Asumsi-Asumsi Sosiologi Naturalistis Perihal Insan Dan Masyarakat
Walaupun para andal sosiologi naturalistis akan menolak kalau mereka didakwa mempunyai asumsi-asumsi (anggapan dasar) nilai yang bekerjasama dengan hakikat manusia, akan tetapi pengkajian secara mendalam terhadap karya mereka akan menawarkan hal yang sebaliknya. Asumsi-asumsi yang tersirat wacana insan akan segera tampak dan sanggup dihubungkan dengan perkiraan wacana hakikat masyarakat: bahwa insan ialah insan yang malang (follencreatures) yang kelangsungan hidupnya hanya mungkin berada dalam suatu dunia sosial yang tertib.
Gambaran insan sebagai insan yang malang ini bahu-membahu bukan merupakan hal baru. Gambaran demikian bisa ditemukan dalam kitab Bibel maupun dalam aneka macam risalah filosofis. Thomas Hobbes*, filosof Inggris masa ke tujuhbelas, mengetengahkan sebuah model insan dan masyarakat yang sanggup dianggap sebagai dasar asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan oleh: sosiologi naturalistis. Bagi Hobbes* tindakan insan ditentukan oleh nafsu dan ketamakan, yang mewujudkan diri dalam situasi konflik yang keras. Akan tetapi insan ternyata mempunyai kecerdikan (reason). Nalar memungkinkan hakikat insan yang malang ini diatasi dan membiarkan konflik yang keras itu diubah ke dalam kerja-sama tanpa kekerasan (nonviolent cooperation). Hal ini dilaksanakan melalui pembentukan suatu negara politik (political state) yang melindungi rakyatnya dari hakikat nafsu dan ketamakan mereka sendiri. Dengan demikian, berdasarkan Hobbes*, insan bahu-membahu absurd perang dan mementingkan diri sendiri, tetapi membutuhkan keselamatan. Masyarakat berkembang untuk merintangi nafsu insan dan mensosialisir mereka ke dalam kepatuhan.
Dalam teori Hobbes* kita temukan anggapan dasar bahwa insan pada hakikatnya egois, merupakan makhluk yang telah ditentukan (de-termined creature), akan tetapi bisa bertindak rasional—yang bahu-membahu merupakan asumsi-asumsi yang merembes masuk ke dalam banyak teori naturalistis. Walau sebagian besar andal sosiologi naturalistis enggan mengungkapkan pandangan bahwa insan intinya bersifat egois, tetapi secara tidak eksklusif mereka akan menyampaikan bahwa insan perlu dihambat oleh masyarakat. Orang terutama dilihat sebagai makhluk yang lebih merupakan produk dari aturan-aturan sosial, ketimbang sebagai makhluk yang bisa membentuk dan merencanakan dunia sosial mereka sendiri. Sebagaimana dengan Hobbes*, sosiolog naturalistis juga melihat rasionalitas terdapat dalam diri manusia—rasionalitas yang dipakai sebagai sarana penting untuk menjamin tercapainya tujuan yang diinginkan. Akan tetapi, baik sarana maupun tujuan itu sudah ada (inherent) dalam aturan sosial. Sebenarnya keteraturan masyarakatlah yang melindungi insan sebagai korban dari apa yang disebut Hobbes “perang semua melawan semua” di mana yang menjadi aturan ialah nafsu keserakahan manusia.
Download
Baca Juga
Thomas Hobbes (1588-1679)
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Gambaran insan sebagai insan yang malang ini bahu-membahu bukan merupakan hal baru. Gambaran demikian bisa ditemukan dalam kitab Bibel maupun dalam aneka macam risalah filosofis. Thomas Hobbes*, filosof Inggris masa ke tujuhbelas, mengetengahkan sebuah model insan dan masyarakat yang sanggup dianggap sebagai dasar asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan oleh: sosiologi naturalistis. Bagi Hobbes* tindakan insan ditentukan oleh nafsu dan ketamakan, yang mewujudkan diri dalam situasi konflik yang keras. Akan tetapi insan ternyata mempunyai kecerdikan (reason). Nalar memungkinkan hakikat insan yang malang ini diatasi dan membiarkan konflik yang keras itu diubah ke dalam kerja-sama tanpa kekerasan (nonviolent cooperation). Hal ini dilaksanakan melalui pembentukan suatu negara politik (political state) yang melindungi rakyatnya dari hakikat nafsu dan ketamakan mereka sendiri. Dengan demikian, berdasarkan Hobbes*, insan bahu-membahu absurd perang dan mementingkan diri sendiri, tetapi membutuhkan keselamatan. Masyarakat berkembang untuk merintangi nafsu insan dan mensosialisir mereka ke dalam kepatuhan.
Dalam teori Hobbes* kita temukan anggapan dasar bahwa insan pada hakikatnya egois, merupakan makhluk yang telah ditentukan (de-termined creature), akan tetapi bisa bertindak rasional—yang bahu-membahu merupakan asumsi-asumsi yang merembes masuk ke dalam banyak teori naturalistis. Walau sebagian besar andal sosiologi naturalistis enggan mengungkapkan pandangan bahwa insan intinya bersifat egois, tetapi secara tidak eksklusif mereka akan menyampaikan bahwa insan perlu dihambat oleh masyarakat. Orang terutama dilihat sebagai makhluk yang lebih merupakan produk dari aturan-aturan sosial, ketimbang sebagai makhluk yang bisa membentuk dan merencanakan dunia sosial mereka sendiri. Sebagaimana dengan Hobbes*, sosiolog naturalistis juga melihat rasionalitas terdapat dalam diri manusia—rasionalitas yang dipakai sebagai sarana penting untuk menjamin tercapainya tujuan yang diinginkan. Akan tetapi, baik sarana maupun tujuan itu sudah ada (inherent) dalam aturan sosial. Sebenarnya keteraturan masyarakatlah yang melindungi insan sebagai korban dari apa yang disebut Hobbes “perang semua melawan semua” di mana yang menjadi aturan ialah nafsu keserakahan manusia.
Download
Baca Juga
Thomas Hobbes (1588-1679)
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta