Teori Konflik Sosial

Horton dan Hunt menyebutkan bahwa secara keseluruhan teori sosiologi terdiri dari lima perspektif dasar yaitu perspektif evolusionis, perspektif interaksionis, perspektif fungsionalis, dan konflik. Di mana keberadaan perspektif yang keempat yaitu konflik, bahwasanya didasarkan pada karya Karl Marx* (1818-1883) yang melihat kontradiksi dan eksploitasi kelas sebagai penggagas utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Menurutnya perspektif ini dibangkitkan kembali oleh C. Wright Mill* (1956-1959), Lewis Cosser* (1956), dan yang lainnya yaitu, Aron (1957, Dahrendorf* (1959), Chandlis (1979), Collins* (1975), dengan perkiraan yang sama yaitu, memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama alasannya yaitu kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. (Paul B Horton dan Chester L. Hunt,”Sosiologi”, Edisi VI Jilid I, 1996, hal 16-20)

Hal yang sama diungkapkan oleh K. J Veerger bahwa teori konflik bertitik tolak dari kenyataan sosial (social reality) yang selalu melahirkan dua bentuk keanggotaan masyarakat yang saling berlawanan dalam kepentingan yaitu keanggotaan dari mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai. Di mana hal tersebut berdasarkan Dahrendorf* (1959) akan senantiasa mengakibatkan dualisme yang bersifat langgeng dalam masyarakat (Horton dan Hunt, hal 16-20). Berikut beberapa perkiraan yang dijadikan proposisi dasar dari teori konflik sosial bahwa:


1. Tiap-tiap masyarakat di segala bidangnya mengalami proses-proses perubahan; perubahan sosial terjadi di mana-mana.


2. Tiap-tiap masyarakat mengatakan perbantahan (disensus), dan konflik di segala bidangnya. Konflik sosial ada di mana-mana.
 

3. Tiap-tiap unsur dalam masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahannya.
 

4. Tiap-tiap masyarakat terdiri atas dasar pemaksaan yang dikenakan oleh segelintir orang lain.

Teori konflik berdasarkan Veerger tersebut, lahir dari penentangan teori fungsionalisme yang dianggap meniadakan bentuk-bentuk konflik dalam masyarakat dan dengan demikian tidak bisa menjawab realitas yang ada. Untuk memperjelas faktor pembentuk teori konflik, berikut beberapa klarifikasi proposisi dasar dari teori fungsionalisme bahwa:
1. Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif berpengaruh dan mantap.
 

2. Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang unsur-unsurnya berintegrasi satu sama lain.
 

3. Tiap-tiap unsur masyarakat memiliki fungsinya, dalam arti bahwa menyumbang pada ketahanan dan kelestarian sistem.
 

4. Tiap-tiap struktur yang fungsional dilandasi oleh kesesuaian paham (consensus) antara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.

Teori fungsionalisme muncul sebagai kritik terhadap teori evolusi yang masih menyediakan ruang bagi terbentuknya konflik dalam masyarakat (seleksi alam darwinisme). Teori fungsionalisme muncul pertama pada tahun 1930-an yang dikenal dengan teori struktural fungsional yang dikembangkan oleh Robert Merton* dan Talcott Parson*. Hal tersebut tampak dari ilustrasi Parson* yang menyamakan prosedur masyarakat dengan keberadaan organ badan manusia. Di mana tiap-tiap unsur non-normatif yang menyediakan gejolak akan dengan sendirinya memunculkan titik equilibrium yang harmoni melalui adaptasi segera masing-masing elemen yang ada. Setiap konflik yang terjadi dalam masyarakat selalu dipandang oleh teori fungsionalisme struktural sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial, oleh alhasil harus dihindari. Pandangan tersebut berdasarkan penganut teori konflik menampikan realitas sosial yang lain bahwa di dalam masyarakat ada yang diuntungkan dan dirugikan oleh proses dan prosedur dalam sistem kemasyarakatan. Dengan demikian potensi konflik yang ada dalam masyarakat guna mengarahkan perubahan kepada masyarakat tanpa penindasan dan ekspolitasi menjadi tertutup. Teori fungsionalisme struktural dianggap berwatak konservatif dan berkehendak melanggengkan status quo (Mansur fakih,”Sesat Pikir; Teori Pembangunan”, 2001, hal 18).

Dari uraian tersebut, perkiraan yang dijadikan sebagai proposisi atau pernyataan-pernyataan yang mendasari keberadaan teori konflik sosial, terbentuk dan merupakan perlawanan eksklusif terhadap proposisi-proposisi yang dinyatakan oleh teori fungsionalisme. Sehingga dalam upaya melaksanakan pembahasan secara menyeluruh tentan teori sosial melalui perspektif konflik sosial, keberadaan teori fungsionalisme sangat penting adanya. Dengan kata lain, teori fungsionalisme sanggup dijadikan alat untuk memperjelas keberadaan teori konflik sosial. Begitupun dengan teori konflik sanggup dipakai untuk memperjelas proposisi dasar teori fungsionalisme.


Download di Sini


Sumber.
Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel