Multikulturalisme Dan Duduk Kasus Minoritas Di Indonesia

Apakah politik multikulturalisme relevan untuk masyarakat kita? Indonesia terang yaitu sebuah negeri multikultural. Bhinneka Tunggal Ika memuat idealitas mulitkulturalisme di Indonesia. Masyarakat Nusantara juga poli-etnis. Tetapi apakah negara Indonesia juga multinasional? Berbeda dari pengalaman negara-negara di Eropa, misalnya, Nazi Jerman, nasionalisme tidak mempunyai reputasi yang jelek di Indonesia. Masyarakat Nusantara justru berhutang kepada pandangan gres kebangsaan dalam mobilisasi perlawanan bersama terhadap tuan-tuan kolonial. Fiksi itu berkhasiat untuk menjadi “kebanggaan bersama” yang ikut membentuk “identitas bersama”. Namun waktu berlalu, dan narasi agung ini menerima pemaknaan yang substansialistis: Meskipun disadari fakta poli-etnisitas di dalamnya, “bangsa” tetap dibayangkan sebagai suatu substansi etnis yang homogen yang ditentukan oleh bangsa, tanah, sejarah, dan darah yang sama. Ini tampak, misalnya, dalam istilah “pri” (pribumi) dan non-pri (non-pribumi) dalam birokrasi Orde Baru. Di sini imigran (orang Arab, Barat dan khususnya Cina) dan keturunannya—kendatipun telah menerima status WNI—tetap dianggap ‘asing’ di hadapan lebih banyak didominasi pribumi. Diskriminasi terhadap etnik Cina di Indonesia bertolak dari antinomi biner pri dan non-pri ini. Dalam antinomi ini, lebih banyak didominasi pribumi dibayangkan seolah sebagai suatu substansi etnis tunggal dan homogen yang lebih ‘asli’ daripada para imigran ini, padahal dalam kenyataan lebih banyak didominasi ini sangat poli-etnis dan heterogen. Pada analisis terakhir bahkan sanggup dikatakan bahwa yang pribumi itu pun imigran, ‘hanya’ lebih dulu tiba [karena penduduk orisinil setiap pulau sanggup merasa lebih pribumi daripada pendatang dari luar pulau]. Dalam kontras pri dan nonpri ini menjadi terang bahwa Orde Baru lebih menganut konsep ethnic nation daripada civic nation. Sementara yang pertama memandang ras atau asal ajakan genetis, yang terakhir berlandaskan hanya pada hubungan-hubungan politis yang tidak memandang agama, ras, etnis, golongan dst.

Gelombang kerusuhan anti-Cina di Jakarta, Solo, Medan, konflik antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan, konflik agama di Maluku, gerakan-gerakan separatisme Aceh dan Papua, protes-protes dari kaum fundamentalis Islam serta merebaknya tuntutan-tuntutan untuk memerintah sendiri di banyak sekali tempat sehabis tumbangnya rezim Orde Baru persis menyingkapkan kenyataan bahwa problem Indonesia bukan sekadar poli-etnisitas, melainkan juga multinasionalitas yang mengancam keutuhan komunitas politis ini dari banyak sekali sudut.

Fakta itu tentu sudah usang ada, tetapi rezim Orde Baru meredam dan menekan gejolak itu. Baru dengan krisis ekonomi dan politis di negeri ini dan jatuhnya Soeharto, kita “dipaksa” untuk melihat dan mengakui kenyataan itu. Lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia menandai awal dari simpulan periode kenaifan yang membayangkan homogenitas bangsa. Makin terang bahwa Indonesia ini multinasional dan poli-etnis dalam pengertian yang diberikan Kymlicka.

Kerusuhan-kerusuhan SARA sanggup kita hitung sebagai gerakan-gerakan horizontal yang dilakukan oleh “kelompok-kelompok etnis dan agama”. Tercakup di sini sentimen anti-Cina, konflik antara etnik Madura dan Dayak, konflik agama di Maluku, aksi-aksi demonstrasi radikalisme yang dilakukan kaum fundamentalis Islam di kota-kota, perusakan gereja-gereja dan penyerangan atas jemaat Ahmadiyah. Perjuangan-perjuangan separatis Aceh dan Papua, serta tuntutan-tuntutan merdeka dari Riau, misalnya, sanggup kita sebut gerakan-gerakan vertikal yang dilakukan oleh “minoritas-minoritas nasional” dalam pengertian yang diberikan oleh Kymlicka, sebab segmen-segmen masyarakat ini potensial untuk memerintah dirinya sendiri. Secara fenomenal ruang publik kita dipenuhi kebisingan suara-suara aneka kelompok yang di zaman Orde Baru ditindas dan disisihkan. Gejolak ini merangsang denyut demokratisasi di negeri kita. Tetapi gejolak ini juga mencemaskan sebab tidak dikelola secara sempurna menjadi kekuatan sentrifugal.

Indonesia memang bukan Yugoslavia dan bukan Rwanda, sehingga balkanisasi atau perang saudara tidak harus terjadi di sini. Sebuah negara multinasional dan poli-etnis tidak pasti tercabik-cabik dari dalam, bahkan kemajemukan itu sanggup menjadi dasar bagi kemajuan kemanusiaan, demokrasi dan peradaban, bila dihadapi dengan taktik politis yang tepat. Tetapi Indonesia juga bukan USA, Kanada, Swiss, atau Belgia, sehingga kuranglah bijaksana mengadopsi politik multikulturalisme tanda kondisi-kondisi. Suatu perbedaan mendasar perlu disimak di sini. Politik multikulturalisme muncul dalam konteks masyarakat liberal yang sudah diamankan oleh sistem hak-hak yang mapan dan mentalitas demokratis yang vital. Dalam negara aturan demokrasi yang relatif mapan, politik multikulturalisme sanggup dilihat sebagai upaya untuk menafsirkan konstitusi dan vitalitasnya untuk memperluas kebebasan politik. Politik multikulturalisme merupakan terapi untuk liberalisme yang semenjak awal memang sudah buta warna kulit, semoga melihat kenyataan bahwa perlakuan yang sama terhadap semua warna kulit itu sering kali menguntungkan warna kulit yang mayoritas.

Di Indonesia kita berhadapan dengan kondisi yang sebaliknya: Masyarakat kita justru membutuhkan sebuah politik yang sanggup mengatasi perspektif etnosentrisme sebab belum berkembangnya sistem hak-hak, etos demokrasi, proseduralisme legal dan netralitas politis dalam tradisi kehidupan bernegara. Tindakan diskriminatif masih fenomenal dalam birokrasi negara kita, sehingga politik multikulturalisme—jika tidak hati-hati—malah sanggup melegitimasikannya. Asas-asas liberalisme dianggap ajaib di sini, maka orang akan banyak berkutat lebih dahulu pada problem illiberalisme birokrasi negara, sebelum sanggup melangkah ke politik multikulturalisme. Juga dalam kondisi sistem negara aturan yang ringkih serta keterpurukan ekonomis, politik multikulturalisme gampang berkembang menjadi politik pedoman yang dengan penuh kebencian meradikalkan dan mendramatisasi segala perbedaan kecil, sehingga orang kehilangan perspektif keseluruhan.

Bahkan para pemikir multikulturalisme pun mengingatkan bahwa politik ini dilarang dilaksanakan sebagai semacam politik “cagar budaya”. Artinya, dalam negara aturan demokratis, kelompok-kelompok masyarakat seharusnya dibiasakan mengartikulasikan nilai-nilainya dan siap mengevaluasi tradisi mereka dalam diskursus publik yang rasional, apakah tradisi itu perlu diteruskan atau ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks zaman. “Negara hukum”, demikian Habermas, “dapat memungkinkan proses interpretasi kultural ini, namun tidak menjamin (kelangsungan tradisi itu)”. Jaminan atas pembatasan-pembatasan internal” (internal restrictions), yakni membiarkan suatu kelompok etnis atau religius menindas para anggotanya demi solidaritas kelompok, tidak hanya berlawanan dengan asas-asas liberal, melainkan juga politik multikulturalisme itu sendiri yang ingin membawa ke luar problem kelompok ini dari ruang privat. Demikian juga, bila tidak dipahami secara tepat, “perlindungan-perlindungan eksternal” (external protections), yakni imunisasi diri dari keputusan publik yang lebih luas demi eksistensi tradisi kelompok, justru akan menumbuhkan perilaku isolasi diri kolektif yang menghalang-halangi korelasi saling pemahaman antaretnis dan antar-agama di dalam masyarakat multikultural. Baik pembatasan maupun donasi itu memang diharapkan dalam kadar-kadar tertentu untuk memungkinkan vitalitas tradisi dan nilai-nilai kultural kelompok etnis atau religius itu, tetapi tidak sanggup diberikan secara mutlak, sebab tidak hanya akan bermetamorfosis politk “cagar budaya” yang mematikan kemajuan reflektivitas tradisi kelompok, melainkan juga menjadi politik sektarianisme dan fundamentalisme etnis atau religius yang akan memutlakkan klaimnya dengan mengabaikan eksistensi kelompok-kelompok lain di dalam masyarakat multikultural. Penindasan di dalam kelompok sanggup diekspansikan ke penindasan atas kelompok-kelompok yang lain.


Download


Sumber
Hardiman, F. Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel