Aristoteles. Logika

Nama dan fungsi logika
Nama “logika” tidak terdapat pada Aristoteles sendiri. Dalam karangan-karangan masa kuno yang kita miliki, nama “logika” untuk pertama kali muncul pada Cicero (abad I SM), tetapi dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan masa ke-3 SM) ialah orang pertama yang mempergunakan kata “logika” dalam arti yang kini dimaksudkan dengannya (ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita). Aristoteles sendiri menggunakan istilah “analitika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar dan ia menggunakan istilah “dialektika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak niscaya kebenarannya.

Dalam Topica Aristoteles membahas dialektika, sedangkan dalam karya-karyanya Analytica prioria dan Analytica posterioria sudah menyatakan di sini ia membicarakan analitika. Jadi, bagi Aristoteles analitika dan dialektika merupakan dua cabang dari ilmu yang kini kita namakan “logika”.

Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga golongan: ilmu pengetahuan praktis, produktif, dan teoretis. Ilmu pengetahuan mudah meliputi adat dan politika. Ilmu pengetahuan produktif menyangkut pengetahuan yang sanggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). Akhirnya, ilmu pengetahuan teoretis meliputi tiga bidang: fisika, matematika, dan “filsafat pertama” (yang setelah Aristoteles akan disebut “metafisika”). Kiranya sudah konkret bahwa dalam pembagian ini tidak ada daerah untuk logika. Dan memang demikian maksud Aristoteles. Biarpun ia mengarang banyak sekali buku mengenai logika, namun Aristoteles beropini bahwa budi tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. Maksud yang sama diekspresikan juga dalam nama yang diberikan kepada karya-karya Aristoteles ihwal logika, yaitu Organon (=alat). Logika tidak merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan, melainkan suatu alat biar kita sanggup mempraktekan ilmu pengetahuan. Baru pada selesai masa kuno (dalam masa ke-6 M) nama Organon mulai dipakai.

Kalau kita menyampaikan bahwa Aristoteles telah menemukan logika, maka itu tidak berarti bahwa dalam filsafat sebelumnya tidak terdapat sesuatu pun ihwal logika. Dalam pedoman mazhab Elea, kaum sofis, Sokrates*, dan Plato* niscaya sudah ada unsur-unsur yang dipergunakan Aristoteles dalam menyusun logikanya. Dengan menyampaikan bahwa Aristoteles memiliki jasa besar dalam menemukan logika, yang kita maksudkan ialah untuk pertama kalinya dalam sejarah Aristoteles memperlihatkan uraian sistematis mengenai logika. Tidak sanggup dibantah bahwa budi Aristoteles memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual bangsa manusia. Buku-buku pegangan ihwal budi tradisional (yang dibedakan dengan budi modern) sebagian besar diisi dengan budi Aristoteles, hingga pada hari ini. Pada masa ke-18 Imanuel Kant masih sanggup menyampaikan bahwa semenjak Aristoteles, sudah lebih dari 20 abad, budi bahwasanya tidak bias maju selangkah pun. Tetapi kita harus mengakui bahwa semenjak timbulnya budi modern pada masa ke-19 tuturan Kant ini tidak sanggup dibenarkan lagi.

Induksi dan deduksi
Menurut Aristoteles, pengetahuan gres sanggup dihasilkan melalui dua jalan. Jalan yang pertama disebut “induksi”. Dengan bertitik tolak dari kasus-kasus khusus, induksi menghasilkan pengetahuan ihwal yang umum. Dengan lain perkataan, induksi bertitik tolak dari beberapa pola dan atas dasar itu menyimpulkan suatu aturan umum yang berlaku juga bagi kasus-kasus yang belum diselidiki. Jalan kedua disebut “deduksi”. Deduksi bertitik tolak dari dua kebenaran yang tidak disangsikan dan atas dasar itu menyimpulkan kebenaran yang ketiga. Sudah konkret bahwa induksi tergantung pada pengetahuan indrawi, sedangkan deduksi sama sekali lepas dari pengetahuan indrawi. Itulah sebabnya Aristoteles menganggap deduksi sebagai jalan tepat menuju ke pengetahuan baru. Induksi tidak menerima banyak perhatian dalam budi Aristoteles. Logikanya hampir tidak membicarakan lain daripada masalah-masalah yang berafiliasi dengan deduksi saja.


Silogisme
Salah satu cara bagaimana Aristoteles mempraktekan deduksi ialah silogisme (syllogismos). Itulah inovasi Aristoteles yang terbesar dalam bidang budi dan silogisme memiliki peranan sentral dalam kebanyakan karyanya ihwal logika. Silogisme ialah argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi (Bahasa Inggris: “propositions”). Dalam setiap proposisi sanggup dibedakan dua unsur: 1) hal ihwal apa sesuatu dikatakan dan 2) apa yang dikatakan. Hal ihwal apa sesuatu dikatakan disebut “subjek” dan apa yang dikatakan ihwal subjek disebut “predikat”. Kalau kita menentukan sebagai pola proposisi “Raja ialah seorang manusia”, maka dalam proposisi ini subjek ialah “Raja” dan predikat ialah “seorang manusia”.

Argumentasi yang disebut silogisme menurunkan proporsisi ketiga dari dua proposisi yang sudah diketahui. Misalnya:
- Semua insan akan mati
- Raja ialah seorang manusia
- Dari lantaran itu raja akan mati

Kunci untuk mengerti silogisme ialah term yang digunakan baik dalam putusan pertama maupun dalam putusan kedua. Term itu disebut “term menengah” (middle term). Dalam pola di atas, term menengah ialah “manusia”. Aristoteles membedakan tiga macam silogisme, tergantung pada daerah term menengah dalam proposisi pertama dan kedua. Dengan teliti ia melukiskan peraturan-peraturan yang harus ditaati supaya penyimpulan boleh dianggap sah.


Download di Sini


Sumber.

Baca Juga

Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Kanisius. Yogyakarta

Baca Juga
1. Aristoteles. Biografi
2. Aristoteles. Karya-karya
3. Aristoteles. Politik
4. Aristoteles. Psikologi
5. Aristoteles. Metafisika
6. Aristoteles. Etika
7. Aristoteles. Fisika

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel