Martin Heidegger
Riwayat hidup
Tentang riwayat hidup Heidegger tidak sanggup dikemukakan banyak hal yang mencolok mata. Ia merasa bahagia hidup dalam kesunyian dan mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya kepada perjuangan filosofisnya. Dalam hal ini tidak jarang ia dibandingkan dengan Immanuel Kant*. Seperti Kant* pula, selalu ia menolak untuk meninggalkan kawasan asalnya, jikalau ditawarkan profesorat pada universitas-universitas lebih besar dan terkemuka di Jerman. Malah ia membela sikapnya dalam suatu artikel kecil yang berjudul Warum bleiben wir in der provinz? (1934) (Apa sebabnya kami tinggal di daerah?).
Martin Heidegger berasal dari keluarga sederhana. Pada tanggal 26 September 1889 ia dilahirkan di kota kecil Messkirch, di mana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Kristen Santo Martinus. Ia mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgau. Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freiburg untuk berguru di fakultas teologi. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-kuliah wacana ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termasyhur di fakultas filsafat pada waktu itu ialah Heinrich Rickert, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut fatwa neokantianisme. Heidegger memperoleh gelar “doktor filsafat” pada tahun 1913 dengan disertasi wacana Die lehre vom Urteil im Psychologismus (Ajaran wacana putusan dalam psikologisme). Dua tahun kemudian mempertahankan Habilitationsschrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Ajaran Dun Scotus wacana kategori-kategori dan makna). Karangan ini digubah di bawah pimpinan Rickert dan diterbitkan pada tahun 1916. Pada tahun 1916 pula Edmund Husserl* tiba ke Freiburg sebagai pengganti Rickert. Kedatangannya ialah suatu insiden yang penting sekali untuk Heidegger. Sudah usang ia merasa tertarik akan fenomenologi dan ia mempelajari dengan teliti semua karya Husserl*. Tetapi gres melalui pergaulan eksklusif dengan pendiri fatwa fenomenologi ia mulai menguasai betul-betul maksud dan jangkauan cara berfilsafat ini. Husserl* sendiri sangat menghargai kecerdasan filsuf muda itu dan mengangkat beliau menjadi asistennya. Di kemudian hari ia menaruh keinginan semoga Heidegger akan mengganti beliau sebagai pemimpin fenomenologi. Pada tahun 1923 Heidegger diundang ke Marburg untuk menjadi profesor di universitas di sana, yang pada waktu itu merupakan suatu sentra neokantianisme. Suatu pengalaman yang mengesankan di Marburg ialah pergaulan dan persahabatannya dengan Rudolf Bultmann, teolog Protestan ternama. Di Marburg pula ia mengarang karya yang mengakibatkan namanya termasyhur dalam kalangan filsafat internasional: Sein un Zeit (Ada dan waktu) (1927). Karya ini terbit dalam Jahrbuch fur Phanomenologie und phanomenologischen Forschung, publikasi tahunan yang dipimpin oleh Husserl*, dan serentak juga sebagai buku biasa. Pada tahun berikutnya ia menjadi profesor di Freiburg sebagai pengganti Husserl*.
Suatu periode kompleks sekali dalam hidup Heidegger ialah zaman nasional-sosialisme. Tidak sanggup disangsikan bahwa untuk beberapa lamanya Heidegger bertautan dekat dengan nazisme. Ada kepastian pula bahwa ia menjadi anggota partai nasional-sosialis. Pada tahun 1933, jadi pada tahun Hitler mulai berkuasa di Jerman, Heidegger dipilih sebagai rektor Universitas Freiburg. Pada kesempatan pelantikannya ia membawakan pidato berjudul Die Selbstbehauptung der deutschen Universitat (Afirmasi-diri universitas Jerman) di mana ia menyatakan simpatinya untuk rezim nasional-sosialis di Jerman. Banyak murid dan sahabat Heidegger telah menyesalkan keterlibatannya dalam nasional-sosialisme. Emmanuel Levinas* misalnya, filsuf Prancis berkebangsaan Yahudi yang berguru pada Husserl dan Heidegger di Freiburg pada tahun 1928-1929, merumuskan perasaannya dengan cukup tajam: “Sukar untuk memaafkan Heidegger”. Murid-murid yang paling setia akan menganggap keterlibatannya sebagai suatu kekeliruan saja. Bagaimanapun juga, korelasi Heidegger dengan nasional-sosialisme merupakan suatu duduk perkara yang berbelit-belit. Untuk memilih bersalah tidaknya filsuf ini, lebih dahulu harus diselidiki secara jelas latar belakang sosio-politis dan kultural negeri Jerman pada waktu itu, khususnya dalam kalangan universitas. Heidegger tentu bukan satu-satunya orang yang terjerat lantaran keinginan gres yang timbul bagi banyak orang Jerman dengan munculnya Der Fuhrer (Sang pemimpin) pada waktu itu. Lagi pula, tidak usang sehabis Heidegger sendiri mulai merasa kecewa wacana pemerintahan nasional-sosialis. Ia memegang jabatan rektor tidak lebih dari sepuluh bulan saja. Sudah pada bulan Februari 1934 ia mengundurkan diri. Konon alasannya lantaran menolak menggantikan beberapa dekan fakultas, sebagaimana dituntut pemerintah. Sesudah pengalaman pahit itu ia tidak lagi berbicara wacana politik di hadapan umum.
Sesudah Perang Dunia II korelasi Heidegger dengan nazisme sering kali menjadi materi diskusi. Perlu diakui bahwa diskusi ini tidak jarang berlangsung dalam suasana emosional dan adakala diketengahkan pertimbangan-pertimbangan yang niscaya tidak adil lantaran bertentangan dengan fakta. Pada bulan September 1966 Heidegger menunjukkan wawancara dengan majalah Jerman Der Spiegel, guna mengambarkan beberapa hal yang menyangkut peranannya pada waktu nazisme.
Ditambah syarat bahwa wawancara ini diizinkan terbit gres sehabis kematiannya. Beberapa hari sehabis meninggalnya, Der Spiegel memuat wawancara tersebut. Kita mendengar beberapa data info yang tidak diketahui sebelumnya dan yang sanggup menyumbang untuk menilai peranan Heidegger dengan cara lebih bernuansa. Menjadi kiprah para hebat sejarah untuk merumuskan penilaiannya setelah mempertimbangkan semua fakta yang sanggup diketahui. Dengan kepastian cukup besar kini sudah sanggup dikatakan bahwa setelah mengakui kekeliruan politiknya, Heidegger tentu tidak bertindak heroik, berbeda dengan banyak sarjana Jerman lain pada waktu yang sama. Dalam seluruh perkembangan ini salah satu hal yang tragis ialah memburuknya korelasi dengan Husserl*, sebagai orang Yahudi menderita banyak pada waktu nazisme tetapi selalu menolak untuk meninggalkan Jerman.
Pada simpulan perang Heidegger diperintahkan ikut dalam kerja paksa yang diselenggarakan pemerintah nasional-sosialis. Seusai perang pada tahun 1945, oleh penguasa sekutu di Jerman Selatan ia tidak diperbolehkan mengajar hingga tahun 1951. Sesudah itu diberikannya beberapa kuliah dan seminar lagi hingga tahun 1958. Sampai meninggalnya Heidegger hidup dalam kesepian di Freiburg dan dalam Hutte (pondok) yang dibangunnya pada tahun 1922 di Todtnauberg di kawasan Schwarzwald (Hutan Hitam). Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1976 dan dikebumikan di sebelah orang tuanya di kota asalnya, Messkirch.
Baca Juga
1. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
2. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Pertama
3. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
4. Memahami Keber-Ada-an yang Me-Waktu
Sumber
Bertens. K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Download
Tentang riwayat hidup Heidegger tidak sanggup dikemukakan banyak hal yang mencolok mata. Ia merasa bahagia hidup dalam kesunyian dan mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya kepada perjuangan filosofisnya. Dalam hal ini tidak jarang ia dibandingkan dengan Immanuel Kant*. Seperti Kant* pula, selalu ia menolak untuk meninggalkan kawasan asalnya, jikalau ditawarkan profesorat pada universitas-universitas lebih besar dan terkemuka di Jerman. Malah ia membela sikapnya dalam suatu artikel kecil yang berjudul Warum bleiben wir in der provinz? (1934) (Apa sebabnya kami tinggal di daerah?).
Martin Heidegger berasal dari keluarga sederhana. Pada tanggal 26 September 1889 ia dilahirkan di kota kecil Messkirch, di mana ayahnya bertugas sebagai koster pada gereja Kristen Santo Martinus. Ia mengikuti sekolah menengah di Konstanz dan Freiburg im Breisgau. Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freiburg untuk berguru di fakultas teologi. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah-kuliah wacana ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termasyhur di fakultas filsafat pada waktu itu ialah Heinrich Rickert, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut fatwa neokantianisme. Heidegger memperoleh gelar “doktor filsafat” pada tahun 1913 dengan disertasi wacana Die lehre vom Urteil im Psychologismus (Ajaran wacana putusan dalam psikologisme). Dua tahun kemudian mempertahankan Habilitationsschrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Ajaran Dun Scotus wacana kategori-kategori dan makna). Karangan ini digubah di bawah pimpinan Rickert dan diterbitkan pada tahun 1916. Pada tahun 1916 pula Edmund Husserl* tiba ke Freiburg sebagai pengganti Rickert. Kedatangannya ialah suatu insiden yang penting sekali untuk Heidegger. Sudah usang ia merasa tertarik akan fenomenologi dan ia mempelajari dengan teliti semua karya Husserl*. Tetapi gres melalui pergaulan eksklusif dengan pendiri fatwa fenomenologi ia mulai menguasai betul-betul maksud dan jangkauan cara berfilsafat ini. Husserl* sendiri sangat menghargai kecerdasan filsuf muda itu dan mengangkat beliau menjadi asistennya. Di kemudian hari ia menaruh keinginan semoga Heidegger akan mengganti beliau sebagai pemimpin fenomenologi. Pada tahun 1923 Heidegger diundang ke Marburg untuk menjadi profesor di universitas di sana, yang pada waktu itu merupakan suatu sentra neokantianisme. Suatu pengalaman yang mengesankan di Marburg ialah pergaulan dan persahabatannya dengan Rudolf Bultmann, teolog Protestan ternama. Di Marburg pula ia mengarang karya yang mengakibatkan namanya termasyhur dalam kalangan filsafat internasional: Sein un Zeit (Ada dan waktu) (1927). Karya ini terbit dalam Jahrbuch fur Phanomenologie und phanomenologischen Forschung, publikasi tahunan yang dipimpin oleh Husserl*, dan serentak juga sebagai buku biasa. Pada tahun berikutnya ia menjadi profesor di Freiburg sebagai pengganti Husserl*.
Suatu periode kompleks sekali dalam hidup Heidegger ialah zaman nasional-sosialisme. Tidak sanggup disangsikan bahwa untuk beberapa lamanya Heidegger bertautan dekat dengan nazisme. Ada kepastian pula bahwa ia menjadi anggota partai nasional-sosialis. Pada tahun 1933, jadi pada tahun Hitler mulai berkuasa di Jerman, Heidegger dipilih sebagai rektor Universitas Freiburg. Pada kesempatan pelantikannya ia membawakan pidato berjudul Die Selbstbehauptung der deutschen Universitat (Afirmasi-diri universitas Jerman) di mana ia menyatakan simpatinya untuk rezim nasional-sosialis di Jerman. Banyak murid dan sahabat Heidegger telah menyesalkan keterlibatannya dalam nasional-sosialisme. Emmanuel Levinas* misalnya, filsuf Prancis berkebangsaan Yahudi yang berguru pada Husserl dan Heidegger di Freiburg pada tahun 1928-1929, merumuskan perasaannya dengan cukup tajam: “Sukar untuk memaafkan Heidegger”. Murid-murid yang paling setia akan menganggap keterlibatannya sebagai suatu kekeliruan saja. Bagaimanapun juga, korelasi Heidegger dengan nasional-sosialisme merupakan suatu duduk perkara yang berbelit-belit. Untuk memilih bersalah tidaknya filsuf ini, lebih dahulu harus diselidiki secara jelas latar belakang sosio-politis dan kultural negeri Jerman pada waktu itu, khususnya dalam kalangan universitas. Heidegger tentu bukan satu-satunya orang yang terjerat lantaran keinginan gres yang timbul bagi banyak orang Jerman dengan munculnya Der Fuhrer (Sang pemimpin) pada waktu itu. Lagi pula, tidak usang sehabis Heidegger sendiri mulai merasa kecewa wacana pemerintahan nasional-sosialis. Ia memegang jabatan rektor tidak lebih dari sepuluh bulan saja. Sudah pada bulan Februari 1934 ia mengundurkan diri. Konon alasannya lantaran menolak menggantikan beberapa dekan fakultas, sebagaimana dituntut pemerintah. Sesudah pengalaman pahit itu ia tidak lagi berbicara wacana politik di hadapan umum.
Sesudah Perang Dunia II korelasi Heidegger dengan nazisme sering kali menjadi materi diskusi. Perlu diakui bahwa diskusi ini tidak jarang berlangsung dalam suasana emosional dan adakala diketengahkan pertimbangan-pertimbangan yang niscaya tidak adil lantaran bertentangan dengan fakta. Pada bulan September 1966 Heidegger menunjukkan wawancara dengan majalah Jerman Der Spiegel, guna mengambarkan beberapa hal yang menyangkut peranannya pada waktu nazisme.
Pada simpulan perang Heidegger diperintahkan ikut dalam kerja paksa yang diselenggarakan pemerintah nasional-sosialis. Seusai perang pada tahun 1945, oleh penguasa sekutu di Jerman Selatan ia tidak diperbolehkan mengajar hingga tahun 1951. Sesudah itu diberikannya beberapa kuliah dan seminar lagi hingga tahun 1958. Sampai meninggalnya Heidegger hidup dalam kesepian di Freiburg dan dalam Hutte (pondok) yang dibangunnya pada tahun 1922 di Todtnauberg di kawasan Schwarzwald (Hutan Hitam). Ia meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1976 dan dikebumikan di sebelah orang tuanya di kota asalnya, Messkirch.
1. Martin Heidegger. Karya-Karyanya
2. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Pertama
3. Martin Heidegger (1889-1976). Periode Kedua
4. Memahami Keber-Ada-an yang Me-Waktu
Sumber
Bertens. K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer; Inggris-Jerman. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Download