Manusia Sebagai Kelompok

Seiring dengan laju perkembangan hidup yang terus berjalan, insan di muka bumi pada masa kini begitu banyak jumlahnya sampai bermiliar-miliar. Penting dicatat bahwa keragaman bentuk insan yang notabene sebagai homo sapiens, yang kita lihat dalam lingkungan pergaulan di seluruh penjuru dunia, disebabkan lantaran faktor-faktor perbedaan ras yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia. Perbedaan ras telah membawa keanekaragaman makhluk insan di muka bumi dengan ciri-ciri tertentu yang bisa dibandingkan antara satu dengan yang lain. Kita tahu bahwa bentuk insan sangat besar dipengaruhi dari aspek ras yang berbeda-beda tersebut. Contohnya, bentuk fisik insan dari ras Kaukasoid, tentu akan berbeda dengan insan yang berasal dari ras mongoloid dan negroid.
Dengan perbedaan tersebut, insan lalu mempunyai bentuknya sendiri-sendiri yang digunakan sebagai penanda atau identitas masing-masing yang membedakan antara satu dengan yang lain.

Namun, penting dicatat di sini bahwa keanekaragaman ciri ras yang menempel pada diri insan yang berbeda-beda tersebut tidak serta merta menjadikan timbulnya bermacam-macam pola tingkah laris manusia. Pada tataran tingkah laris insan ras kaukasoid dengan insan yang berasal dari ras mongoloid, dan sebagainya. Kita harus membuka diri dengan frame anutan yang terbuka dan kritis bahwa perbedaan tingkah laris bukanlah diakibatkan lantaran latar belakang ras, melainkan lantaran faktor krusial yang sering diabaikan oleh banyak orang, yakni kehidupan berkelompok. Kehidupan kelompok bisa mempengaruhi cara pandang dan berpikir insan sehingga mempunyai anutan sesuai dengan kebutuhan kelompok atau sesuai dengan sudut pandang umum dalam kelompok yang ada. Untuk mengetahui fakta ini, pola yang paling gampang bisa kita lihat pada insan yang tinggal di negara ibarat Indonesia. Negara Indonesia penduduknya mempunyai ciri-ciri ras mongoloid-melayu (orang Indonesia pribumi). Bila kita telisik secara mendalam, pola tindakan dan tingkah laris masyarakat Indonesia tidaklah berbeda dibanding contohnya dengan orang Indonesia yang mempunyai ciri-ciri ras mongoloid Cina Selatan (orang Indonesia yang menjadi keturunan orang asing). Selaras dengan pola tersebut, orang Amerika yang mempunyai ciri-ciri ras kaukasoid, dan orang Amerika yang mempunyai ciri-ciri ras negroid juga tidak mempunyai perbedaan dalam pola tindakan dan tingkah laku. Keduanya, baik dari orang Amerika negroid maupun Kaukasoid ini tidak banyak mempunyai perbedaan, lantaran baik orang Amerika dengan ras kaukasoid maupun negroid dua-duanya sama-sama berbicara bahasa Inggris, dan bertingkah laris menurut kepada budbahasa istiadat dan gaya hidup orang Amerika pada umumnya.

Dapat dimengerti bahwa intinya ragam tindakan dan tingkah laris yang dimiliki oleh setiap insan memang bukanlah diakibatkan lantaran faktor ciri-ciri ras. Ras dalam kaitan ini tidak memperlihatkan donasi yang signifikan terhadap pola tingkah laris yang dilakukan oleh manusia. Dalam kaitan ini, sanggup kita jelaskan bahwa ragam tingkah laris terjadi melainkan lantaran eksistensi banyak sekali macam kelompok-kelompok dalam tempat di mana insan melaksanakan pergaulan dan interaksi. Kelompok memperlihatkan andil yang cukup besar terhadap pola tingkah laris manusia.

Perkembangan kehidupan kelompok terjadi setiap saat. Kelompok yang tadinya kecil dengan hanya diisi oleh beberapa gelintir orang dan suku, bisa jadi akan berkembang dengan jumlah anggota kelompok yang cukup besar. Pada dikala ini, bentuk kelompok-kelompok yang cukup besar di mana insan begitu banyak jumlahnya dalam setiap satuan kelompok tersebut, menyebar di seluruh muka bumi sebagai kesatuan-kesatuan insan yang sangat erat. Bentuk kelompok-kelompok inilah yang lazim disebut sebagai negara-negara nasional. Hampir sanggup dipastikan bahwa pada zaman modern ibarat kini ini, semua insan di dunia, termasuk ke dalam salah satu negara nasional. Misalnya, di daerah Asia Tenggara, tampak terperinci terdapat kelompok-kelompok yang cukup besar dalam bentuk kesatuan-kesatuan insan yang berwujud sebagai negara nasional besar kecil, ibarat negara Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Papua Nugini, Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, dan masih banyak lagi. Demikian halnya dengan daerah lain, contohnya Eropa Barat juga mempunyai negara nasional sendiri-sendiri. Di Eropa Barat, bentuk kesatuan-kesatuan insan yang juga berwujud sebagai negara nasional besar-kecil terdapat pada negara-negara, ibarat Inggris, Belanda, Prancis, Spanyol, Denmark, Jerman, Belgia, Luksemburg, Lectenstein, dan sebagainya.


Pada skala yang lebih kecil, yakni dalam batas wilayah tiap negara nasional, juga mempunyai kesatuan-kesatuan insan yang lebih khusus lagi, di mana mereka berbeda satu dengan yang lain. Hal ini diakibatkan lantaran banyak sekali macam faktor yang dimiliki ibarat eksistensi budbahasa istiadat dan bahasa suku-bangsa juga lantaran agama, atau kombinasi keduanya. Contohnya di daerah Sumatera Utara, di daerah ini ada suku bangsa Aceh yang berbeda, baik budbahasa istiadat, bahasa maupun agamanya (Islam), dengan suku bangsa Batak Toba yang dominan beragama Kristen. Meskipun intinya mereka berada pada tempat yang sama secara teritorial, namun mereka mempunyai karakteristik sendiri-sendiri lantaran latar belakang tersebut di atas.

Contoh lain yang bisa kita lihat yaitu situasi di masyarakat Jawa. Kita tahu bahwa masyarakat orisinil suku Jawa mempunyai budbahasa istiadat yang hampir sama. Namun, mereka juga mempunyai banyak perbedaan-perbedaan ibarat bahasa (Sunda dan Jawa terperinci berbeda), serta yang paling mencolok yaitu agama. Dari perspektif kehidupan keberagamaan, tampak terperinci bahwa masyarakat Jawa ada yang menganut Islam kejawen, ada pula yang menganut Islam santri. Perlu diketahui bahwa istilah Islam santri ini terutama dipopulerkan oleh Clifford Geertz*, spesialis antropologi kenamaan dari Amerika yang melaksanakan penelitian di desa Mojokuto, Jawa Timur pada dekade 60-an. Istilah Islam santri digunakan untuk merujuk kepada golongan Islam yang taat, untuk membedakan dengan golongan priyayi dan abangan. Tipologi masyarakat Jawa yang terbagi ke dalam tiga sub-struktur sosial tersebut menggambarkan bahwa meskipun mereka berangkat dari budbahasa istiadat yang sama, namun tetap saja mereka mempunyai banyak perbedaan yang sedikit banyak kuat terhadap tingkah laris yang dimiliki.


Download


Sumber
Syarbaini, Syahrial dan Fatkhuri. 2016. Teori Sosiologi; Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel