Ulrich Beck. Politik Globalisasi Dan Kosmopolitanisme
Kita bisa mendapat inti dari pedoman Beck (2000) ihwal info ini dengan mendiskusikan perbedaan yang dibuatnya antara globalisme dan globalitas. Globalisme yaitu pandangan bahwa dunia di dominasi oleh perihal ekonomi dan bahwa kita sedang menyaksikan kemunculan hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menyangganya. Bagi Beck, pandangan tersebut melibatkan pedoman monokausal dan linear. Multidimensionalitas kemajuan global—ekologi, politik, budaya, dan masyarakat sipil—telah secara keliru direduksi sebagai satu dimensi ekonomi. Dan, dimensi ekonomi tersebut dipandang, sekali lagi secara keliru berevolusi ke satu arah linear, yakni semakin tergantung pada pasar dunia. Jelas terlihat bahwa Beck memandang dunia dalam pengertian yang jauh lebih multidimensional dan multidireksional. Selain itu, ia sangat sensitif pada masalah-masalah yang dikaitkan dengan pasar dunia yang kapitalis, termasuk fakta bahwa terdapat aneka macam macam halangan pada perdagangan bebas dan bahwa bukan hanya pemenang yang ada dalam pasar dunia ini, melainkan juga terdapat (banyak) pecundang.
Walaupun Beck yaitu seorang yang menentang pandangan globalisme, ia melihat banyak manfaat dalam gagasan globalitas, daerah ruang-ruang tertutup, terutama yang berkaitan dengan bangsa dipandang semakin tidak nyata. Mereka menjadi semakin tidak kasatmata alasannya yaitu globalisasi, yang melibatkan aktor-aktor transnasional, dengan tingkat kekuasaan yang berbeda-beda, identitas, dan semacamnya yang mengoyak dan melemahkan bangsa-bangsa. Semua proses transnasional itu tidak sekedar berafiliasi dengan ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi, budaya, politik, dan masyarakat sipil. Proses transnasional itu melintasi perbatasan negara, menjadikan batas-batas tersebut tidak terlindungi, jikalau tidak menyatakanya tidak relevan. Tidak ada sesuatu pun yang sekarang masih dibatasi untuk hanya merujuk pada lokal. Segala sesuatu yang terjadi secara lokal, termasuk kemajuan maupun bencana, membawa dampak ke seluruh penjuru dunia.
Proses transnasional telah usang ada; meski demikian, globalisasi yaitu suatu hal yang gres dikarenakan setidaknya tiga alasan berikut. Pertama, pengaruhnya di atas ruang geografis jauh lebih besar lengan berkuasa daripada sebelum-sebelumnya. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil;layaknya imbas yang berlanjut dari satu waktu ke waktu lain. Ketiga, pada aneka macam unsurnya, termasuk korelasi dan jaringan transnasional, terdapat kerapatan yang jauh lebih besar. Beck juga mencatat serangkaian hal lain yang khas ihwal globalitas dibandingkan dengan aneka macam manifestasi transnasional yang sebelumnya:
1. Interaksi dan kehidupan sehari-hari yang melintasi batas-batas negara menjadi terkena dampaknya secara mendalam
2. Terdapat persepsi diri dari transnasionalitas itu diberbagai ranah menyerupai media massa, konsumsi, dan turisme
3. Komunitas, tenaga kerja, dan kapital semakin tidak terikat tempat
4. Semakin meningkatnya kesadaran ihwal ancaman ekologi global dan terdapat tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mengatasinya
5. Semakin meningkatnya pemahaman terhadap mereka yang transkultural dalam kehidupan kita
6. Industri budaya global tersebar sampai pada tingkatan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya
7. Meningkatnya jumlah dan kekuatan aneka macam kesepakatan, aktor, dan institusi transnasional
Hal tersebut kemudian menuntun Beck untuk memperbaiki pemikiranya ihwal modernitas dan untuk mengajukan pendapat bahwa globalitas, dan ketidakmampuan untuk memutarnya kembali, berkaitan dengan apa yang sekarang disebutnya sebagai “modernitas kedua”. Namun, di atas semuanya, apa yang memilih modernitas itu yaitu menurunnya kekuasaan bangsa-bangsa dan batas-batas negara yang merupakan inti dari “modernitas pertama”. Premis utama modernitas pertama yaitu bahwa kita hidup di dalam negara-negara yang mempunyai batas wilayah (Beck menolak gagasan itu sebagai “teori wadah” masyarakat). Dengan demikian, globalitas, dan modernitas kedua, artinya denasionalisasi, dan Beck mengharapkan munculnya organisasi transnasional dan negara transnasional.
Banyak di antara karya Beck yang terkini, termasuk pemikiranya ihwal globalisasi, dihubungkan dengan gagasan kosmopolitanisme, yang berusaha terutama untuk mengatasi fokus sosiologi tradisional pada entitas bangsa yang final dalam hal kewilayahan dan untuk menggantinya dengan fokus yang transnasional yang lebih cair (Beck dan Sznaider, 2005).
Secara lebih umum, kosmopolitanisme melibatkan transendensi aneka macam pengekangan lokal pada pedoman dan tindakan. Dengan demikian, di kala globalisasi, orang tidak lagi berasal dari satu kosmos tertentu (misalnya, Amerika Serikat), tetapi sebaliknya berasal dari “berbagai kota, wilayah, etnisitas, bangsa, agama, dan sebagainya pada ketika bersamaan” (Beck dan Sznaider, 2005:159). Hal itu akan melibatkan penjauhan diri dari pedoman tradisional ini-atau-itu yang dikaitkan dengan, misalnya, perspektif yang berbasis bangsa dan melekatkan diri pada sebuah pemahaman dunia “ini-dan-juga-itu” yang jauh lebih beragam. Jelas, pendekatan kosmopolitan tersebut berasal dari, dan mempunyai kaitan yang erat dengan, globalisasi.
Beck sedang mengerjakan tiga buku yang membuatkan lebih lanjut gagasannya ihwal globalisasi, dan buku pertama dari tiga buku tersebut baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Power in the Global Age (Beck, 2005b). Di bukunya itu Beck tetap memakai orientasi kosmopolitan yang jauh melampaui relasi-relasi nasional dan internasional sampai politik global yang melibatkan “meta-permainan yang akibatnya sepenuhnya terbuka. Itu yaitu sebuah permainan batas, aturan, dan perbedaan dasarnya selalu dinegosiasikan ulang—tidak hanya batas, aturan, dan distingsi dasar antara ranah ‘nasional’ dan ‘internasional’, tetapi juga antara perdagangan global dan negara, gerakan masyarakat sipil transnasional, organisasi supranasional, dan pemerintahan nasional dan masyarakat”. Realitas tersebutlah yang membutuhkan perubahan dalam hal pandangan dari sebuah perspektif nasional ke perspektif kosmopolitan yang lebih bisa memahami dan berhadapan dengan meta-permainan itu.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Kapitalisme Transnasional
2. Globalisasi, Partikularisasi, dan Pengalaman Kolonialisme
3. Konvergensi Kultural
4. Hibridisasi Kultural
5. Anthony Giddens. Globalisasi sebagai "Dunia tidak Terkendali"
6. George Ritzer. Teori Globalisasi "of Nothing"
7. Zygmunt Bauman. Konsekuensi Globalisasi pada Manusia
8. Diferensialisme Kultural
9. Ekspansi Pasar Global dan Krisis Solidaritas
10. Anthony Giddens. Modernitas dan Identitas
11. Politik Identitas di Era Globalisasi
Walaupun Beck yaitu seorang yang menentang pandangan globalisme, ia melihat banyak manfaat dalam gagasan globalitas, daerah ruang-ruang tertutup, terutama yang berkaitan dengan bangsa dipandang semakin tidak nyata. Mereka menjadi semakin tidak kasatmata alasannya yaitu globalisasi, yang melibatkan aktor-aktor transnasional, dengan tingkat kekuasaan yang berbeda-beda, identitas, dan semacamnya yang mengoyak dan melemahkan bangsa-bangsa. Semua proses transnasional itu tidak sekedar berafiliasi dengan ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi, budaya, politik, dan masyarakat sipil. Proses transnasional itu melintasi perbatasan negara, menjadikan batas-batas tersebut tidak terlindungi, jikalau tidak menyatakanya tidak relevan. Tidak ada sesuatu pun yang sekarang masih dibatasi untuk hanya merujuk pada lokal. Segala sesuatu yang terjadi secara lokal, termasuk kemajuan maupun bencana, membawa dampak ke seluruh penjuru dunia.
Proses transnasional telah usang ada; meski demikian, globalisasi yaitu suatu hal yang gres dikarenakan setidaknya tiga alasan berikut. Pertama, pengaruhnya di atas ruang geografis jauh lebih besar lengan berkuasa daripada sebelum-sebelumnya. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil;layaknya imbas yang berlanjut dari satu waktu ke waktu lain. Ketiga, pada aneka macam unsurnya, termasuk korelasi dan jaringan transnasional, terdapat kerapatan yang jauh lebih besar. Beck juga mencatat serangkaian hal lain yang khas ihwal globalitas dibandingkan dengan aneka macam manifestasi transnasional yang sebelumnya:
1. Interaksi dan kehidupan sehari-hari yang melintasi batas-batas negara menjadi terkena dampaknya secara mendalam
2. Terdapat persepsi diri dari transnasionalitas itu diberbagai ranah menyerupai media massa, konsumsi, dan turisme
3. Komunitas, tenaga kerja, dan kapital semakin tidak terikat tempat
4. Semakin meningkatnya kesadaran ihwal ancaman ekologi global dan terdapat tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mengatasinya
5. Semakin meningkatnya pemahaman terhadap mereka yang transkultural dalam kehidupan kita
6. Industri budaya global tersebar sampai pada tingkatan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya
7. Meningkatnya jumlah dan kekuatan aneka macam kesepakatan, aktor, dan institusi transnasional
Hal tersebut kemudian menuntun Beck untuk memperbaiki pemikiranya ihwal modernitas dan untuk mengajukan pendapat bahwa globalitas, dan ketidakmampuan untuk memutarnya kembali, berkaitan dengan apa yang sekarang disebutnya sebagai “modernitas kedua”. Namun, di atas semuanya, apa yang memilih modernitas itu yaitu menurunnya kekuasaan bangsa-bangsa dan batas-batas negara yang merupakan inti dari “modernitas pertama”. Premis utama modernitas pertama yaitu bahwa kita hidup di dalam negara-negara yang mempunyai batas wilayah (Beck menolak gagasan itu sebagai “teori wadah” masyarakat). Dengan demikian, globalitas, dan modernitas kedua, artinya denasionalisasi, dan Beck mengharapkan munculnya organisasi transnasional dan negara transnasional.
Banyak di antara karya Beck yang terkini, termasuk pemikiranya ihwal globalisasi, dihubungkan dengan gagasan kosmopolitanisme, yang berusaha terutama untuk mengatasi fokus sosiologi tradisional pada entitas bangsa yang final dalam hal kewilayahan dan untuk menggantinya dengan fokus yang transnasional yang lebih cair (Beck dan Sznaider, 2005).
Beck sedang mengerjakan tiga buku yang membuatkan lebih lanjut gagasannya ihwal globalisasi, dan buku pertama dari tiga buku tersebut baru-baru ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Power in the Global Age (Beck, 2005b). Di bukunya itu Beck tetap memakai orientasi kosmopolitan yang jauh melampaui relasi-relasi nasional dan internasional sampai politik global yang melibatkan “meta-permainan yang akibatnya sepenuhnya terbuka. Itu yaitu sebuah permainan batas, aturan, dan perbedaan dasarnya selalu dinegosiasikan ulang—tidak hanya batas, aturan, dan distingsi dasar antara ranah ‘nasional’ dan ‘internasional’, tetapi juga antara perdagangan global dan negara, gerakan masyarakat sipil transnasional, organisasi supranasional, dan pemerintahan nasional dan masyarakat”. Realitas tersebutlah yang membutuhkan perubahan dalam hal pandangan dari sebuah perspektif nasional ke perspektif kosmopolitan yang lebih bisa memahami dan berhadapan dengan meta-permainan itu.
Download di Sini
Sumber.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Baca Juga
1. Kapitalisme Transnasional
2. Globalisasi, Partikularisasi, dan Pengalaman Kolonialisme
3. Konvergensi Kultural
4. Hibridisasi Kultural
5. Anthony Giddens. Globalisasi sebagai "Dunia tidak Terkendali"
6. George Ritzer. Teori Globalisasi "of Nothing"
7. Zygmunt Bauman. Konsekuensi Globalisasi pada Manusia
8. Diferensialisme Kultural
9. Ekspansi Pasar Global dan Krisis Solidaritas
10. Anthony Giddens. Modernitas dan Identitas
11. Politik Identitas di Era Globalisasi