Teori Kritis (Teori Kritik Masyarakat/Sosiologi Kritis/Sosiologi Skeptis)

Nama atau istilah “Teori Kritis” berdasarkan Bertens (2002:200) diciptakan oleh Max Horkheimer* sebagai salah seorang pendiri Mazhab Frankfurt*. Di mana kata “Teori Kritis” tersebut berdasarkan Sindhunata (1982:14) merupakan tema dan artikel Horkheimer berjudul Traditionelle und Kritische Theori (Teori Tradisional dan Teori Kritis) yang terbit pada tahun 1937 dalam majalah Zeitschrift fur Socialforschung. Untuk selanjutnya, berdasarkan Sindhunata, artikel tersebut menjadi sejenis agenda kerja bagi Institute Penelitian Sosial yang kemudian dikenal sebagai Mazhab Frankfurt*/main. Sehingga dalam hal ini, penamaan teori kritis itu sendiri selalu diberikan sebagai sebutan lain mazhab tersebut, yang semula tokoh-tokohnya berpusat pada “Institute fur Sozialforschung” di Frankfurt. Cara ajaran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri “Teori Kritik Masyarakat” (Eine Kritische der Gesselschaft). Maksud teori itu ialah membebaskan insan dari pemanipulasian para teknokrat modern, ialah kekhasan teori kritik masyarakat bahwa teori itu diilhami oleh teori-teori dasar ajaran Karl Marx*, namun sekaligus melampaui dan meninggalkannya serta menghadapi masalah-masalah masyarakat industri maju secara gres dan kreatif.

Magnis (1999:iv) menyebutkan bahwa dalam artikel ini Horkheimer* bermaksud merumuskan pendirian teori kritis melalui pembedaan yang fundamental dengan contoh tradisional teori filsafat dan ilmu-ilmu insan yang dianggap bersifat kontemplatif, afirmatif dan oleh alasannya ialah itu ideologis. Teori kritis dalam hal ini ialah sebuah teori yang berusaha membongkar pengandaian-pengandaian terselubung teori-teori kontemplatif yang akal-akalan objektif, dan oleh alasannya ialah itu, bahwasanya sama sekali tidak objektif, melainkan berkaitan dengan upaya melindungi dan melegitimasi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Teori kritis dibutuhkan menjadi sebuah aktivitas praksis emansipatif dalam membongkar dan menelanjangi realitas yang ditandai oleh penindasan-penindasan terselubung. Horkheimer* dan Adorno* dalam hal ini berbagi pendekatan dari teori kritis tersebut, menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri kapitalistik.


Pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt* juga sering disebut dengan istilah “Sosiologi Kritis”. Menurut Denis H. Wrong (Sindhunata, 1982:6-7) hal ini dikarenakan ajaran Mazhab Frankfurt* yang selalu mengaitkan wacana eksistensi fakta sosiologis dengan perenungan filsafat yang mendalam, sehingga mustahil dilakukan pemisahan antara keduanya. Dan justru alasannya ialah filsafatlah maka teori-teori Sekolah Frankfurt dikenal dengan sebutan “Sosiologi Kritis”. Di mana eksistensi istilah teori sosiologi kritis mempunyai analog sebagai pembeda yang nyata dengan sosiologi empiris (positivis). Di bidang sosiologi, gagasan Sekolah Frankfurt ini kurang lebih searus dengan gagasan sosiolog-sosiolog ibarat C. Wright Mill*, Daniel Bell*, dan Peter L Berger*, di samping nama lain yaitu, Raymond Aron, Ralf Dahrendorf* dan Barirngton More. Di mana, sosiolog-sosiolog tersebut ingin semoga sosiologi menceburkan diri dalam duduk kasus dan kehidupan insan secara menyeluruh, tidak membatasi diri pada analisa teknis belaka wacana insan dan masyarakatnya. Mereka ingin semoga sosiologi juga bisa menganjurkan perubahan masyarakat; keprihatinan mereka ialah kemanusiaan secara lengkap.

Denis H Wrong menawarkan sebutan pada ajaran teoretisi sosiologi tersebut dengan istilah sosiologi skeptis (skeptical sosiologi). Istilah ini digunakan untuk membedakan sifat lain dari sosiologi positivistik, yang biasanya berusaha menerapkan metodologi ilmu pengetahuan alam untuk menganalisa masalah-masalah kemanusiaan. Ciri khas pendekatan sosiologi skeptis ialah humanisme. Wrong menyebutkan bahwa sosiologi skeptis mempunyai hubungan bersahabat dengan sosiologi kritis dari sekolah Frankfurt, di mana menurutnya sosiologi skeptis ini tidak lebih daripada bentuk lain dari sosiologi kritis, istilah yang digunakan secara luas untuk mengidentifikasikan apa yang sering kali terlihat sebagai kecenderungan melawan sosiologi yang berusaha melegitimasikan dirinya dengan terus mengambil ilmu pengetahuan sebagai modelnya. Sosiologi kritis itu menunjuk kepada kaum revisionis Marxis dari Sekolah Frankfurt.

Hardiman (2003:27-29) menyatakan bahwa teori kritis Mazhab Frankfurt* merupakan kelanjutan dari isi Methodenstreit, dan sanggup dipahami dalam terperinci perdebatan ini. Isu seputar metode ilmu-ilmu sosial ibarat kita ketahui, tidak mendapat penyelesaiannya sehingga dianut pluralisme nilai, termasuk ‘kebebasan nilai’ itu sendiri. Sampai di sini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam wilayah kesadaran positivis tanpa pernah beranjak dari sana. Pada tahap perkembangan inilah Teori Kritis Mazhab Frankfurt* berdasarkan Hardiman, ikut berbicara dalam perdebatan ini. Di mana rangkaian perdebatan tersebut terjadi antara tahun 1961-1965 di Tubingen oleh Deutsche Gesselscaft fur Soziologi. Teori kritis bukanlah suatu ‘teori ilmiah’ sebagaimana secara luas dikenal di kalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Habermas* (Bertens, 2001:210) melukiskan Teori Kritis sebagai suatu metodologi yang bangkit di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam ketegangan itulah dimaksudkan bahwa teori kritis tidak berhenti pada fakta objektif ibarat dianut teori-teori positivis. Teori kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian teori kritis menampakkan dirinya melalui dialektika antara ilmu pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, sanggup disimpulkan bahwa teori kritis ialah penamaan lain dari tradisi ajaran kritis Mazhab Frankfurt*, di samping istilah lain yaitu sosiologi kritis, dan atau sosiologi skeptis, yang dalam tradisi keilmuan sosiologi, mempunyai ciri khas humanis-emansipatif. Di mana pengertian humanis emansipatif dalam hal ini, hendaknya diletakan dalam posisi kemanusiaan yang universal, yakni penentangan terhadap segala bentuk kemapanan yang meniadakan eksistensi insan (species being). Di samping itu, pengertian teori kritis itu sendiri hanya sanggup dimengerti sebagai bentuk perlawanan (kritik) terhadap pola-pola tradisional ajaran teoritis (positivis), dan merupakan sebuah upaya mengaitkan aktivitas teoritis dengan praksis ilmu-ilmu sosial, dengan demikian terdapat perbedaan perkiraan metodologis. Paham positivis selalu menginginkan sebuah model bebas nilai (mengambil jarak dengan objek), yang justru berdasarkan Teori Kritis Mazhab Frankfurt*, hal tersebut mustahil digunakan dalam penelitian sosial yang meletakan masyarakat sebagai objek kajiannya. Hal tersebut lebih dikarenakan tugas peneliti yang tidak sanggup dilepaskan dari nilai-nilai masyarakat yang mengikatnya, di mana ia ialah salah satu anggotanya. Oleh alasannya ialah itu penelitian sosial tidak akan mungkin bebas nilai, melainkan sarat dengan nilai-nilai. Teori Kritis Mazhab Frankfurt* menyebutkan bahwa nilai-nilai itu ialah bentuk pertanggungjawaban ilmiah dari ilmuwan sosial, berupa asumsi-asumsi wacana kemanusiaan yang universal.

Teori sosial harus menghasilkan praksis emansipatif, yaitu harus menghasilkan usaha-usaha emansipatif bagi pembebasan insan dalam mengenal dirinya dan memperoleh kebahagiaan hidupnya, bebas dengan pengertian terlepas dari penderitaan fisik maupun dari belenggu ideologis, insan harus sanggup bangkit diatas kaki sendiri untuk mengenal dirinya sendiri secara utuh dan mengenal kebebasan dan kebahagiaan hidup yang diinginkannya. Keterkaitan antara aktivitas berteori dan perjuangan praksis emansipatoris merupakan abjad khas dari teori kritis dan merupakan jenis teori yang berbeda dengan beberapa bentuk pengonsepan teori ibarat yang penulis ulas pada tinjauan belahan pertama. Secara berangsur-angsur penulis mencoba merangkai kerangka sebuah teori sosial yang cukup memadai dengan landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis yang memungkinkan untuknya. Pada belahan pertama penulis berusaha membedakan antara eksistensi teori ilmu alam dan teori sosial, kemudian kondisi yang menimbulkan teori-teori sosial tersebut tidaklah bersifat bebas nilai ibarat yang mungkin bagi perlakuan ilmu alam, di sini penulis mencoba menguraikan landasan ontologis wacana realitas dan landasan epistemologis wacana bagaimana sesungguhnya seorang teoretisi sosial atau insan secara umum memperoleh sebuah pengetahuan. Dalam kerangka tersebut, insan tidak hanya mentransformasikan realitas material manusia, namun sekaligus pula menghayatinya. Pada titik tersebut penulis berhenti pada dua landasan saja yakni, landasan ontologis dan epistemologis, kemudian pada pembahasan mengenai Karl Marx*, penulis mencoba menawarkan citra abnormal wacana praksis teoretis dari teori-teori Marx* yang mempunyai nuansa emansipatif yang kental. Kemudian dalam penyempurnaan teori-teori marxis yang pada gilirannya mengalami pembekuan dalam ideologi deterministik ekonomi yang dikembangkan oleh Lenin, Stalin dan rekan-rekan kiri lainnya. Teori Kritis Mazhab Frankfurt* berusaha menawarkan landasan yang tetap bagi sebuah teori yang bersifat kritis sekaligus kritis pada dirinya sendiri, sehingga sanggup mencegah proses ideologisasi atau proses menjadi ideologi ibarat yang dialami oleh teori-teori Marxis.

Teori kritis juga dimaksudkan bahwa teori-teori tersebut hendaknya bertumpu pada kemanusiaan universal, teori kritis tidak membenarkan penderitaan sekecil apa pun terhadap insan meskipun dalam kerangka sebuah perubahan yang menjanjikan. Demikian halnya apabila kita menelaah terminologi dalam istilah tersebut, Hardiman (2003:19-20), kata teori (Yunani theorea) berasal dari tradisi keagamaan dalam bahasa Yunani kuno. Theoros ialah wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan-keperluan ritus keagamaan. Di dalam perayaan-perayaan itu, orang ini melaksanakan theorea atau “memandang” ke arah peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ia berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori ia sekaligus mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani, pengalaman itu disebut katharsis; pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian dalam pemahaman primitifnya sesungguhnya teori mempunyai kekuatan emansipatoris. Di mana pertautan tersebut senantiasa mengacu pada impian etis, ibarat kebaikan, budi ataupun kehidupan yang sejati.

Dalam teori insan memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tetap sehingga praksis hidupnya sanggup merealisasikan kebaikan, kebahagiaan dan kemerdekaan. Dalam tradisi Yunani purba, pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan konkret. Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu secara padat dalam istilah bios theoritikos (Hardiman 2003:19), istilah ini tidak mengacu pada teori dalam pengertian modern yang merumuskan suatu “pengetahuan demi pengetahuan” ke dalam kategori yang terlepas dari kehidupan konkret. Bios theoritikos merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan dengan jalan itu insan mencapai otonomi dan budi hidup. Pemahaman teori semacam itu memperoleh kepadatan isinya bukan dalam pemisahannya dari tindakan melainkan justru dalam fungsinya bagi kehidupan simpel manusia.

Dengan munculnya ajaran filosofis dalam masyarakat Yunani yang mengakibatkan demitologisasi ajaran mitis. Melalui ungkapan-ungkapan filosofis, teori mulai dijauhkan dari ritus-ritus keagamaan, meskipun arti harfiahnya tetap sama, yakni “memandang”. Dalam ajaran filosofis, teori berarti “kontemplasi atas kosmos”, di mana dengannya filsuf melaksanakan mimesis (peniruan) terhadap sinergisitas antara harmoni mikrokosmos dan makrokosmos yang diwujudkan dalam contoh sikap atau tindakan kesehariannya. Bersamaan dengan munculnya ajaran filsafat, teori mulai dipisahkan dari praksis, dengan menarik garis batas antara ada dan waktu, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah, insan berkeinginan untuk tetapkan sebuah pengetahuan yang permanen, bebas dari kondisi ruang dan waktu. Dari hal tersebut pada gilirannya melahirkan semacam keharusan bagi pengetahuan insan yang bebas nilai, yakni murni terbebas dari dorongan-dorongan subjektif insan yang bersifat berubah-ubah, di mana hal tersebut pula merupakan bibit lahirnya teori-teori positivis yang mencoba mengambil jarak dari kondisi ataupun situasi subjektif manusia.

Kelahiran ajaran tersebut sekaligus mengikis habis bios theoritikos alasannya ialah teori tidak lagi memperoleh kepenuhan isinya dalam kehidupan, melainkan justru menarik diri dari kehidupan simpel manusia. Tanpa disadari, pencucian dari kepentingan-kepentingan manusiawi ini, sesungguhnya tidak lain dari pelaksanaan kepentingannya sendiri, yaitu pelaksanaan kepentingan untuk menekan kepentingan demi pencapaian pengetahuan murni. Hardiman (2003:22-24) menyebutkan bahwa pencucian teori dari kepentingan dalam sejarah filsafat, berlangsung dalam dua jalur. Jalur pertama, para filsuf yang mengutamakan kemampuan rasio insan menganggap pengetahuan murni sanggup diperoleh melalui rasio insan sendiri, pada jalur yang pertama bangkit Plato* kemudian mengikuti Rene Deskartes*, kemudian pada jalur yang sama ialah pemikiran-pemikiran Malebrache, Spinoza*, Leibniz*, dan Wolf. Pada jalur kedua yaitu filusuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris terhadap objek. Berdiri pada jalur yang terakhir ialah Aristoteles*, kemudian Hobbes*, Locke*, Berkeley dan Hume*. Di mana pada gilirannya, dari arus perkembangan filsafat sendiri lahirlah positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte* (1798-1867). Positivisme ialah puncak pencucian pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian impian untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.

Dari pemahaman tersebut positivisme bermaksud menerapkan sebuah impian wacana pengetahuan yang objektif dan tidak berubah, meliputi segala hal dalam bentuk aturan yang universal. Positivisme awal melahirkan sosiologi, ilmu pengetahuan sosial. Comte* memandang sosiologi berada pada titik kulminasi perkembangan aneka macam disiplin ilmiah, puncak perkembangan positivisme sendiri. Sebenarnya macam pengetahuan yang kemudian menjadi sosiologi itu sendiri tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan tradisi ontologi maupun ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu sosial menyoroti bidang-bidang intersubjektif yang berubah-ubah. Apa yang terjadi dalam pergaulan hidup insan dalam masyarakat bukanlah fakta mati melainkan hanyalah pendapat orang-orang atas interaksi mereka. Yang bahwasanya hendak dicapai dalam interaksi ialah pemahaman timbal balik. Akan tetapi dalam semangat positivisme, ilmu-ilmu sosial mengklaim diri sebagai ilmu yang ilmiah dengan bersandar pada model teori ilmu-ilmu alam. Di sini pun sikap teoritis murni menjadi tuntutan bagi sang ilmuwan sosial. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial menjadi ‘positivistis’.

Penerapan metode ilmu-ilmu alam pada kenyataan sosial banyak mengakibatkan permasalahan. Kondisi ibarat ini pada gilirannya memunculkan kesadaran teoritis yang terwujud dalam perdebatan metodologis yang pada tahap awal dilakukan oleh Max Weber* yang diilhami oleh bentuk perbedaan antara Geisteswissenscaft dan Naturwissenscaft Windelband dan Dilthey*. Dalam hal ini Teori Kritis Mazhab Frankfurt* meneruskan kerangka perdebatan tersebut yang diwakili oleh Adorno* dan Jurgen Habermas* sebagai generasi kedua teori kritis. Demikian untuk selanjutnya Teori Kritis Mazhab Frankfurt melanjutkan semacam usaha-usaha mengatasi sifat-sifat positivisme dalam teori-teori sosial dengan mencari keterkaitan antara teori dan praksis emansipatif dengan inspirator teori-teori Marxis.


Download di Sini


Sumber.
Ramdani, Dani. 2005. Studi Komparasi antara Teori Karl Marx dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam Menganalisa Masyarakat Kapitalis. Skripsi. Universitas Lampung.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel