strauss membedakan unsur-unsur elementer dalam setiap mitos. Unsur elementer itu disebutnya mythemme (mitem, katakanlah). Bahwa Oidipus membunuh ayahnya contohnya (kalau kita mengambil pola dari suatu mitos yang terkenal), boleh dianggap suatu mitem tersendiri; dan bahwa Oidipus menikahi ibunya, merupakan suatu mitem lain. Interpretasi berlangsung dengan mengaitkan relasi-relasi dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer itu. Dalam hal ini ditekankannya bahwa sebuah mitos tidak hanya boleh dibaca menyerupai kita membaca buku, dari kiri ke kanan, tetapi sekaligus harus dibaca juga dari atas ke bawah. Kita harus membaca sebuah mitos, sama menyerupai kita membaca sebuah partitur musik dengan semua not baloknya. Tetapi mitos-mitos harus juga dikaitkan satu sama lain. Dalam hal ini Levi-Strauss memberanikan diri mengaitkan mitos dari Amerika Selatan (Brazil umpamanya) dengan mitos dari Amerika Utara (Kanada umpamanya), sering kali dengan hasil yang mengagumkan. Tetapi menyerupai halnya dengan buku-bukunya yang lain, karya perihal mitologi itu juga harus menghadapi kritik tajam, terutama dari pihak ahli-ahli antropologi Anglo-Saxon. 


Download di Sini


Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. 2001. Gramedia. Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel