Teori Sosiologi Evaluatif
Dalam teori sosiologi kontemporer Amerika sosiologi positivistis dan naturalistis merupakan model yang paling dominan, sedang teori interpretatif atau humanistis hanya berperanan sebagai suatu pendekatan alternatif. Popularitas model yang disebut pertama sanggup dilihat dari sebutan sebagai “sosiologi Amerika standar” (standard American Sociology), sedang yang terakhir dari sebutan “oposisi yang setia” (loyal opposition) (Mullin, 1973). Keduanya memang sama-sama terikat pada ilmu sosiologi, tetapi lantaran perbedaan perkiraan mengenai hakikat insan dan masyarakat, masing-masing melahirkan teori yang satu sama lain amat berbeda.
Masih terdapat seperangkat asumsi-asumsi lain yang ada hubungannya dengan sosiologi interpretatif dan naturalis. Asumsi tersebut berada di seputar konsep yang dikenal sebagai “gambaran-diri jago sosiologi” (self-image of teh sociologist). Friedrichs (1970) memakai analogi keagamaan dalam membahas gambaran-diri jago sosiologi sebagai “Nabi” dan “Pendeta”. Nabi dari suatu agama ialah seseorang yang mengkritik dunia sosialnya dan mendengung-dengungkan kebutuhan perubahan untuk mencegah malapetaka di masa mendatang. Sebagaimana halnya dengan para nabi yang sering berselisih paham dengan umatnya saat menghimbau pembaharuan keagamaan, para nabi sosiologi juga berselisih paham dengan para praktisi dari disiplin mereka sendiri. Sosiologi berasal dari tokoh-tokoh filosofis sekuler (bukan dari peramal keagamaan). Auguste Comte*, yang dianggap sebagai penemu ilmu ini, mengemban sosiologi sebagai agama kemanusiaan yang secara ilmiah akan menemukan diam-diam untuk menyempurnakan harmoni sosial dan kesempurnaan umat manusia.
(Friedrichs, 1970:69-70). Tetapi menyerupai halnya para nabi yang tidak pernah berhasil melahirkan nabi yang lain, sosiologi sering kali terlalu cepat kehilangan kepercayaan kenabiannya sehingga memisahkannya dari dunia sosial yang ada dan yang menjadi objek studinya. Dalam perjuangan tetapkan sosiologi sebagai disiplin yang berwibawa lahir pulalah lembaga-lembaga kependetaan. Para jago sosiologi bergaya pendeta ini, sebagaimana halnya dengan pendeta keagamaan, lebih mungkin mendapatkan hukum sosial yang sudah ada dan berkhotbah untuk menguatkan dan membenarkannya. Sementara jago sosiologi bergaya nabi akan bergulat terhadap kritik-kritik terhadap dunia sosial dan mengetengahkan rencana-rencana penyelamatannya, para jago sosiologi bergaya pendeta akan menekankan hakikat institusional dari profesi sosiologis. Dengan kata lain, sementara jago sosiologi bergaya nabi menyerukan beberapa perubahan sosial yang lebih luas, para jago sosiologi bergaya pendeta menghimbau disiplin akademis, untuk mempelajari realitas sosial secara objektif.
Persis menyerupai pendeta yang berjumlah lebih besar dibandingkan dengan jumlah para nabi di lapangan keagamaan, pendeta sosiologis juga mempunyai jumlah yang jauh mengatasi jumlah para nabi sosiologi. Hal ini memang benar-benar terjadi baik dalam sosiologi naturalistis maupun di dalam sosiologi humanistis, dan peringatan harus bebas nilai dengan demikian sangat menguasai kehidupan sosiologi. Walaupun pengertian netralitas yang demikian sangat tidak disetujui, tetapi ia telah sangat terpengaruh bagi pertumbuhan kependetaan dan keterikatan mereka pada ketegaran perilaku ilmiah. Walau demikian, dalam teori kontemporer masih terdengar juga beberapa bunyi kenabian, yang menekankan bahwa usaha-usaha sosiologis harus relevan bagi peristiwa-peristiwa dunia yang penting. (Kadang-kadang para jago sosiologi bergaya pendeta bergabung dengan gaya ungkapan kenabian demikian, akan tetapi pada umumnya mereka memisahkan peranan “sosiologi bebas-nilai” mereka dari “warga masyarakat yang bersangkutan”). Para nabi tersebut mempertanyakan kemungkinan spesialis sosiologi netral terhadap nilai atau bebas-nilai. Mereka menyatakan bahwa karya para pendeta sosiologi juga mempunyai asumsi-asumsi sarat-nilai, akan tetapi sering kali mereka buta terhadap semua itu.
Para nabi itu tidak hanya menyampaikan bahwa untuk benar-benar netral terhadap nilai ialah merupakan suatu hal mustahil, akan tetapi juga bahwa netralitas yang demikian itu pun barangkali memang sama sekali tidak diinginkan. Kita sudah menyatakan bahwa asumsi-asumsi mengenai manusia, masyarakat dan sosiologi merupakan belahan yang tersirat dalam teori naturalistis dan humanistis. Menurut para nabi atau jago sosiologi evaluatif, kebutaan pada asumsi-asumsi yang demikian, bahkan pada perkiraan yang lebih penting mengenai implikasi teori-teori mereka, tidak menciptakan sosiologi menjadi bebas-nilai. Para jago sosiologi evaluatif sanggup memperjelas pendapat spesialis sosiologi Jerman, Ralf Dahrendorf* (1968:18) saat ia menyatakan bahwa “lebih penting memperingatkan semoga menentang pemisahan secara radikal ilmu dan pertimbangan nilai (value judgement) daripada memperingatkan semoga melawan pembaruan mereka”. Para jago sosiologi mempunyai tanggung jawab untuk mengkaji konsekuensi-konsekuensi tindakan kesarjanaan mereka.
Dalam pembahasan kegagalan Proyek Camelot, Dahrendorf* (1968:259-271) menunjukkan perlunya jago sosiolog untuk menyadari seluruh konteks di mana karya-karya mereka dilaksanakan dan memperkirakan banyak sekali konsekuensi akhlak dan politis dari riset dan teori mereka. Proyek Camelot yang disponsori oleh “Spesial Operations Research Office” dari Angkatan Darat Amerika Serikat dengan biaya 4 hingga 6 juta US dollar itu diselenggarakan untuk memungkinkan para sarjana sosial sanggup mengungkapkan lantaran musabab kegoncangan internal dan revolusi di negara-negara berkembang. Untuk membayar jasa para jago sosiologi terkemuka diharapkan jumlah uang yang sangat besar bagi setiap proyek ilmu-ilmu sosial.
Gagal untuk melihat konsekuensi-konsekuensi dari proyek itu dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang tersembunyi, beberapa jago sosiologi tidak bersedia mengakui bahwa pembiayaan oleh Angkatan Darat Amerika Serikat tersebut merupakan “tumit achiles” dari proyek itu. Oleh lantaran beberapa alasan, kebanyakan berasal dari oposisi terhadap pinjaman pembiayaan penelitian dari pihak militer Amerika Serikat. Proyek Camelot itu balasannya dibatalkan. Dahrendorf* ialah salah seorang yang mempertanyakan keabsahan para jago sosiologi untuk meneliti problem revolusi untuk kepentingan pihak militer Amerika itu. Walau tujuan yang diungkapkan para jago sosiologi itu sanggup dimasukkan ke dalam istilah pembangunan ilmu pengetahuan bebas-nilai, akan tetapi tujuan pihak militer Amerika Serikat untuk menekan revolusi tersebut terperinci sarat dengan nilai. Dengan mengetahui seluruh konteks dari proyek penelitian itu maka terbukti bahwa pertimbangan nilai ternyata merupakan belahan dari proyek Camelot, dan ini seharusnya tidak diabaikan oleh spesialis sosiologi yang baik.
Perlu diingat bahwa teori evolutif, dengan semangatnya yang lebih bersifat kenabian, sanggup bersifat naturalistis atau humanistis. Auguste Comte*, yang digolongkan Friedrichs sebagai seorang nabi, menganjurkan semoga sosiologi berkembang di sepanjang jalur naturalistik. Di pihak lain, Karl Marx*, yang hidup seangkatan dengan Comte*, sanggup dilihat sebagai seorang nabi dalam jalur humanistis. Dalam teori kontemporer, nabi-nabi juga lahir dari kubu naturalistis maupun humanistis.
Download
Baca Juga Seputar Biografi, Karya, dan Pemikiran
1. Auguste Comte
2. Karl Marx
3. Ralf Dahrendorf
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Masih terdapat seperangkat asumsi-asumsi lain yang ada hubungannya dengan sosiologi interpretatif dan naturalis. Asumsi tersebut berada di seputar konsep yang dikenal sebagai “gambaran-diri jago sosiologi” (self-image of teh sociologist). Friedrichs (1970) memakai analogi keagamaan dalam membahas gambaran-diri jago sosiologi sebagai “Nabi” dan “Pendeta”. Nabi dari suatu agama ialah seseorang yang mengkritik dunia sosialnya dan mendengung-dengungkan kebutuhan perubahan untuk mencegah malapetaka di masa mendatang. Sebagaimana halnya dengan para nabi yang sering berselisih paham dengan umatnya saat menghimbau pembaharuan keagamaan, para nabi sosiologi juga berselisih paham dengan para praktisi dari disiplin mereka sendiri. Sosiologi berasal dari tokoh-tokoh filosofis sekuler (bukan dari peramal keagamaan). Auguste Comte*, yang dianggap sebagai penemu ilmu ini, mengemban sosiologi sebagai agama kemanusiaan yang secara ilmiah akan menemukan diam-diam untuk menyempurnakan harmoni sosial dan kesempurnaan umat manusia.
Persis menyerupai pendeta yang berjumlah lebih besar dibandingkan dengan jumlah para nabi di lapangan keagamaan, pendeta sosiologis juga mempunyai jumlah yang jauh mengatasi jumlah para nabi sosiologi. Hal ini memang benar-benar terjadi baik dalam sosiologi naturalistis maupun di dalam sosiologi humanistis, dan peringatan harus bebas nilai dengan demikian sangat menguasai kehidupan sosiologi. Walaupun pengertian netralitas yang demikian sangat tidak disetujui, tetapi ia telah sangat terpengaruh bagi pertumbuhan kependetaan dan keterikatan mereka pada ketegaran perilaku ilmiah. Walau demikian, dalam teori kontemporer masih terdengar juga beberapa bunyi kenabian, yang menekankan bahwa usaha-usaha sosiologis harus relevan bagi peristiwa-peristiwa dunia yang penting. (Kadang-kadang para jago sosiologi bergaya pendeta bergabung dengan gaya ungkapan kenabian demikian, akan tetapi pada umumnya mereka memisahkan peranan “sosiologi bebas-nilai” mereka dari “warga masyarakat yang bersangkutan”). Para nabi tersebut mempertanyakan kemungkinan spesialis sosiologi netral terhadap nilai atau bebas-nilai. Mereka menyatakan bahwa karya para pendeta sosiologi juga mempunyai asumsi-asumsi sarat-nilai, akan tetapi sering kali mereka buta terhadap semua itu.
Para nabi itu tidak hanya menyampaikan bahwa untuk benar-benar netral terhadap nilai ialah merupakan suatu hal mustahil, akan tetapi juga bahwa netralitas yang demikian itu pun barangkali memang sama sekali tidak diinginkan. Kita sudah menyatakan bahwa asumsi-asumsi mengenai manusia, masyarakat dan sosiologi merupakan belahan yang tersirat dalam teori naturalistis dan humanistis. Menurut para nabi atau jago sosiologi evaluatif, kebutaan pada asumsi-asumsi yang demikian, bahkan pada perkiraan yang lebih penting mengenai implikasi teori-teori mereka, tidak menciptakan sosiologi menjadi bebas-nilai. Para jago sosiologi evaluatif sanggup memperjelas pendapat spesialis sosiologi Jerman, Ralf Dahrendorf* (1968:18) saat ia menyatakan bahwa “lebih penting memperingatkan semoga menentang pemisahan secara radikal ilmu dan pertimbangan nilai (value judgement) daripada memperingatkan semoga melawan pembaruan mereka”. Para jago sosiologi mempunyai tanggung jawab untuk mengkaji konsekuensi-konsekuensi tindakan kesarjanaan mereka.
Dalam pembahasan kegagalan Proyek Camelot, Dahrendorf* (1968:259-271) menunjukkan perlunya jago sosiolog untuk menyadari seluruh konteks di mana karya-karya mereka dilaksanakan dan memperkirakan banyak sekali konsekuensi akhlak dan politis dari riset dan teori mereka. Proyek Camelot yang disponsori oleh “Spesial Operations Research Office” dari Angkatan Darat Amerika Serikat dengan biaya 4 hingga 6 juta US dollar itu diselenggarakan untuk memungkinkan para sarjana sosial sanggup mengungkapkan lantaran musabab kegoncangan internal dan revolusi di negara-negara berkembang. Untuk membayar jasa para jago sosiologi terkemuka diharapkan jumlah uang yang sangat besar bagi setiap proyek ilmu-ilmu sosial.
Perlu diingat bahwa teori evolutif, dengan semangatnya yang lebih bersifat kenabian, sanggup bersifat naturalistis atau humanistis. Auguste Comte*, yang digolongkan Friedrichs sebagai seorang nabi, menganjurkan semoga sosiologi berkembang di sepanjang jalur naturalistik. Di pihak lain, Karl Marx*, yang hidup seangkatan dengan Comte*, sanggup dilihat sebagai seorang nabi dalam jalur humanistis. Dalam teori kontemporer, nabi-nabi juga lahir dari kubu naturalistis maupun humanistis.
Download
Baca Juga Seputar Biografi, Karya, dan Pemikiran
1. Auguste Comte
2. Karl Marx
3. Ralf Dahrendorf
Sumber
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta