Aliran Filsafat. Post-Strukturalisme
Istilah post-strukturalisme bantu-membantu jarang digunakan. Post-strukturalisme bantu-membantu lebih ditunjukkan pada munculnya pemikiran-pemikiran yang berbagi strukturalisme lebih jauh. Beberapa yang dikategorikan post-strukturalis antara lain Jacques Lacan*, Jacques Derrida*. Michel Foucault* sempat dikategorikan sebagai post-strukturalis namun kemudian orang menggolongkan sebagai beyond structuralist.
Jacques Lacan* memunculkan konsep bahwa nirsadar ialah ranah yang terstruktur layaknya bahasa. Konsep ini berbeda dari Freud* yang menganggap bahwa nirsadar berisi hal-hal yang negatif. Lacan* bahkan melihat bahwa nirsadar hadir bersama dengan bahasa. Lacan* melihat bahwa bahasa ialah suatu sistem pengungkapan yang tak pernah bisa secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Ada cermatan bahwa kenyataannya, sistem linguistik berada di luar insan yang menjadi subjek. Pemakai bahasa terpisah secara radikal dari sistem tanda. Ada jarak lebar antara apa yang mereka rasakan dan bagaimana sebuah sistem kebahasaan memungkinkan seorang pemakai bahasa memanfaatkan untuk mengekspresikan perasaan tersebut.
Semisal, pria yang ingin mengekspresikan kecantikan seorang gadis. Mungkin ia akan menyampaikan “Kau secantik bidadari”. Namun, tetap saja ada hal yang tidak terekspresikan. “Bidadari” hanyalah tanda yang dianggap mewakili namun bantu-membantu meredusir perasaan aneh di pria terhadap kecantikan si gadis. Bagi Lacan*, hal itu merupakan faktor penting yang menyampaikan bahwa insan sebagai subjek, pertama-tama terpisah dari peranti-peranti representasi, namun pada dikala bersamaan, keberadaan dirinya sebagai subjek juga dibuat oleh peranti-peranti tersebut.
Oleh Lacan*, algoritma atau diagram Saussure* wacana petanda/penanda dipakai untuk menyampaikan pengandaian-pengandaian yang dibuat kaum strukturalis mengenai kekerabatan insan dengan tanda. Menurut Lacan*, yang primer justru konsep (petanda) dan alasannya ialah itu berada di atas diagram. Sementara entitas (penanda), yakni yang sekunder, berada di serpihan dasar diagram. Sebuah wangsit sanggup berdiri sendiri, lepas dari segala bentuk mediasi. Anak hanya sanggup menangkap gagasan wacana ‘anjing’ sehabis orang tuanya (others) menjelaskan bahwa makhluk yang ia tanyakan itu berjulukan “anjing”. Anak sanggup memahami konsep “anjing” alasannya ialah “anjing” memang telah hadir sebelumnya sebagai elemen bangunan besar langue yang mendahului kelahiran bayi sebagai individu.
Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa maka menjadi masuk logika untuk mengklaim bahwa linguistik dan semiotik ialah hal penting yang sanggup kita gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan* menempatkan isi ketaksadaran sebagai penanda (sigifiers); proses primer ketaksadaran diletakan pada lisan dan distorsi dirinya sendiri (dalam Freud*: condensation dan displacement; sedangkan Lacan* memakai istilah yang sama dengan Roman Jacobson: metaphor dan metonymy).
Verdichtung (condensation) ialah struktur superimposisi dari penanda yang menjadi karakteristik metafor. Verschiebung (displacement) menyampaikan signifikansi transfer dengan ungkapan berbau puitis, menimbulkan emosi. Metafor sendiri berarti “menembus” makna linguistik. Jacobson menjelaskan tanda-tanda pemaknaan ini sebagai hasil dari asosiasi pada tatanan paradigmatik.
Kalau metafor bekerja atas dasar kekerabatan paradigmatik, metonimi bekerja atas dasar kekerabatan sintagmatik. Kalau metafor banyak dijumpai dalam puisi, metonimi dalam prosa. Kalau metafor lahir dari kesadaran kita untuk menghubungkan (mengasosiasikan), maka metonimi berasal dari kesadaran untuk menggabungkan (mengombinasikan). Metonimi menghasilkan makna dari hasil kekerabatan logis, sementara metafor melalui kekuatan imajinasi.
Hubungan metaforik muncul alasannya ialah “dengan adanya kekuatan represi, suatu signifier diganti dengan signifier baru”. Signifier yang pertama akan bermetamorfosis signified sejauh signifier pengganti “stands in place of the previous signifier and represents it”. Hubungan metaforik ini (yang menghasilkan kesadaran, makna atau ide) menjadi begitu berpengaruh ketika terkait dengan kekerabatan signifier atau meaning yang masih berada dalam status unconscious.
Roman Jacobson mendefinisikan pole of selection atau similaritas sebagai metaforik, dan pole of combination sebagai atau kontiguitas sebagai metonimik. Jacobson mengklaim keduanya ialah hal penting bagi pemaknaan bahasa. Metafor ialah alien bagi similarity disorder sedangkan metonimi bagi contiguiti disorder. Lacan* menjelaskan bahwa bahasa tidak pernah menerima daerah pada tataran real.
Tidak berafiliasi atau represen dalam tataran real. Bahasa menandai bukan untuk mengekspresikan fatwa atau menggambarkan realitas, tetapi lebih pada upaya mengonstitusi subjek sebagai suatu secara historis dan geografis, dan secara kultural mengarah pada spesifikasi proses menjadi. Bahasa mempunyai kapabilitas untuk memosisikan subjek sebagai social beaing alasannya ialah bahasa sendiri mengandung sistem yang mempredasi semua subjek dan harus diasumsikan oleh setiap subjek secara individual. Bahasa hanyalah sistem rujukan yang merujuk pada kategori dan istilah yang dimiliki seseorang.
Agar sanggup memilih tempatnya di dunia, seorang anak harus terlebih dulu menetapkan posisi tertentu dalam bahasa. Agar sanggup menjadi subjek dan sanggup merujuk dirinya dalam dunia sosial, seseorang harus masuk wilayah peranti-peranti penandaan yang telah tersedia semenjak ia belum lahir dan kemudian berguru menggunakannya. Di sini insan terlibat dalam subjektivitas, ia terpintal dalam jaring-jaring penandaan. Tanda tidak dengan sendirinya menjadi lengkap dikala petanda mulai membaur ke dalam penanda.
Sebaliknya, tanda tersusun atas dua wilayah yang berbeda dan tak pernah bertemu. Wilayah “S” besar ialah penanda dan daerah beroperasinya penandaan kebudayaan. Sedangkan wilayah “s” kecil ialah dunia-dalam (inner-world) yang tak terpahami dan tak sanggup diekspresikan melalui penandaan. Sebuah garis yang tak bisa ditembus memisahkan keduanya. Tidak ada bauran secara vertikal antara petanda dan penanda. Bauran berlangsung secara horizontal, yakni penanda terus berpendar-pendar di bawah petanda yang terus berubah-ubah.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Jacques Lacan* memunculkan konsep bahwa nirsadar ialah ranah yang terstruktur layaknya bahasa. Konsep ini berbeda dari Freud* yang menganggap bahwa nirsadar berisi hal-hal yang negatif. Lacan* bahkan melihat bahwa nirsadar hadir bersama dengan bahasa. Lacan* melihat bahwa bahasa ialah suatu sistem pengungkapan yang tak pernah bisa secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Ada cermatan bahwa kenyataannya, sistem linguistik berada di luar insan yang menjadi subjek. Pemakai bahasa terpisah secara radikal dari sistem tanda. Ada jarak lebar antara apa yang mereka rasakan dan bagaimana sebuah sistem kebahasaan memungkinkan seorang pemakai bahasa memanfaatkan untuk mengekspresikan perasaan tersebut.
Semisal, pria yang ingin mengekspresikan kecantikan seorang gadis. Mungkin ia akan menyampaikan “Kau secantik bidadari”. Namun, tetap saja ada hal yang tidak terekspresikan. “Bidadari” hanyalah tanda yang dianggap mewakili namun bantu-membantu meredusir perasaan aneh di pria terhadap kecantikan si gadis. Bagi Lacan*, hal itu merupakan faktor penting yang menyampaikan bahwa insan sebagai subjek, pertama-tama terpisah dari peranti-peranti representasi, namun pada dikala bersamaan, keberadaan dirinya sebagai subjek juga dibuat oleh peranti-peranti tersebut.
Oleh Lacan*, algoritma atau diagram Saussure* wacana petanda/penanda dipakai untuk menyampaikan pengandaian-pengandaian yang dibuat kaum strukturalis mengenai kekerabatan insan dengan tanda. Menurut Lacan*, yang primer justru konsep (petanda) dan alasannya ialah itu berada di atas diagram. Sementara entitas (penanda), yakni yang sekunder, berada di serpihan dasar diagram. Sebuah wangsit sanggup berdiri sendiri, lepas dari segala bentuk mediasi. Anak hanya sanggup menangkap gagasan wacana ‘anjing’ sehabis orang tuanya (others) menjelaskan bahwa makhluk yang ia tanyakan itu berjulukan “anjing”. Anak sanggup memahami konsep “anjing” alasannya ialah “anjing” memang telah hadir sebelumnya sebagai elemen bangunan besar langue yang mendahului kelahiran bayi sebagai individu.
Jika ketaksadaran terstruktur layaknya bahasa maka menjadi masuk logika untuk mengklaim bahwa linguistik dan semiotik ialah hal penting yang sanggup kita gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan* menempatkan isi ketaksadaran sebagai penanda (sigifiers); proses primer ketaksadaran diletakan pada lisan dan distorsi dirinya sendiri (dalam Freud*: condensation dan displacement; sedangkan Lacan* memakai istilah yang sama dengan Roman Jacobson: metaphor dan metonymy).
Verdichtung (condensation) ialah struktur superimposisi dari penanda yang menjadi karakteristik metafor. Verschiebung (displacement) menyampaikan signifikansi transfer dengan ungkapan berbau puitis, menimbulkan emosi. Metafor sendiri berarti “menembus” makna linguistik. Jacobson menjelaskan tanda-tanda pemaknaan ini sebagai hasil dari asosiasi pada tatanan paradigmatik.
Kalau metafor bekerja atas dasar kekerabatan paradigmatik, metonimi bekerja atas dasar kekerabatan sintagmatik. Kalau metafor banyak dijumpai dalam puisi, metonimi dalam prosa. Kalau metafor lahir dari kesadaran kita untuk menghubungkan (mengasosiasikan), maka metonimi berasal dari kesadaran untuk menggabungkan (mengombinasikan). Metonimi menghasilkan makna dari hasil kekerabatan logis, sementara metafor melalui kekuatan imajinasi.
Hubungan metaforik muncul alasannya ialah “dengan adanya kekuatan represi, suatu signifier diganti dengan signifier baru”. Signifier yang pertama akan bermetamorfosis signified sejauh signifier pengganti “stands in place of the previous signifier and represents it”. Hubungan metaforik ini (yang menghasilkan kesadaran, makna atau ide) menjadi begitu berpengaruh ketika terkait dengan kekerabatan signifier atau meaning yang masih berada dalam status unconscious.
Roman Jacobson mendefinisikan pole of selection atau similaritas sebagai metaforik, dan pole of combination sebagai atau kontiguitas sebagai metonimik. Jacobson mengklaim keduanya ialah hal penting bagi pemaknaan bahasa. Metafor ialah alien bagi similarity disorder sedangkan metonimi bagi contiguiti disorder. Lacan* menjelaskan bahwa bahasa tidak pernah menerima daerah pada tataran real.
Agar sanggup memilih tempatnya di dunia, seorang anak harus terlebih dulu menetapkan posisi tertentu dalam bahasa. Agar sanggup menjadi subjek dan sanggup merujuk dirinya dalam dunia sosial, seseorang harus masuk wilayah peranti-peranti penandaan yang telah tersedia semenjak ia belum lahir dan kemudian berguru menggunakannya. Di sini insan terlibat dalam subjektivitas, ia terpintal dalam jaring-jaring penandaan. Tanda tidak dengan sendirinya menjadi lengkap dikala petanda mulai membaur ke dalam penanda.
Sebaliknya, tanda tersusun atas dua wilayah yang berbeda dan tak pernah bertemu. Wilayah “S” besar ialah penanda dan daerah beroperasinya penandaan kebudayaan. Sedangkan wilayah “s” kecil ialah dunia-dalam (inner-world) yang tak terpahami dan tak sanggup diekspresikan melalui penandaan. Sebuah garis yang tak bisa ditembus memisahkan keduanya. Tidak ada bauran secara vertikal antara petanda dan penanda. Bauran berlangsung secara horizontal, yakni penanda terus berpendar-pendar di bawah petanda yang terus berubah-ubah.
Download
Sumber
Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta